***
Hari Minggu bagi sebagian orang adalah waktu berkumpul bersama keluarga, tetapi tidak untuk diriku. Mas Mahfud belum juga pulang. Nomornya sangat sulit dihubungi. Namun, tak menyurutkan semangatku tetap menjalani hari karena masih ada anak-anak yang selalu menemani.
Siang itu, Bu Jalal mengundangku ke rumahnya. Kebetulan ada acara makan-makan. Beliau memasak bubur Manado dan kami turut menikmati bersama.
“Bu, dipanggil Ayah,” ujar anak sulungku.
Sontak aku terkejut. Belum sempat menghabiskan makanan, aku bergegas pulang ke rumah. Tampak Mas Mahfud sedang duduk di sofa.
“Dari mana?” tanyanya penasaran.
“Tadi dipanggil Bude sebelah makan bubur Manado,” jawabku jujur.
“Udah kubilang jangan ke mana-mana, diam saja di rumah masih ngeyel. Suami pulang malah nggak ada di rumah.” Ucapan Mas Mahfud membuatku tak banyak bicara.
Aku langsung menuju dapur menyiapkan minum dan makan siang untuk Mas Mahfud. Setelah beres, kembali ke ruang tamu.
“Kok, baru pulang, Mas? Biasanya seminggu sekali. Terus kenapa nomornya nggak pernah aktif?” Kuhujani Mas Mahfud dengan pertanyaan.
Namun, bukan jawaban yang kudapatkan, melainkan sebuah penyanggahan yang membuat hatiku tersayat. “Kamu itu kenapa, sih? Nanya-nanya nggak jelas. Mau nyari kesalahanku, ya? Namanya orang tugas, ya, nggak bisa seenaknya pulang. Kalau ada apa-apa di pos gimana? Kayak baru nikah sama tentara saja.”
Aku diam, sama sekali tidak menimpali. Jika sempat menyahut, kupastikan akan terjadi percekcokan. Aku hanya bisa menahan perasaan, tapi otakku berkeliaran ke mana-mana ingin mencari tahu.
“Nih, buat belanja, tapi jangan boros-boros.” Mas Mahfud menyerahkan sejumlah uang yang cukup banyak.
“Banyak banget, Mas. Uang dari mana ini?” tanyaku heran.
“Nggak usah banyak tanya, terima aja. Kalau nggak mau, ya, aku ambil lagi.”
“Nanya aja masa nggak boleh? Aku cuma nggak mau kalau buat makan sehari-hari dari hasil yang nggak bener,” jawabku seraya menjelaskan.
Mas Mahfud menatapku nanar. “Nggak usah sok alim.”
Aku bingung, tak tahu harus berkata apa. Setiap penjelasanku selalu disalahkan. Mas Mahfudku yang dahulu telah hilang. Hatiku merasa rindu pada sosok suami yang selalu menyayangiku juga anak-anak.
Meskipun demikian, masih saja kulayani Mas Mahfud dengan baik. Setelah mengambilkan makan, aku berpura-pura meminjam ponselnya, tapi ia tak mengizinkan. Rasa curigaku kian menggunung.
Usai makan, Mas Mahfud meletakkan ponsel di meja samping sofa, lalu beranjak ke teras untuk mencuci motor. Selama ia di luar, diam-diam kuambil HP-nya seraya mengecek. Bersyukur, Mas Mahfud tak memakai kode sandi.
Langkah pertama kuperiksa daftar kontak. Sesaat jemariku terhenti pada sebuah nomor yang diberi nama PIP. Di antara banyak kontak, nomor tersebut yang berhasil mencuri perhatianku. Kemudian, kucatat nomor tersebut dan menaruh ponsel ke tempat semula.
Beberapa saat kemudian, Mas Mahfud masuk. Rasa penasaranku tak bisa terbendung lagi. Langsung lsaja kutanyakan padanya.
“Mas, nomor dengan nama PIP itu punya siapa?”
“Oh, itu nomornya teman yang kerja di perusahaan,” jawabnya santai.
Mendengar jawaban Mas mahfud, entah mengapa otakku tak bisa mempercayainya. Rasa penasaran semakin membelenggu pikiran.
Setelah mencuci motor, Mas Mahfud berpamitan keluar. Katanya ada keperluan. Wah, kesempatan. Saatnya aku beraksi untuk mengetahui si pemilik nomor tersebut. Kuberanikan diri menelepon. Betapa terkejutnya diriku saat yang terdengar di seberang adalah suara wanita. Suaranya pun tak asing di telinga.
Setelah kutanya panjang lebar, wanita tersebut mengaku kalau sebenarnya memiliki hubungan khusus dengan Mas Mahfud. Ia sempat meminta maaf. Mendadak aliran darahku terasa panas. Akhirnya, kusuruh pemilik nomor tersebut datang ke rumah untuk bicara dari hati ke hati.
Tak perlu menunggu waktu lama, wanita tersebut memenuhi permintaanku. Namun, yang paling mengejutkan adalah si pemilik nomor tersebut ternyata Lina. Wanita berambut pirang yang pernah bertemu denganku sebelumnya. Sungguh tak kusangka.
“Saya minta maaf, Mbak. Dulu Mas Mahfud bilang kalau masih bujang makanya saya mau,” jelas Lina mengakui.
Kali itu sikapnya seperti kucing yang sedang tersiram air. Berbanding terbalik dengan awal datang ke rumah untuk menagih utang bak singa hutan.
“Tapi, kenapa Mbak nggak jujur waktu ke sini? Malah bilang kalau mau nagih utang,” jawabku menimpali.
“Iya, Mbak, saya minta maaf. Semua salah saya karena sudah kasih pinjaman. Maksud saya buat ambil hati Mas Mahfud, tapi nyatanya setelah dapat uang itu dia jarang ke tempat saya. Dihubungi juga sulit, makanya saya laporan ke kantor. Sekalian cari tahu rumahnya.”
“Saya juga bohong tentang anak buah saya itu. Sebenarnya saya yang ada hubungan spesial sama Mas Mahfud,” lanjutnya menjelaskan.
Hatiku bagai tersambar petir. Ribuan belati serasa menghujam jantungku. Sakit. Rasanya aku sudah tak sanggup menghadapi semuanya. Istri mana yang tak marah bila mendengar secara langsung pengakuan wanita idaman lain suaminya. Namun, sekuat tenaga kutahan agar tidak terjadi keributan.
“Kalau gitu coba Mbak hubungi Mas Mahfud.” Perintahku pada Lina.
Wanita itu menuruti permintaanku. Ia menelepon dan menghidupkan loudspeaker agar aku bisa mendengar.
“Mas lagi di mana?” tanya Lina.
“Ada apa, Sayang?” jawab Mas Mahfud di seberang dengan suara lembut.
“Cepat pulang, aku di rumahmu. Dasar pembohong! Udah punya anak istri ngakunya bujangan!” umpat Lina kesal.
Entah itu ucapan yang benar-benar keluar dari hatinya atau sekadar kamuflase. Bukannya ia sudah bertemu denganku sebelumnya? Mengapa masih menjalin hubungan terlarang?
Darahku seketika mendidih. Emosi pun tak bisa terbendung lagi. Tanganku langsung menyambar ponsel Lina dan berbicara pada Mas Mahfud. Namun, suamiku justru marah dan mencercaku, bahkan sempat mengancam akan memukuliku jika pulang. Air mata tumpah ruah membanjiri seluruh wajah. Seketika kuakhiri panggilan sebelum Mas Mahfud membuat hatiku benar-benar remuk.