Chapter 7
Kemudian, kulanjutkan pembicaraan dengan Lina. Sesegera mungkin kuusap air mata yang membasahi pipi.

“Mbak, kita sama-sama perempuan. Gimana rasanya kalau Mbak ada di posisi saya? Coba lihat anak-anaknya Mas Mahfud, apa nggak kasian, Mbak?” ucapku lirih dengan berlinangan air mata.

Lina hanya terdiam seraya memandangi Ersa, putri bungsuku yang berada di gendonganku. Kemudian, tiba-tiba Bu Jalal datang mengantar makanan. Dengan cepat tanganku menyeka air mata. Tak ingin beliau mengetahui permasalahan yang kuhadapi.

“Saya bawa anak-anak ke rumah, ya,” ucap Bu Jalal sambil menggendong Rifky dan menggandeng kedua kakaknya. Beliau seperti paham kondisi hatiku.

Setelah Bu Jalal pergi, aku melanjutkan pembicaraan dengan Lina. Memohon padanya agar menjauhi Mas Mahfud. Ia pun meminta maaf dan berjanji akan mengakhiri semuanya.

***
Setelah kejadian kemarin, aku tak tahu harus berbuat apa. Suami yang kucinta tega mendua, entah sudah berapa kali ia mengkhianati. Lagi-lagi kesempatan kedua tetap kuberikan. Namun, tidak dengan kepercayaan. Rasa curiga terus membuntuti ke mana pun kaki melangkah. Aku mempertahankan hubungan hanya demi anak-anak.

Pikiranku kalut. Jalan takdir yang kulalui benar-benar terjal dan berliku. Otakku serasa mau meledak jika memikirkan kelakuan Mas Mahfud. Entah harus ke mana aku mengadu.

Saat Mas Mahfud kembali ke pos, kuberanikan diri berkunjung ke rumah Mbak Tara—kakak tertua suamiku. Kebetulan rumahnya tak jauh dari asrama. Berharap bisa kujadikan bejana yang siap menampung curahan hatiku.

“Tumben kamu ke sini, Nung?” tanya Mbak Tara blak-blakan.

“Iya, Mbak, kebetulan ada yang mau aku bicarakan.”

Mendadak raut wajah Mbak Tara berubah. Ia mengernyit dan mulai mendekat ke arahku. Kakak iparku sepertinya penasaran.

“Ada apa, Nung? Apa mau minjem uang?” Mbak Tara menerka-nerka maksud pembicaraanku.

“Bukan, Mbak.” Aku menghela napas dan sedikit membenarkan posisi duduk. Sangat wajar bila Mbak Tara mempunyai pemikiran seperti itu karena memang kami jarang ke rumahnya.

“Tentang Mas Mahfud.”

Mendengar ucapanku, seketika Mbak Tara semakin penasaran. Ia menyibak rambut panjangnya dan mengecilkan volume televisi. Ia juga memarahi anak-anaknya yang ribut dan menyuruh bemain di luar.

“Kemarin ada selingkuhannya Mas Mahfud datang ke rumah.”

“Mahfud selingkuh?” pekik Mbak Tara. Kemudian, ia menutup mulut dengan telapak tangannya.

 Aku mengangguk pelan, tak sanggup untuk berbicara. Mataku pun mulai berkaca-kaca. Namun, Mbak Tara makin penasaran dan memaksaku mengatakan semuanya.
 
Aku menceritakan semua apa adanya. Betapa terkejutnya kakak iparku itu mengetahui kelakuan adiknya. Selama menikah, Mas Mahfud dikenal dengan suami penyayang. Tak pernah ada permasalahan yang menyerang. Mbak Tara sampai tak habis pikir dengan kelakuan adik lelakinya.

“Mahfud bisa selingkuh berarti ada yang nggak beres sama rumah tangganya, terutama istrinya. Nggak akan ada asap kalau nggak ada api. Mungkin kamu kurang perhatian atau kamu jangan-jangan nggak bisa melayani suami dengan baik,” ujar Mbak Tara yang mendadak memojokkanku.

Hatiku terasa perih. Bak jatuh tertimpa tangga pula. Bukannya dukungan yang kuterima, justru menyudutkan yang membuat semangatku luntur. Seketika wajah keempat anakku melintas di benak. Ya, hanya mereka alasanku untuk tetap kuat dan bertahan.

Tak ingin mendengar ucapan Mbak Tara yang membuat hati Luka, kuputuskan kembali ke rumah. Di dalam kamar berukuran sedang, kutumpahkan semua kesedihan. Kupandangi seluruh isi kamar. Kebersamaan bersama Mas Mahfud dan anak-anak kembali hadir di pikiran. Kebahagiaan yang sejak lama terbingkai indah harus pecah berkeping-keping. Berantakan.

Tak ada pilihan lain. Bu Jalal satu-satunya orang yang akan kujadikan tempat curhat. Setelah anak-anak tidur siang, aku bertamu ke sebelah dengan alasan mengembalikan mangkuk.

“Mama Rizky kenapa? Kayaknya lagi ada masalah. Maaf, kemarin itu siapa? Saudaranya Om Mahfud, ya?” tanya Bu Jalal penasaran.

Aku tersenyum kecut. Jika teringat kejadian kemarin, hatiku mendadak nyeri. “Bukan, Bude. Itu mama barunya Rizky.”

“Hus, nggak boleh ngomong gitu. Kalau ada malaikat lewat, gimana?”

Aku mengetuk meja dan kepalaku sendiri. “Ih, amit-amit, Bude.”

“Yang kemarin itu bukan saudaranya bapak Rizky, Bude. Itu selingkuhannya Mas Mahfud,” lanjutku seraya menjelaskan.

Sontak Bu Jalal terkejut. Berulang kali beliau beristigfar. Tak menyangka atas perbuatan suamiku. Kemudian, tetangga yang sudah kuanggap sebagai saudara itu berusaha menenangkanku. Wejangan-wejangan pun beliau berikan. Bu Jalal tampak prihatin dengan rumah tanggaku.

“Yang sabar, ya, Bulek. Tetap seperti air danau yang selalu tenang. Ingat anak-anak. Jangan lupa banyak berdoa. Allah nggak mungkin kasih ujian di luar batas kemampuan umat-Nya.” Bu Jalal merangkul pundakku.

Seketika air mataku meleleh, tak kuasa mendengar nasihat dari Bu Jalal. Ucapan tetanggaku itu sangat menyejukkan hati. Aku sangat bersyukur. Meskipun berada dalam masalah, masih dipertemukan dengan orang baik.

“Kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu jangan sungkan, ya.”

Aku dan Bu Jalal saling berpelukan. Beliau pun ikut bersedih atas permasalahan yang kuhadapi. Hatiku nelangsa. Saudara suami yang kusangka bisa diajak berbagi keluh kesah, nyatanya hanya bisa memojokkan. Tetangga yang nyata-nyata orang lain, justru memberikan perhatiannya melebihi keluarga. Ya, ternyata aku baru menyadari bahwa ikatan saudara tak selalu berasal dari aliran darah yang sama.

“Bu, Bude Tara datang,” ucap Rizky memberi tahu.

Spontan aku berlari ke rumah. Tampak kakak iparku sedang berdiri sembari memperhatikan beberapa koleksi bunga yang kutanam.

“Kamu dari mana? Suami nggak ada malah ngeluyur,” tanya Mbak Tara sambil berjalan mendekat ke arahku.

“Habis kembalikan mangkuk di Bude sebelah, Mbak.”

“Ya, mungkin hal kecil seperti ini yang bisa menyebabkan Mahfud selingkuh. Mungkin kamu doyan ngerumpi ke tetangga,” tuduh kakak iparku.

Kemudian, ia masuk ke dalam seraya mengecek ketiga anakku yang masih terlelap di kamar. Dadaku mendadak bergolak, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Menimpali pun percuma, hanya penyerangan yang akan kudapat.

“Kapan Mahfud pulang?”

“Nggak pasti, Mbak. Kadang seminggu sekali, kadang juga sebulan sekali. Kemarin malah dua bulan nggak pulang,” jawabku.

“Kalau gitu minta nomor teleponnya Mahfud. Nanti aku hubungi biar tahu kalau dia pulang,” lanjut Mbak tara seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.

***
Ketika Mas Mahfud pulang dari pos, Mbak Tara datang ke rumah. Ternyata kedatangannya hanya ingin menasihati suamiku. Banyak nasihat yang diberikan pada adik lelakinya. Mas Mahfud mendadak terkejut. Ia sangat heran mengapa bisa sampai kakaknya mengetahui semua kebusukannya?

Setelah kakaknya pulang, Mas Mahfud mencecarku. Terpaksa aku jujur. Ia benar-benar geram dan melampiaskan kemarahannya. Suamiku membanting guci besar berisi bunga artifisial yang berada di sudut ruang tamu hingga pecah dan berserakan. Aku berusaha menenangkan, tapi Mas Mahfud justru semakin emosi.

“Kamu udah berani jelek-jelekin suamimu sama Mbak Tara, ya! Kamu ingin dibela?”

“Mas, aku minta maaf. Bukan maksudku seperti itu, tapi aku nggak tahu harus ke mana. Lagi pula Mbak Tara, kan, kakak Sampean. Nggak salah juga kalau aku cerita sama dia,” terangku pelan.

“Ya, tapi kamu sama saja sudah membuka aib rumah tanggamu sendiri. Selama ini aku nggak pernah ceritakan masalah kita ke siapa-siapa.”

“Mas, sebenarnya apa salahku? Sampean nggak kasian sama anak-anak? Lihat Ersa, dia anak perempuan. Gimana kalau suatu saat anak perempuan sampean diselingkuhin sama suaminya? Sebagai orang tua, sampean marah nggak?” Aku berbicara panjang lebar di hadapan Mas Mahfud. 

“Nggak usah bawa anak-anak.”

“Buah jatuh itu nggak jauh dari pohonnya, Mas. Apa sampean mau kasih contoh buat anak-anak yang tidak baik?” lanjutku menimpali.

Seketika Mas Mahfud terdiam. Emosinya pun mulai turun. Kemudian, ia memegang kedua tanganku. “Aku minta maaf, Nung. Aku sadar sudah khilaf. Tolong kasih satu kesempatan lagi. Aku udah nggak sama Lina lagi."

“Aku sudah maafkan sampean, Mas. Kesempatan kedua, bahkan ketiga atau keempat pun sudah aku siapkan, tapi maaf. Aku belum bisa percaya. Kepercayaan itu mahal, Mas. Intinya sampean jangan ulangi lagi,” jawabku dengan deraian air mata.

Mas Mahfud langsung memelukku erat. Sepertinya, ia mulai menyadari kesalahannya. Suamiku berulang kali meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Semoga saja ucapannya benar-benar tulus.

Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!