Bersaing Dengan Mertua


[Mau belanja dulu dong. Makasih anakku sayang. Begitu gajian langsung tf. Tau aja kalau mommy pengen ke moll]

Hah? Ke mall? Aku mulai menghembuskan nafas tak teratur melihat story mertuaku yang gaje di aplikasi hijau bergambar telepon. Mas Guntur yang setahuku anak laki-laki tunggal itu baru mengirim uang pada mommy-nya? Tega kamu, Mas. Uang belanja yang kamu kasih saja jauh dari kata cukup. Sebisa mungkin aku harus berhemat, tapi juga tetap sehat. Hanya sejuta dua ratus sebulan di luar beras dan tagihan lainnya. 

Kalau sampai kami sakit karena terlalu sering mengkonsumsi makanan cepat saji, bakalan tambah banyak pengeluaran.  Tahan selera dan tutup mata dari berbagai pernak-pernik yang menggoda di aplikasi belanja berwarna orens. Kedua anakku juga kuawasi agar tidak kecanduan jajanan yang sering mondar-mandir di depan rumah. Aku, Vika dan Vikri tidak akan keluar rumah untuk alasan yang tak penting karena tak punya uang dan pandemi yang sedang melanda negri ini tentunya. 

[Besok jalan ke mana, ya? Suntuk di rumah terus. Uang banyak, utang gak ada]

Duh! Story mertuaku muncul lagi. Aku sedang mengencangkan ikat pinggang,  dia malah mau menghambur-hamburkan uang. Gatal sekali tangan ingin membalasnya.

[Ke kuburan aja, Mom. Ziarah ke makam nenek] 

Bukannya banyak beribadah, malah jalan-jalan terus pake duit anaknya. Apa dia gak mikir kalau anak menantu dan cucunya juta butuh uang?

Centang biru, tapi tak dibalas. Palingan mau ngaduh sama anaknya. Aduin sana. Sekali saja Mas Guntur membentakku, akan kukeluarkan semua uneg-uneg yang mengganjal di hati selama enam bulan belakangan. Saatnya membalas status mertuaku. 

[Makan bakso gajah yang lagi viral dulu ah. Bosan makanan restoran. Untung saja Dady ngirimin banyak uang untuk cucunya]

Aku cekikikan saat melihat tanda orang yang sudah melihat story-ku. Mommy dan Pelangi, kakak iparku yang sudah menikah. Huh. Pasti mereka sudah kepanasan saat mengira ayah mertuaku mengirim uang. Di keluarga itu, memang hanya Dady yang pengertian. Sesekali ia mengirimkan uang ke rekeningku. Untuk popok cucu, katanya. Sangat berbeda dengan istrinya yang terus menghisap bagai lintah kelaparan. 

***

Aku mondar-mandir menunggu Mas Guntur pulang. Ini sudah hampir isya, dan ia belum juga menammpakkan batang hidungnya. 

"Mas! Gaji kamu mana?" todongku emosi begitu melihatnya turun dari mobil.

"Bukannya bikinin minum, malah langsung minta duit," sindir Mas Guntur. Aku mencebik, tapi tetap berjalan ke dapur mengambil segelas air putih. 

"Kenapa sih, Dek?" tanya suami datar. Ia sodorkan amlop gajinya yang langsung kuhitung dengan cepat. Seperti biasa, hanya 1,2 juta. Berarti benar sudah dikirimnya lagi uang untuk perempuan nomor satu di hatinya. Atau ada wanita lain juga? Ah, asam lambungku naik memikirkannya. 

"Kamu punya simpanan lain atau gimana sih, Mas? Kenapa gaji kamu berkurang banyak?" selidikku. Sebagai seorang manejer marketing, seharusnya gaji Mas Guntur bisa membuat kami hidup enak. Ah, pujian tetangga tentang keharmonisan rumah tangga kami hanyalah fatamorgana.

Kami bertiga adalah tanggung jawab Mas Guntur sedangkan Mommy masih memiliki gaji pensiunan dari ayah mertua. Kenapa masih harus ngirim uang? Anak istri malah serba kekurangan.

"Nggak ada sih, Dek. Gaji dipotong karena penjualan berkurang, Dek," ujar suamiku ragu. Aku yakin kalau dia sedang bohong. Dia tak berani memandang netraku. 

Aku diam dan masuk ke kamar untuk menyimpan uang yang tak seberapa itu. Katanya penjualan sepi, berangkat awal, pulang kadang larut malam, tapi baju tetap wangi. Wajar gak sih kalau aku curiga? Apalagi jelas-jelas Mommy yang masih energik dan dulunya cepat nikah itu membuat story kalau dapat kiriman dari anaknya. Kenapa tak jujur, Mas? 

***

[Ayam Rendang euy. Yummy. Perhatian banget sih, Gun?]

Aku membeliakkan mata saat melihat story Mommy mertua. Ayam rendang? Duh, aku mendadak lapar sekaligus menahan amarah. Gun itu pasti nama Mas Guntur. 

"Ma! Makan pake tempe lagi?" protes Vikri yang baru berumur empat tahun. Berbeda dengan adiknya, Vikri memang lebih susah dikasih makan. Vika yang baru berusia dua tahun itu malah makan dengan lahapnya, tanpa disuapi. Aku meletakkan ponsel dan mau memulai wejangan untuk anakku. 

"Iya, Bang. Tempe itu sehat, mengandung protein nabati. Kemaren kan di gule kuning, sekarang goreng pake tepung. Enak loh. Iya, kan, Pa?" ujarku pada suamiku yang kelihatan doyan tempe. 

"Eh. Eh. Iya, Vikri. Enak banget masakan mama kamu," balas Mas Guntur, lalu melanjutkan makannya lagi. 

Huh. Bisa sekali bersandiwara. Aku dituntut masak cepat agar dia makan di rumah. Sengaja pula makan lahap di depan kami agar tidak curiga dengan sisa gajinya yang tak terlihat hilalnya. Baru pukul 6.30, Mas Guntur sudah berangkat kerja dengan pakaian rapinya.  Bagaimana mungkin pegawai serajin dia hanya mendapat gaji sedikit? Hanya 30 ribu setiap harinya yang mampu ia berikan untuk makan empat orang. 

[Pizza memang enak deh. Anak-anak suka banget. Besok makan apa ya?]

Aku mulai menghibur diri lagi dengan story ngaco. Biarkan saja Mommy kepanasan dan terus menguras gaji anaknya. Aku akan mengumpulkan bukti untuk membuka kedok suamiku. Selalu tak mengaku kalau memberikan uang banyak untuk keluarganya di kampung. 

[Wah! Lahap sekali makannya ponakan Bude. Kirim gambarnya dong. Bude kangen]

Halah. Sok akrab banget ini Mbak Pelangi, kakak iparku. Palingan mau kepo saja. Duh, gimana ini? Pizza gak ada, tempe pun udah dihabiskan anak-anak. Semuanya gara-gara pegang hape nih. Anak-anak juga gak pengertian mau nyisahin untuk mamanya. 

[Pizza udah habislah]

[hehe. Maksud mbak foto keponakan yang dikirim, bukan pizzanya]

Krik krik krik. 

"Vika! Vikri! Ayo mandi, baru pakai baju cantik," seruku. Jangan sampai ketahuan kalau kami menderita karena kebagian gaji sedikit. Aku itu wanita kuat dengan anak-anak yang montok dan terawat. Duh.