Kebohongan Terungkap
Dalam hati aku terus beristighfar, memohon ampun atas diri ini yang terus saja berburuk sangka pada mertua yang ternyata mendukungku. Kalau Mas Guntur terbukti bersalah, biar aku ajukan proposal menjadi anak angkat Mommy. Ih, jangan sampai lah suamiku satu-satunya hilang dari daftar pertama kartu keluarga. Aku bisa hilang arah walaupun hanya di depan rumah. Dia lah lelaki yang paling cemiwiw di dalam hatiku. 

"Bang! Ikuti mobil yang itu ya!" seruku menepuk seorang laki-laki yang kuduga ojol. Lelaki itu menoleh, lalu tancap gas. 
 
Owlala. Aku belum naik, tapi sudah ditinggal pas lagi perlu-perlunya.  Aku melihat tampilanku di kamera ponsel, manatahu terlihat cantik sehingga si ojol itu ketakutan. 

Owlala. Ternyata ada berbagai warna yang nangkring cantik di gigiku. Warna hijau dan merah yang mendominasi. Pantas saja kecantikanku jadi tertutup jin. 

Aku pun celingukan mencari kenderaan yang bisa mengantarku. Di bawah sebuah pohon pinggir jalan, seorang lelaki tua sedang duduk bersandar. Wajahnya memperihatinkan. Pasti lagi bokek nih. Dia kn senang kalau kupanggil. 

"Narik becak gak, Bang? Aku bayar dua kali lipat," seruku. Seperti dugaan, si Kakek terlonjak dan langsung membawaku mengikuti mobil suami. Jiwa mudanya langsung membara saat kupanggil bang. Apalagi ada embel-embel bayaran dua kali lipat.

"Kenapa diikuti mobil suaminya, Neng? Apa dompetnya ketinggalan?" Tukang becak mulai kepo. 

"Enggak, Kek. Uang saya yang ketinggalan di dompet suami," balasku datar. Mata terus saja mengikuti kenderaan roda empat suamiku yang belum lunas itu. Dalam dunia perbecakan, biasa kalau manggil bang saat mau naik dan berakhir jadi kakek saat mau turun. Efek sampingnya, si tukang becak jadi lemah, letih, lesu, lelah dan lunglai. Hehe. 

"Cepat dikit, Bang. Nanti mobil suami saya gak terkejar," seruku, membangkitkan semangat 45 dan langsung si tukang becak tancap gas. 

Dahiku mengernyit melihat suami singgah di sebuah rumah yang tidak kukenali sama sekali. Apa itu rumah selingkuhannya? Tunggu!  Aku tidak boleh terburu-buru. Diintai dulu siapa pemilik rumah itu. Kalau ternyata prasangkaku salah, bisa-bisa mempermalukan diri ini dan suami. Aku kan istri soleha, tidak boleh gegabah. Apalagi menyangkut harkat dan martabat keluargaku. 

"Bang!  Siapa ya perempuan itu?" tanyaku dengan suara bergetar. Seorang perempuan seusiaku ke luar dengan seorang bayi dalam gendongannya. Lebih menyesakkan, suamiku memberikan kunci mobil pada perempuan itu. 

"Paling juga iatri dari suaminya. Labrak aja, Neng!" Tukang becak mulai mengompori. Bukannya berusaha mendamaikan hatiku, dia malah memantik api permusuhan. Bagaimana kalau Mas Guntur membentakku dan langsung mengucapkan kata talak? Ihhh.  Ngeri. 

Aku mengabaikan ucapan tukang becak dan menyuruhnya mengikuti suamiku yang berjalan menuju sebuah pabrik. Ini bukan perusahaan tempat Mas Guntur bekerja? Apa di sini juga ada selingkuhannya? Aku mulai bertanya-tanya dalam hati.  Sekuat tenaga aku menolak kalau yang di depan mata ini adalah kenyataan. 

Aku menunggu selama 30 menit di dekat gerbang pabrik, tapi suamiku tak juga kunjung keluar.  Hatiku jadi curiga dan tak sabar ingin masuk. Buat apa dia di sana keluyuran dan malah tak masuk kantor? Pantas saja uangnya dipotong atasannya terus. Ternyata begini kelakuan suamiku. 

Aku mulai mengendap-endap masuk ke lokasi pabrik yang kebetulan tidak dijaga satpam. Entah belum masuk atau sedang ada keperluan di tempat lain. Aku berjalan cepat menyusul seorang perempuan yang kuduga petugas kebersihan, untuk menanyakan keberadaan suamiku padanya . 

"Mbak! Kenal dengan suami saya? Mas guntur namanya. Apa dia punya selingkuhan di sini?" bisikku to the point. Perempuan itu kaget dan mundur lima langkah. Owlala. Aku lupa kalau ini sedang pandemi. Tidak boleh dekat-dekat, walaupun pakai masker. 

"Selingkuh? Siapa juga yang mau?" gumam wanita itu bingung. Apa dia tak melihat ketampanan suamiku yang paripurna? Jabatan bagus dan uang melimpah. Semua perempuan berebutan ingin jadi pacarnya. Aku yakin itu. 

Ah. Mungkin ada orang lain dengan nama yang sama. Suamiku kan tidak bekerja di sini. 

"Ini loh, Mbak, suami saya. Pasti kenal dong. Baru saja dia tadi masuk," jelasku, sembari menyodorkan ponselku. Di sana terpampang fotoku dan suami yang disertai tulisan 'suami gantengku'. 

Perempuan itu mungkin cemburu atau kecewa karena mengetahui Mas Guntur sudah punya istri imut dan anak-anak yang lucu. Dia menarik tanganku menuju tempat yang terpencil. Astaga, apa dia mau mengurungku di kamar mandi? Oh tidak. 

"Maksud Mbak, suami mbak itu yang ini kan?" seru perempuan itu. Aku membuka mata perlahan dan tampaklah Mas Guntur sedang memakai baju warna yang sama dengan perempuan judes tadi. Dia tidak lagi memakai baju kemeja yang ia pakai dari rumah. 

"Din-da! Ngapain kamu ke sini?" tanya Mas Guntur ketakutan. Seperti melihat hantu saja. 

Aku menelan ludah dengan susah payah, mengucek mata dan mencubit pipi dengan pelan. Owlala. Dia memang suamiku, lelaki yang mengenakan seragam cleaning service. 

"Kenapa kamu tak jujur, Mas?" seruku, lalu berlari ke luar dengan air mata kecewa. Tak kupedulikan lagi teriakan suamiku yang pembohong. Dia telah mengecewakan istrinya yang soleha ini.