"Kita kan baru mandi, Ma. Mau kemana emangnya?" tanya Viki sambil mengetuk dahinya dengan telunjuk. Anak lelakiku itu memang banyak tanya.
"Jangan banyak tanya. Ayo mandi," ajakku. Vika dan Vikri dengan senang hati mandi, lalu kupakaikan baju terbagus. Selama enam bulan terakhir, kami hampir tidak pernah pergi ke tempat rekreasi ataupun sekedar ke mall. Uang yang mengatur segalanya.
Cekrek. Cekrek. Cekrek.
Hmmm. Cara membuat foto terlihat gendut gimana ya? Biasanya juga emak-emak suka kalau badan dan pipinya langsing. Ini anak-anakku loh. Kalau kurus, nanti dikira kurang makan.
Setelah puluhan kali jebret, dapatlah satu foto yang sesuai dengan seleraku. Anak-anak sudah gerah karena disuruh senyum dan bergaya selama hampir setengah jam.
"Buka bajunya ya, Sayang!" titahku agar bajunya tidak kotor, lalu memberikan Smart Hafiz untuk mereka tonton. Belajar sambil mencari hiburan. Kalau tak gitu, mereka akan protes karena gak jadi keluar.
Kukirim foto anakku yang memang terlihat lebih montok karena baju mereka masih muat dipakai sampai tahun depan.
[Bahagia terrrrooos]
Krik krik krik
Sudah satu jam kubuat status WA beserta captionnya yang over emejing, tapi Mommy dan Mbak Pelangi belum juga melihatnya. Huh, padahal perjuangan mendapat foto itu sungguh luar biasa.
Kuletakkan ponsel, lalu mengerjakan pekerjaan yang lain. Tanganku yang cekatan bisa mengerjakan semuanya dengan cepat, lalu kembali mengecek statusku.
Iseng kulihat privasi statusku dan ternyata....
Ini pasti pekerjaan Mas Guntur telah mengubah privasi status hanya dibagikan padanya. Biasanya aku bikin status juga untuk dilihat Mbak Pelangi dan Mommy. Mungkin saat aku mengambilkan tas kerjanya ke kamar, papa dari anak-anakku itu telah mengubahnya.
Segera kuubah privasi seperti biasanya, tanpa perlu dibagikan pada kontak suamiku. Dia hanya tahu kesalahanku saja tanpa memikirkan dosa yang ia lakukan. Memikirkan kemewahan ibunya daripada keluarga kecilnya ini.
[Wah! Cantik banget bajunya Vika sama Vikri. Kalian udah besar ya sekarang.]
Huh. Mbak Pelangi langsung mengomentari foto anakku tapi fokusnya pada baju saja. Bilang aja iri dengan harga bajunya. Aku mulai kesal.
Tiba-tiba senyumku terbit karena Mommy telah mengirimkan pesan juga.
[Perasaan itu baju tahun kemarin ya? Guntur gak beli baju untuk cucu oma, ya?]
Krik krik krik
Astaga! Semua jawaban tidak ada yang seperti kuharapkan. Ingatan mertuaku ternyata masih jelas. Aku tidak bisa tinggal diam lagi. Uang belanjaku harus kembali seperti semula. Sudah cukup kesabaran yang kutahan selama ini.
***
Selama uang belanjaku berkurang drastis, aku sudah mulai berjualan online dengan cara dropship. Tapi karena aku yang tak punya bakat atau belum bertemu dengan pembeli yang loyal, tak satupun barang yang laku. Malas juga akhirnya posting-posting di sosmed.
Hmmm. Mungkin aku harus posting di WA aja. Mau lihat apakah Mommy dan Mbak Pelangi mau membelinya.
[Baju kekinian yang cocok banget buat yang ngaku kaya. Yang tak mampu tak usah nanya-nanya. Harganya mahal banget]
Sengaja nyelekit kata-katanya biar mereka pusing mikirin uangnya. Sengaja saja nanti kumahalkan harganya. Itung-itung agar aku kecipratan uang suamiku. Hehe.
Kalaupun aku kesal pada suami, mertua ataupun iparku, aku hanya bisa mengomel dalam hati. Kalau di luar, kesantunanku tetap terjaga. Mereka itu keluargaku. Tapi ya manusia, tetap saja ada perasaan dongkol saat mendapat perlakuan yang tak adil.
Baru beberapa menit, Mbak Pelangi dan mertuaku sudah melihat status jualanku yang cemiwiw. Belum ada juga pesan mereka yang masuk. Tuh, kan. Gaya sosialita tapi tak mampu beli baju mahal. Gagal deh mau dapat komisi.
***
Aku sudah memberi makan dua balitaku yang lagi aktif-aktifnya itu dan menyuruh mereka main berdua. Jam 9, mereka tidur setelah kubacakan kisah para sahabat nabi.
Sudah mendekati jam 10 malam suamiku belum juga pulang. Lembur lagi. Aku terus saja berselancar di dunia maya. Di aplikasi belambang huruf f juga ternyata banyak berseliweran makanan maupun pakaian yang menggoda. Huh, bikin mata perih karena kantong yang tak punya isi.
"Assalamualaikum," seru suamiku yang langsung kusambut dengan wajah ceria. Di tasnya pasti banyak uang.
"Walaikumsalam. Lembur lagi, Mas?"
"Iya, Dek. Mas lelah, boleh minta air hangat?"
Aku mengangguk, lalu mengambil minumannya. Kutelisik Mas Guntur dari ujung kaki sampai pangkal rambut. Dia terlihat sangat kecapekan. Kudekatkan hidung untuk membaui badannya yang kerjanya seharian bahkan lembur.
"Mas masih wangi? Kemana aja rupanya tadi? Dengan siapa? Berbuat apa? Dibayar atau membayar?"
Mas Guntur kikuk. Hmm, ini semakin mencurigakan.
"Kenapa diam, Mas? Jawab dong," imbuhku lagi.
"Mas bingung mau jawab yang mana. Pertanyaan kayak gerbong kereta api. Mas ini kerja, Dek. Harus tetap wangi dong."
"Jadi uangnya juga banyak dong," balasku cepat. Kubuka tasnya dan mencari lembaran yang kucari. Mataku membulat melihat beberapa lembar uang lecek dan bau. Tahu kan pecahan berapa itu? Yang jelas bukan berwarna biru apalagi merah. Mas Guntur kikuk melihat ekspresiku.
Suara dentingan ponsel membuatku lupa untuk melakukan aksi marah selanjutnya. Pending dulu lah.
[Mommy mau bajunya satu. Ada barangnya kan? Hari ini mommy akan jemput ke rumah kalian]
Kepalaku mendadak pusing. Suami sama mertuaku bikin darah tinggi saja.
[Mau lihat apakah benar ucapan sama kenyataan]
Status Mommy semakin membuatku panas dingin. Lutut pun semakin bergetar tak karuan. Ada rasa takut dan juga malu. Kalau Mommy datang, keberanianku harus kuat untuk mengungkapkan kekesalan ini pada mereka.
"Mommy mau datang kemari. Mas kirim uang buat Mommy ya? Sampe uangnya tinggal segini?" seruku.
Rasa kaget menulari suamiku. Takut kan kalau kedoknya terbongkar? Duh, aku juga takut dengan gayaku yang tak sesuai. Apa kukurim saja pesan kalau rumah kami sudah pindah?