ISTRI YANG KUKIRA BODOH TERNYATA LICIK
[Hari ini kita jadikan makan siang di restoran?] Aku membaca pesan yang di kirim, Selly, Kakakku di grup WA keluarga.
[Aldi yang bayar?]
[Iya Bu, aku yang bayar.] Aku mengetik pesan tersebut, dan langsung terkirim.
[Istrimu gak usah di ajak Di, bikin malu doang!]
[Jelas dong, Bu. Aku gak bakalan ajak Luna. Mauku kan uangnya doang.]
[Pinter kamu Di, kalau udah kamu kuasai hartanya. Orangnya kamu ceraikan, biar jadi gembel di jalanan.]
[Bang, besok, aku, Ibu sama Kak Selly mau tinggal di rumah Abang. Boleh?] Aku menyipitkan mata, menyeruput kopi buatan Luna perlahan. Maklum, kopinya masih panas.
[Jelas boleh dong. Rumahku ini kan juga rumah kalian.] Begitu lah pesan yang kukirim, setelahnya aku menyudahi bertukar pesan di grup. Memilih menikmati secangkir kopi sambil berpikir bagaimana membuat istriku lebih bodoh dari ini.
Luna itu perempuan polos, dia tidak tahu saja aku menikahinya bukan karena cinta. Melainkan uangnya. Ayahnya meninggal seminggu yang lalu. Dan dia menjadi satu-satunya alih waris keluarganya. Saat yang kuinginkan tercapai, aku akan mendepaknya layaknya sampah. Termaksud berniat menguasai rumah ini.
"Luna!" Aku memanggil namanya. Beberapa detik dia tak juga muncul.
"Luna, C'k!" Tak berselang lama, Luna datang. Ia berlari menghampiriku.
"Ada apa Mas?" tanyanya sambil mengatur napas.
"Lama banget sih, punya telinga itu di pakai. Dari tadi di panggil gak nongol-nongol."
"Maaf Mas, aku lagi nyuci baju di belakang."
Alasan, bilang saja malas berjalan.
Istri begini nih yang bikin suami gak betah di rumah.
"Ambilkan Mas jaket sama kunci mobil," perintahku.
Melihat Luna tak beranjak tanpa sadar telah menyulut emosiku. Ck, C'k, kalau bukan karena hartanya. Wanita sepertinya sudah kubuang ke tong sampah. Tidak berguna, tak punya otak!
"Lun!"
"Iya Mas, bentar aku ambilkan." Perempuan berambut gelombang itu berlalu begitu saja. Tak butuh waktu lama, Luna kembali dengan membawa jaket.
Aku menyambar jaket itu, lalu mengenakannya.
"Mas mau kemana?"
"Bukan urusanmu,"
"Gak makan siang di rumah!"
"Ahh, janck, bisa diam gak sih Lun! Gak usah banyak tanya, besok Ibu, Kak Selly sama adikku mau tinggal di sini, kamu siapkan kamar mereka!" ucapku pada Luna.
Ia melongo, dan memanyunkan bibirnya. Jangan bilang dia tidak suka keluargaku tinggal di sini.
"Kok mendadak sih Mas?"
"Memangnya kenapa? Udah sana, gak usah bantah!" Aku mendorong kasar tubuh Luna, lalu berbalik badan, dan meninggalkan rumah menuju restoran. Sebentar lagi waktunya makan siang.
****
Setibanya di restoran, kulihat Kak Selly, Ibu dan Medi sudah berkumpul. Mereka berdiri menyambutku.
"Lama banget sih Di?" celetuk Ibu.
"Ada kendala sedikit di jalan Bu," jawabku.
Aku menarik kursi, lalu mendaratkan pantatku di sana. Ibu sudah memesan menu makanan kesukaannya.
"Bang, beliin aku mobil dong." Aku tersenyum pada Medi, dia adikku. Jadi aku memiliki satu adik dan satu kakak.
"Habis ini kita beli,"
"Bener Bang?" tanyanya memastikan, binar di mata Medi tidak bisa berbohong.
"Apa sih yang gak buat kamu, Dek. Habis makan, kita langsung beli mobil yang kamu mau," jelasku.
"Kalau gitu Ibu minta dong Di, Ibu mau beli perhiasan baru," sahut Ibu.
"Nanti aku kasih Bu,"
"Aku juga Di, aku mau belanja," sambung Kak Selly.
Aku menganggukkan kepala, dan akan menuruti permintaan mereka setelah selesai makan siang.
"Ya sudah kita makan aja dulu," ucap Ibu.
Aku bangkit, Ibu menatapku bingung. "Mau kemana Di?"
"Ke toilet, Bu," jawabku.
Aku meraih ponsel, lalu kumasukkan ke dalam saku celana. Berderap menuju toilet di restoran ini.
Aku membasuh wajah, berdiri di depan pantulan kaca.
Ting!
Ponsel di saku berbunyi, aku memeriksanya. Membaca pesan yang dikirim Bilqis.
[Yank, aku mau belanja. Bisa gak kamu temenin aku.]
Dengan lincah aku membalas pesan dari Bilqis, kekasih gelap ku.
[Bisa dong, kamu nyusul Mas ke restoran. Sekalian kamu belanjanya bareng Ibu, sama Kak Selly.]
[Kamu share lokasinya sayang.] Balasnya. Tanpa pikir dua kali aku mengirim lokasiku saat ini. Bilqis dulu itu mantanku, kami menjalin kembali hubungan dua bulan yang lalu.
Setelah mengirim pesan, aku keluar dari toilet. Kembali menghampiri keluargaku.
"Di, buruan kamu bayar bill nya. Ibu udah gak sabar mau beli perhiasan baru," ucap Ibu.
"Ayo bang, aku juga gak sabar pamer mobil baru," imbuh Medi.
Aku merogoh dompetku, mengambil uang cash yang tadi pagi aku cairkan.
Kedua bola mataku membulat, bukan lembaran uang yang kutemukan. Melainkan dedaunan. Bangsat, di mana uangku? Ck, C'k, bagaimana ini?
Tak habis akal, aku mengambil kartu ATMku. Jantungku berdetak cepat seiring peluh yang membasahi kening. Bukan kartu ATM yang kutemukan, melainkan selembar kertas yang bertulis Kartu ATM.
"Dih, buruan kamu bayar!" Ibu membuyarkan keterjutanku.
Duh bagaimana ini?
Pasti ulah Luna, kalau bukan dia siapa lagi.
Next?