"Itu baru namanya menantu mommy. Jangan tinggal diam kalau ada yang janggal," ujar Mommy. Yei. Ada pembela. Gak marah dong kalau kutanyakan tentang anu.
"Cepat katakan Mas, berapa uang yang kamu kirim setiap bulannya untuk Mommy?" seruku.
Haha. Mommy membeliak. Jangan kira aku mempan pakai jalur nepotisme. Aku harus kuat menatap tatapan tajam mertuaku.
Mas Guntur menggaruk-garuk kepala, tidak berani menjawab. Senyumannya terpaksa dan tidak ada manis-manisnya.
"Eng-enggak ada, Dek."
What? Mommy tersenyum miring dan duduk kembali ke sofa. Pasti sudah diintimidasi mertuaku nih.
"Hajar terus sampai ngaku. Jangan kasih kendor," seru Mertuaku memanas-manasi hati yang membara.
"Ja-jadi, kamu memberikannya sama wanita lain? Tega kamu, Mas," seruku, lalu tergugu menghadap tembok. Oh naseeeb.
Mas Guntur menyentuh pundakku, tapi kutepis dengan kasar. Jahat sekali lelakiku ini. Kalau uangnya untuk mertua, masih bisa kumaafkan. Tapi kalau demi perempuan yang tak halal baginya, sunguh aku tak rela. Teganya teganya teganya dirimu, Mas.
"Enggak ada wanita lain, Dek. Satu istri aja tak tercukupi kebutuhannya, apalagi dua," balas Mas Guntur frustasi.
Tiba-tiba aku kena teguran di perut, rasanya mulas sekali. Ini pasti karena aku tadi terlalu banyak makan cabe. Di mulut terasa enak, tapi perut gak tahan lagi.
Semua rencana untuk mencari penyebab uang suamiku hanya sedikit sampai di tanganku sementara disimpan dulu. Untung saja aku tidak dikutuk jadi kodok karena mencurigai suami.
Aku berlari bolak-balik ke toilet untuk membuang ampas di perutku. Gak betah banget nih makanan di lambung. Masih kulihat betapa cemasnya mertua dan suamiku saat melihat wanita ini tak berdaya. Mas Guntur langsung tancap gas ke apotik, membelikan obat yang biasa kuminun saat diare.
Ini memang bukan yang pertama. Taubat cabe lah istilahnya. Kalau pas sakit begini karena makan cabe terlalu banyak, aku akan kapok memakannya lagi. Tapi itu hanya sebentar. Besok-besok sudah kulahap lagi.
Setelah hampir setengah jam, sakitku mulai reda. Kuantitasnya berkurang. Hanya sesekali saja bertemu dengan wc yang gak ngangenin itu. Aku terkulai lemas di atas ranjang tanpa ingat apa-apa lagi.
***
Pagi-pagi seperti biasanya aku mulai masuk ke dapur. Rasa melilit di perut ini sudah tidak terasa lagi. Satu ekor ayam yang sudah diungkep masih ada di dalam kulkas.
"Mommy udah bangun," sapaku tak enak hati. Semua mangkok, piring dan sendok sudah kinclong. Makanan juga tinggal disajikan. Kapan Mommy memulainya ya?
"Iya. Kamu kan sakit perut. Kalau masih sakit, rebahan dulu," balas mertuaku datar. Aku mengangguk dan duduk di kursi makan. Kesempatan dalam kelapangan.
Sementara Mommy menyajikan makanan, tanoa teriak-teriak, semua anggota keluarga langsung menuju meja makan. Rajin banget. Biasanya juga tenggorokan sampai kering baru mereka nyahut. Ini mah terjadi diskriminasi. Membeda-bedakan antara aku dan Mommy.
"Wah! Vikri udah lapar ya?" tanyaku pada anak lelakiku yang biasanya paling malas makan kalaub aku yang masak.
"Iya, Ma. Masakan Oma sangat harum. Jadinya langsung lapar. Iya kan, Dek?" balas Vikri sekaligus bertanya pada adiknya yang hanya mengangguk. Vika sudah lebih dahulu mencomot ayam goreng tepung kesukaannya. Duh, aku pun mulai lapar deh.
Kami pun mulai makan diringi celotehan kedua anakku. Mas Guntur sendiri sangat lahap menyantap makanannya. Melebihi saat aku memasak tempe goreng. Ini namnaya penghinaan. Tidak menghargai perasaan istri.
"Guntur! Mommy minta uang dua juta ya! Ada kan? Untuk pegangan," ujar mertua. Sontak saja Mas Guntur terbatuk-batuk dan kesulitan menelan air tak berduri yang kusodorkan. Mas Guntur memandangku dengan mata menghiba.
"Mas! Aku juga minta uang lima juta untuk peganganku sama anak-anak," ucapku tanpa melihat wajah Mas Guntur. Takut luluh diriku dan akhirnya pasrah dengan berapa pun uang yang suamiku berikan.
"I-iya, Mom. Nanti aku transfer ya. Uang cash gak ada," balas suamiku tak ikhlas.
"Jangan lupa sama istri juga, Mas!" ucapku menimpali. Mas Guntur mengangguk lemah.
Oh iya, ponselku. Aku harus melihat status Mommy hari ini. Tara....
[Disindir, malah aku yang dicurigai. Gak nyampe otaknya. Percuma sindiranku selama ini}
Owlala. Ini sudah jelas mengarah padaku. Selama ini hanya sindiran gitu? Aku sudah kayak cacing kepanasan loh. Malah dikatai pula gak nyampe otakku.
[Uang suami entah di mana. Dia betah aja makan tahu tempe]
Hidungku kembang kempis menahan marah. Ini sudah tak bisa dibiarkan. Harus kubuktikan kalau aku ini adalah wanita yang cerdas. Mommy terus saja menyindirku. Harusnya ia tegur sendiri anaknya itu.
***
"Dinda! Otakmu ada gak sih?" seru Mommy sesaat setelah Mas Guntur berangkat kerja. Mataku membeliak dan menghentikan tangan yang mau membuat status.
"Suamimu mengaku menejer, belanjaanmu cuma tiga puluh ribu sehari. Bagaimana kamu bisa bergaya? Mommy sudah panas-panasi, kamu belum juga bereaksi. Ini uang peganganmu. Cepat ikuti suamimu itu. Jadi istri kok suka kali dikadali suami?" bentak Mommy.
"Ta-tapi, Mom…."
"Anak-anak biar mommy yang jaga. Cepaaaat!"
Kali ini mertuaku berteriak hingga aku terjungkal dan lari terbirit-birit mengikuti suamiku. Mencari tahu dia kemana, dengan siapa dan berbuat apa.