Tergiur Sogokan
"Dek! Mas bisa jelasin," seru suamiku.  Suara derap langkahnya terdengar semakin dekat padaku.

"Aku tidak suka dengan hubungan yang tak sehat ini, Mas. Kejujuran tidak ada lagi dalam dirimu. Kamu menyembunyikan banyak hal dariku."

Aku menepis tangan Mas Guntur dan berlari ke arah becak yang masih menunggu dengan sabar.

"Cepat kejar aku, Mas," batinku. Cinta, aku tak tahu apakah sikap Mas Guntur yang tak mau jujur kalau sekarang bekerja jadi bawahan di pabrik itu adalah bentuk cinta atau rasa tak percaya. Apakah dia mengira kalau aku tak akan terima? Dan perempuan tadi siapa? Aku masih tak bisa mencerna segalanya. 
***

"Gimana, Dinda? Dapat bukti gak?" cecar Mommy saat melihatku turun dari becak. Aku mengangguk dan berjalan cepat ke kamar. Kecewa dan juga perih. 

Kudengar suara Mommy mengajak cucunya main di ruang tamu, lantas menemuiku ke kamar. Ia mengusap kepalaku yang masih ditutupi jilbab. 

"Apa ada wanita lain di luaran sana? Atau bagaimana? Biar mommy yang akan memberikan pelajaran buat suamimu itu," ujar mertua. Aku duduk dan menatap mata mertuaku di sana. Apakah ia tega bertindak tegas pada anak lelakinya? 

"Pelajaran apa, Mom?" 

"Pelajaran Fisika biar suami kamu pusing. Ya hukuman lah. Kamu ini oon atau iin sih?" Mommy mulai kesal. 

Aku mengusap air mata dan duduk di samping Mommy. Wanita yang sempat kubenci karena kukira telah menghabiskan uang suamiku itu terlihat ikut bersedih. Ia menepuk bahunya untuk jadi tempat kepalaku bersandar. Aku langsung merebahkan kepala di sana. Untung saja lidah ini tak pernah kasar pada wanita yang penyayang ini. 

"Mom. Ternyata Mas Guntur kerjanya bukan menejer lagi. Dia cuma cleaning service, Mom. Aku jadi kasihan," ucapku, lantas kembali terisak. Tak terbayangkan betapa capeknya suamiku. Dia juga akan dibentak-bentak karyawan lain. 

"Oh ya? Akhirnya kamu tahu juga. Mommy sudah tahu kok. Makanya mommy terus menyindirmu di status WA. Tapi mommy lupa kalau cara kerja otakmu terkadang lelet. Sebagai jalan terakhir, mommy memutuskan datang kemari," balas mertua terkekeh. 

Aku mendongak. Bagaimana bisa mertuaku tahu? Aku saja yang istrinya Mas Guntur baru tahu sekarang. Mommy kan tinggalnya jauh dari sini. Tak sia-sia kalau nilai pelajaranku di sekolah hampir selalu standar. Guru pun malas menyuruhku remedial yang tak kunjung lulus.

"Lalu, apakah Mommy juga tahu tentang perebut suamiku itu?" tanyaku lemah. 

Ah, benar kata orang, pelakor itu juga termasuk anggota keluarga suami. Mertuaku sudah tahu segalanya, tapi membiarkannya berlarut-larut. 

"Perebut suami kamu? Masa sih ada wanita lain yang mau sama lelaki tak punya uang dan wajahnya yang pas-pasan?"

Mertuaku malah menanggapi ucapanku sebagai candaan. Postur tubuh dan wajah suamiku memang pas-pasan lah. Masa berlebihan. Hidungnya lebih tiga jengkal misalnya. Kan aneh. 

"Iya, Mom. Tadi Mas Guntur memberikan kunci mobil kami sama perempuan yang sedang menggendong anak. Dia selingkuh, Mom."

Aku menangis sejadi-jadinya. Mommy langsung menyingsingkan lengan baju dan menelpon anaknya dengan suara yang emosi. Rasain tuh, Mas. Biar Mommy yang menghajar kamu. 
***

Aku mengikuti Mommy mondar-mandir di teras, menunggu Mas Guntur yang belum juga datang. Seikat sapu lidi berada di genggaman mertuaku. Sekali pukul langsung setara ratusan cambukan. Ah, kasihan sebenarnya kamu suamiku. Tapi, hati ini terlanjur sakit. Teganya teganya teganya dirimu, Mas. 

Sebuah becak yang seperti kukenali berhenti di depan rumah. Itu kan becak yang membawaku tadi. Bisa sekali Kakek itu membaca peluang. Saat melihat suami mengejarku, dia pun balik lagi ke sana menjemput suamiku. 

Mas Guntur sudah memakai baju yang ia pakai saat berangkat kerja tadi. Pasti takut ketahuan Mommy sehingga baju cleaning service sudah ia ganti sebelum pulang. Dia berjalan gamang ke arah kami.

Tak perlu khawatir, Mas. Anak-anak sudah dikasih mainan di kamar agar tak melihat adegan penyiksaan terhadap papa mereka yang sudah nakal. 

"Mom! Dinda! Kita makan dulu yuk!" ujar Mas Guntur. Kakinya sudah mengambil ancang-ancang mau lari jika terjadi sesuatu yang tak dia inginkan. 

Mommy yang bijaksana pasti tidak tergiur dengan sogokan makanan. Dia akan mengusut pelaku yang telah memporak-porandakan rumah tangga kami. 

"Ayo hajar, Mom. Pukul yang pelan saja," seruku menyemangati Mommy. Pengen ngehajar, tapi gak tega juga lihat tubuh kurus itu dipukuli. Dia masih lelaki yang paling kucintai hingga dua jam lalu. Sekarang juga sepertinya masih sama. Hatiku belum berpaling pada tukang becak itu. Eh. 

"Ada burung goreng cabe ijo kesukaan Mommy loh. Kalau mau marah biar bertenaga, loh, Mom," rayu suamiku. Aku menelan ludah. Itu juga kesukaanku. Semoga saja mertuaku menolak dan memberikan makanan itu padaku. 

"Ya sudahlah, kita makan saja dulu. Tapi kamu jangan senang dulu. Habis makan, kamu harus menjelaskan ini semua," balas mertuaku.  Antara senang mau makan atau kecewa melihat Mommy mudah tergiur sogokan murahan dari suamiku. Aku berjalan gontai mengikuti mertuaku. Mata ini terus memelototi suami yang cengar-cengir di sampingku. 

"Dinda! Awas ada pintu!" seru suami. Terlambat. Aku sudah dianiya pintu terlebih dahulu.