Mendengar kenekatan Mas Mahfud, terpaksa kuserahkan tabungan emas dan uang yang diam-diam kusimpan selama sepuluh tahun. Semuanya raib dalam sekejap demi melunasi utang suamiku, sekaligus menyelamatkannya dari hukuman kantor.
Setelah urusan utang beres, kuharap Mas Mahfud tidak mengulangi perbuatannya lagi. Kalau soal hati, insyaallah bisa memaafkan. No body is perfect. Namun, bukan berarti aku bisa melupakan semua kesalahan yang telah diperbuat.
***
Seminggu kemudian, Mas Mahfud memberi tahu bahwa mendapat perintah dinas luar: menjaga perusahaan kelapa sawit di daerah perbatasan. Katanya, ada beberapa orang yang bertugas di sana. Hatiku seketika tenang. Berharap ia bisa berubah.
Selama dinas luar, seminggu sekali Mas Mahfud pulang ke rumah. Ia selalu memberiku uang yang lumayan banyak. Ketika kutanya, suamiku mengatakan bahwa itu hasil pengamanan perusahaan.
Waktu terus bergulir. Setelah dua bulan Mas Mahfud melaksanakan dinas luar, isu tidak sedap kembali kudengar dari tetangga belakang rumah. Ia mendapat informasi dari suaminya. Isunya, Mas Mahfud terseret bisnis illegal logging. Gejolak di hatiku kembali membara. Sudah tak sabar ingin menanyakan secara langsung pada suamiku sendiri.
Saat Rifky, putra ketigaku sakit, aku memberi tahu Mas Mahfud. Begitu mendengar kabar anaknya sakit, ia langsung meminta izin pulang. Beberapa hari di rumah, pertanyaan yang tersampir di benak kembali tergelincir.
“Mas, dengar-dengar katanya Sampean ikut illegal logging, ya?”
“Kata siapa? Kamu itu nggak usah dengar omongan orang. Percaya saja sama suamimu.” Mas Mahfud berusaha meyakinkan diriku.
“Apalagi udah pernah kena kasus utang kemarin, pasti banyak yang memanfaatkan buat ngejatuhin. Pokoknya kamu fokus urus anak-anak. Kayak nggak tahu kehidupan asrama saja,” lanjutnya lagi.
Aku mengiakan. Tak mau membahas terlalu jauh. Apalagi dalam keadaan anak sakit, rasanya kurang tepat. Namun, pikiranku teus saja berkeliaran memikirkan selentingan tentang suamiku itu.
Selama berada di rumah, Mas Mahfud mengungkungku. Ia tak mengizinkanku keluar, bahkan sekadar main ke rumah tetangga pun tak boleh.
Setelah anakku sehat, Mas Mahfud kembali ke pos. Saatnya aku beraksi untuk menuntaskan rasa penasaran. Kuberanikan diri mendatangi rumah Bu Jalal. Kebetulan, sejak kejadian hari itu hubunganku dengan beliau semakin akrab. Ia sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Suami Bu Jalal juga sama-sama dinas di korem dengan Mas Mahfud.
“Bude, kemarin saya dengar selentingan tentang bapak Rizky. Bude tahu nggak?” tanyaku penasaran.
“Selentingan yang di pos itu, kah, Mama Rizky?”
Jantungku berdetak kencang. Ternyata apa yang kudengar nyata adanya. Hatiku makin penasaran dan terus meminta Bu Jalal bercerita.
“Kata Pakde, isunya Om Mahfud ikut bisnis illegal logging sama orang-orang sipil lainnya,” jelas Bu Jalal.
Astaga! Ternyata benar suamiku kembali berulah. Dadaku bergemuruh. Gelombang dalam hati mendadak berfrekuensi tinggi.
“Kenapa nggak diproses, Bude? Biar kapok gitu, lho. Orang, kok, ada saja tingkahnya,” lanjutku geram.
“Kata Pakde masih diselidiki dulu, Mama Rizky. Semoga aja nggak bener,” jawab Bu Jalal menenangkanku.
Aku menghela napas berat. Sangat lelah dengan ulah-ulah Mas Mahfud yang tak ada habisnya. Kemudian, Rizky tiba-tiba datang memberi tahu bahwa Ersa telah bangun. Ya, ketika kutinggal ke rumah Bu Jalal, putri bungsuku itu sedang tidur.
"Saya pulang dulu, ya Bude." Gegas aku berlari ke rumah.
Tampak Ersa telah bermain di lantai. Segera kuambil dan menggendongnya. Setela itu, kuraih ponsel yang berada di bufet. Ternyata ada enam kali panggilan tak terjawab dari Mas Mahfud. Tumben-tumbennya ia menghubungiku. Biasanya kendala jaringan sehingga jarang bertukar kabar. Ternyata suamiku hanya mengingatkanku agar tetap di rumah dan tidak percaya dengan omongan orang. Aku mengiakan, tapi pikiran semakin liar mencari tahu.
***
Memaafkan bukan berarti melupakan kesalahan. Hanya saja kaki ini tak mampu meninggalkan. Sederetan ujian yang mewarnai rumah tanggaku kembali berkeliaran di pikiran. Entah mengapa hatiku ingin menghubungi Mas Mahfud, apalagi dua bulan belakangan ia tidak pulang. Ditambah kepingan curiga yang tiba-tiba menancap di benak semakin memperkuat keinginanku untuk meneleponnya.
Dua belas digit angka beserta nama kontak Soulmate terpampang di layar ponsel. Namun, bukan nada sambung yang terdengar, melainkan suara operator yang menandakan bahwa nomor tujuanku sedang berada di luar jangkauan.
Kuulangi sekali lagi, suara yang sama tetap terdengar. Mataku awas memandangi sederetan angka tersebut, barangkali ada satu nomor yang salah. Namun, hal itu tidak kutemukan. Hingga tiga kali jemariku memencet tombol hijau. Hasil yang sama.
Seketika pikiranku melayang teringat sebuah nomor tak dikenal yang pernah kuhubungi. Langsung saja kugerakkan tangan untuk menelepon. Ternyata nomornya aktif. Setelah tersambung, lagi-lagi petir menyambar telingaku.
Terdengar suara wanita yang menjawab telepon tersebut. Refleks tanganku memencet tombol merah seraya mengakhiri. Namun, berbagai pertanyaan terangkai di pikiran. Bukankah hari itu yang menerima panggilanku seperti suara Mas Mahfud? Mengapa kali ini seorang wanita? Badanku seketika lemas, dadaku pun serasa terimpit beban.
Malam begitu sunyi. Keempat anakku sudah terlelap. Di dalam kamar yang terdengar hanya suara detakan jarum jam. Ingin sekali mata ini tertutup, tapi pikiran masih berkelana memikirkan Mas Mahfud. Sekelebat trauma kembali menghantui.
Tepat pukul sebelas lewat dua puluh lima menit, panggilan masuk dari nomor tak dikenal yang kuhubungi tadi.
“Ini siapa?” tanya seorang wanita di seberang. Berikutnya terdengar suara lelaki yang sangat mirip dengan suara Mas Mahfud.
Sudut mataku mendadak mengembun. Tanganku seketika lemas mengakhiri panggilan. Namun, pikiran warasku kembali memenuhi setiap ruang hati. Mungkin hanya mirip dengan suara Mas Mahfud, pikirku. Hingga lamunan membawaku terbang ke alam mimpi.
Bersambung