ISTRI YANG KUKIRA BODOH TERNYATA LICIK (4)
Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami tiba di rumah. Buru-buru aku mematikan mesin mobil, dan melangkah keluar bersama Kak Selly.
"Ayo." Aku membuka pintu rumah, dan langsung mencari keberadaan Luna. Sedangkan Ibu, Medi, dan Bilqis menyusul di belakang.
"Luna!"
"He, menantu gak tahu diri! Di mana kamu sekarang, hah!"
"Luna, keluar kamu!"
Tanpa memperdulikan ucapan mereka, aku mengayun langkah cepat menuju dapur. Biasanya jam segini Luna ada dapur, entah sedang memasak atau mencuci piring.
"Luna!"
Aku memanggil namanya sambil mengusap wajahku kasar. Kemana perginya Luna? Di dapur tidak ada? Harus kucari di mana lagi wanita ibl*s itu.
"Gimana Di, udah ketemu belum istrimu?" Ibu mengikutiku ke dapur, aku menoleh, dan menatap Ibu dengan wajah keruh.
"Ibu lihat sendiri, Luna tidak ada di dapur Bu. Aku cari di belakang juga gak ada. Duh pergi kemana dia Bu?" Aku memijat pelipis yang berdenyut, melihat Ibu menarik kursi, dan mendaratkan pantatnya di sana. Masih sempat-sempatnya Ibu duduk di kondisi darurat seperti ini.
"Di kamar Di, coba kamu cari Luna di kamarnya. Siapa tahu dia lagi tiduran!"
"Di ruang tengah udah Ibu periksa?"
"Udah Di, Luna gak ada di sana. Coba kamu cari di kamarnya!"
Menghela napas berat, aku pun menganggukan kepala.
"Tolong Ibu temenin Bilqis." Aku meninggalkan Ibu begitu saja, sedikit berlari aku berjalan ke kamar.
Sesampainya di depan pintu. Aku melenggang masuk, mataku menelisik ke berbagai sudut di kamar ini. Namun, nihil. Luna tidak ada di sini, ya Tuhan.
Di mana kamu, Lun?
"Luna, cepat keluar. Jangan sembunyi, Mas akan menghukummu nanti." Aku meninggikan suara, lantas memeriksa kamar mandi. Nihil, tidak kutemukan Luna di kamar mandi. Lantas di mana dia? Apa Luna sudah pergi meninggalkan rumah?
Aku hanya bisa menerka-nerka, tidak ada kejelasan mengenai keberadaan Luna sekarang.
"Di, Luna gak ada di ruang tamu, di gudang juga udah Kakak periksa." Tiba-tiba Kak Selly dan Medi datang ke kamarku. Ia menghampiriku, kami sudah pusing tujuh keliling mencari Luna.
"Duh, kira-kira di mana ya Mbak Luna?" Medi menggigit bibirnya.
Aku bergerak gelisah, memikirkan nasibku dan keluarga kalau tidak ada Luna.
Mana aku belum sepenuhnya menguasai hartanya.
Gajiku tak akan cukup menghidupi kebutuhan mereka. Pengen beli ini, beli itu. Mana aku sudah janji akan membelikan Medi mobil, Ibu perhiasan. Dan menemani Bilqis serta Kak Selly belanja.
"Di, jangan diam saja. Lakukan sesuatu!"
"Lakukan apa Kak?" Aku menatap Kak Selly, wanita itu menghembuskan napas kasar. Otakku benar-benar buntu sekarang.
"Biar aku telepon Luna, kalau kamu yang telepon, takutnya gak di angkat."
"Buruan Kakak telepon," imbuh Medi.
Kak Selly mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Ia segera menelepon Luna, aku menunggu cemas respon yang Luna berikan.
"Di angkat Kak?"
"Masih menyambungkan," jawabnya.
Sekian kalinya aku menarik napas panjang. Jantungku sudah berpacu tak karuan.
"Luna di mana kamu?" Aku menyugar rambut ke belakang, Kak Selly sesekali melirikku. Luna sudah menerima panggilan telepon, ini saatnya aku bicara dengannya.
"Luna!"
"Aku lagi berjemur di pantai, cuci mata lihat bule." Refleks aku membulatkan mata, sedikit tercengang dengan penuturannya. Ke pantai? Suaminya sedang kelimpungan? Dia bisa-bisanya refreshing. Lihat bule pula?
"Keterlaluan kamu Lun, kamu bikin kita Malu. Cepat balikin uang Aldi. Kamu jadi istri itu yang bener, harusnya kamu bersyukur punya suami seperti Aldi!" murka Kak Selly, aku membenarkan perkataannya. Bagaimana Luna mau bahagia, dia saja tidak pernah bersyukur.
"Dulu saat Papa masih ada aku masih sanggup bertahan. Tapi sekarang sudah tidak," balas Luna.
Medi menghentak-hentakan kakinya, ia merajuk meminta benda pipih milik kak Selly.
"Sabar Med, biar Kak Selly dulu yang bicara."
"Habisnya aku kesel Bang, kalau begini ceritanya aku gak bisa dong pamer mobil baru," sungut Medi.
"Udah mulai berani kamu sama kita, Lun!"
"Mbak Luna, tolong ya kembalikan uang Abangku. Aku tuh mau beli mobil, udah gitu tadi kita makan gak bisa bayar!" Medi yang tak sabaran menyambar ponsel Kak Selly. Ia marah-marah pada Luna.
"Itu urusan kalian,"
"Jangan sombong loh ya, ingat karma udah durhaka sama suami!" sahut Kak Selly.
Luna begitu tenang menanggapi ucapan Kak Selly, sedangkan aku sudah tersulut emosi.
"Kamu di pantai mana? Biar Mas susul?"
"Gak perlu repot-repot Mas, mending kamu urus keluargamu. Setelah aku pulang nanti, kalian akan kudepak dari rumahku!" Jantungku terasa berhenti berdetak, kalimat menohok dari Luna membuat tubuhku menegang. Napas seakan ditarik paksa dari rongga dada.
"Siapa kamu bisa seenaknya depak kita. Rumah ini punya Aldi!"
"Kata siapa? Rumah itu milikku, udah deh kak, lebih baik kalian mempersiapkan diri!"
"Luna, apa tak bisa di bicarakan baik-baik. Kamu pulang dulu,"
"Bicara apalagi sih Mas? Aku tuh dah capek sama kamu!"
"Gak bisa begitu dong Lun, kamu tahu diri sedikit kenapa sih!"
"Kamu dan keluargamu itu yang harusnya tahu diri, gak punya uang, gengsinya selangit!"
Belum sempat aku menyela ucapannya, dengan sepihak Luna memutuskan sambungan telepon. Selalu seperti ini, Luna seakan menghindar dariku. Dan membuat kami semua gemas dengannya.
Duh bagaimana ini?
Harus apa aku sekarang?
Berpikir dong Aldi, ini otak kenapa jadi dodol begini sih!
Aku mengacak-acak rambut frustasi, berjalan mondar-mandir seperti setrika.
"Kalau Ibu tahu, dia pasti bakalan marahin Abang!"
"Diem deh kamu Medi, kalau gak bisa bantu Abang. Mendingan keluar," tuturku sambil menunjuk pintu.
"Di, coba kamu sekarang geledah kamar Luna. Siapa tahu Luna meninggalkan sesuatu yang berharga." Penuturan Kak Selly membuatku terlonjak, tanpa pikir dua kali. Aku segera membuka lemari, mengeluarkan pakaian Luna dari sana. Mencari brankas yang biasanya ada di dalam.
Aku membuka brankas tersebut, masih ingat PINnya, lantaran aku sendiri yang menggantinya.
Semoga saja masih ada uang di dalamnya, atau setidaknya sertifikat rumah dan sebagainya, batinku.
Kak Selly dan Medi mendekat, perlahan aku membuka brankas tersebut. Betapa syoknya kami saat melihat isinya ternyata bukan uang melainkan pasir. Sialan, setelah uang daun, sekarang brankas pasir.
Sial ... Sial!
Arghh, Luna,******you!
****
Gaess yang belum tekan tombol subcribe, segera tekan yah. Pleasee ... Terima kasih