Setelah itu, Mas Mahfud langsung masuk kamar. Kulihat ia menutup pintu. Entah apa yang dilakukan di dalam. Aku berusaha berpikir positif. Lagi pula aku belum menemukan bukti apa-apa.
Tak berselang lama, suamiku keluar dengan penampilan necis. Ia langsung menyambar jaket dan kunci motor tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Mau ke mana, Mas?" tanyaku penasaran.
"Bukan urusanmu." Mas Mahfud langsung saja melenggang keluar sambil mengambil tas loreng meski sempat tertahan oleh ketiga anaknya.
***
Dua hari sudah Mas Mahfud tidak pulang. Rasa penasaranku kian mendominasi pikiran. Semakin berusaha menepis kecurigaan, bayangan hitam Mas Mahfud semakin lekat di ingatan. Perubahan sikapnya juga makin nyata. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu ia jarang pulang. Jika kutanya, alasannya selalu dinas luar. Entah mengapa hati ini berkata bahwa rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja.
Potongan-potongan adegan di hari lalu kembali mengisi benak. Meski sudah belajar berdamai dengan hati, tetap saja arus prasangka menyeretku lagi. Hingga kuputuskan untuk menyelidiki secara diam-diam. Namun, kepada siapa harus kuminta pertolongan?
Selama tinggal di asrama, aku sama sekali tidak memiliki teman dekat. Bahkan, sekadar tempat untuk bercerita saja tak punya. Ya, bagiku tempat ternyaman untuk berkeluh kesah adalah suami. Namun, di situasi yang pelik seperti ini, ada baiknya paling tidak satu orang yang bisa memberi dukungan. Kenyataannya nihil.
Keluarga? Jangan ditanya. Sejak menikah dengan Mas Mahfud, hubunganku dengan orang tua di kampung renggang. Begitu pula dengan mertua. Mereka dari awal tak merestui pernikahan kami.
Seketika pikiranku tertuju pada istri Ikhsan. Sepertinya, ia satu-satunya orang yang bisa memberi informasi tentang Mas Mahfud. Lagi pula rekam jejak Ikhsan dan istrinya di asrama sangat baik. Mereka tak pernah kudengar ada masalah dengan siapa pun.
Sore itu, aku berniat mendatangi rumah Bu Ikhsan. Penasaranku tak bisa tertahan lagi. Sudah dua hari Mas Mahfud belum pulang. Saat mengganti baju Ersa, mendadak terdengar suara ketukan pintu. Anak ketigaku sigap berlari ke arah jendela dan mengintip dari celah vitrase.
“Bu, ada om-om,” ucapnya sambil berjalan ke arahku. Tanganku dengan cepat memasang pakaian di badan Ersa lalu membuka pintu. Dua orang lelaki berambut cepak sedang berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Perlahan dahiku mengkerut. Aku sama sekali tidak mengenali mereka.
“Maaf, rumahnya Bu Mahfud, ya? Saya mau ambil kulkas dan mesin cuci,” ucap salah satu dari mereka.
“Untuk apa, Pak?” tanyaku heran.
“Kemarin bapaknya jual mesin cuci sama kulkas, Bu. Saya sudah bayar lunas. Hari ini baru sempat ambil,” jelas lelaki tersebut.
Perasaanku mulai tidak enak. Kupersilakan dua lelaki tersebut masuk. Jengah bila tetangga mendengar semua percakapan kami di luar.
“Tapi, Pak, sejak kemarin bapaknya belum pulang. Saya juga tidak tahu-menahu soal penjualan kulkas dan mesin cuci.” Rasa penasaranku kian membuncah.
“Kalau soal itu saya kurang paham, Bu. Yang jelas saya sudah bayar kulkas dan mesin cuci sama Pak Mahfud. Maaf, ini rumahnya Pak Mahfud yang dinas di kodim, kan?” Lelaki tersebut berusaha meyakinkan diri.
Seketika senyumku mengembang. Dadaku terasa longgar. Ternyata dua lelaki tersebut salah orang. Ya, di asrama gabungan memang ada dua nama Mahfud.
“Maaf, Pak, suami saya bukan dinas di kodim, tapi di Kimarem. Mungkin yang Bapak maksud adalah Pak Mahfud Santosa.”
Mendadak suasana yang hening menjadi riuh. Kedua lelaki tersebut tertawa secara bersamaan. Mereka langsung bangkit dari duduknya dan menangkupkan kedua tangan seraya meminta maaf.
Setelah kedua orang tersebut pergi, hatiku sedikit lega. Benih-benih prasangka yang bertebaran di benak perlahan melebur. Namun, aku harus ke rumah Bu Ikhsan untuk menuntaskan rasa penasaranku tentang Mas Mahfud.
Saat hendak berangkat, lagi-lagi dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita berambut pirang. Mobil sport putih yang terparkir di depan rumah cukup menunjukkan identitas si pemilik. Mataku masih terpaku menatap wanita berpakaian modis sambil menenteng tas branded. Kaki jenjangnya berjalan mantap ke arahku.
Tanpa permisi atau salam, wanita itu langsung melontarkan pertanyaan. “Kamu istrinya Mahfud, ya?”
Aku mengangguk. “Mau cari siapa, Mbak?” Mendadak dadaku terasa sesak. Darah yang mengalir pun serasa panas.
“Mana Mahfud?”
“Maaf, Mbak, kita bicara di dalam saja. Nggak enak di dengar orang. Ini asrama.” Kubukakan pintu dan kami duduk di ruang tamu.
Hening. Kemudian, wanita itu memulai percakapan. “Mana Mahfud? Saya mau minta uang saya kembali. Jika tidak, terpaksa saya akan laporan ke kantor untuk kedua kali.”
Tubuhku seketika lunglai tak bertenaga. Terasa bagai dihantam badai. Meski tak mengerti ke mana arah pembicaraan wanita tersebut, kuyakini bahwa rumah tanggaku tengah dilanda prahara.
“Uang apa, Mbak?” tanyaku penasaran.
“Halah, nggak usah pura-pura, deh. Pasti kamu ikut menikmati juga, kan?”
“Kalau gitu, berapa nomor telepon Mahfud yang lainnya? Pasti dia punya banyak nomor. Saya telepon nggak pernah nyambung. Cepat! Mana?” lanjut wanita itu sarkas.
Ketika keadaan semakin tegang, tiba-tiba ketiga anakku merengek ingin segera pergi. Namun, kubujuk mereka dan memintanya main sejenak di luar.
“Maaf, Mbak, saya benar-benar nggak tahu. Nomor teleponnya juga cuma satu. Udah dua hari Mas Mahfud belum pulang.” Mataku mendadak terasa panas.
Melihat Ersa yang rewel di gendonganku, sikap wanita itu seketika melunak. Ia memperkenalkan diri dan berbicara baik-baik. Ketika mendengar namanya, otakku memutar kembali kejadian malam itu. Apa jangan-jangan orang yang sama?
Kemudian, Lina menjelaskan bahwa Mas Mahfud telah meminjam uang sejumlah dua puluh juta untuk bisnis dengan sistem bagi hasil. Namun, delapan bulan terakhir suamiku belum juga menghasilkan sesuatu dan dana tersebut entah ke mana muaranya. Wanita itu juga telah melaporkan ke kantor, tapi janji Mas Mahfud akan segera dibayar. Kenyataannya nol. Maka dari itu, ia mendatangi kediamanku.
Mendengar penjelasan Lina, seketika hatiku sakit. Timah panas telah menembus jantungku. Terlebih, saat wanita itu mengatakan bahwa suamiku tak pernah membayar anak buahnya ketika datang ke lokalisasi. Bingkai kebahagiaan dalam sekejap pecah berkeping-keping.
Sepuluh tahun menjaga hubungan terasa sia-sia. Pengorbananku selama itu pun tak berarti apa-apa. Bening kristal membasuh seluruh wajahku. Sungguh tak kuasa mendengar semua kebusukan Mas Mahfud. Ternyata selama ini, ia hanya berselimut dusta.
Karena usahanya tak membuahkan hasil, Lina berpamitan pulang. Setelah wanita itu pergi, kutumpahkan semua kesedihan. Kutatap wajah polos putri bungsuku yang terlelap dalam gendongan. Hujan lebat semakin deras mengguyur pipi.
Tak berselang lama, tiba-tiba terdengar pintu dapur terbuka. Bu Jalal, tetangga sebelah rumah yang datang mengantar makanan. Melihatku menangis, ia langsung mendekat. Bu Jalal mengambil alih Ersa dan menidurkan di kasur yang berada di depan TV.
“Mama Rizky kenapa? Maaf, bukannya saya mau ikut campur, tapi kita ini hidup di satu dinding, nggak ada salahnya kalau tahu. Barangkali saya bisa bantu. Di perantauan, saudara terdekat adalah tetangga,” ucap Bu Jalal prihatin.
Seketika kupeluk erat tubuh Bu Jalal. Kutumpahkan semua isi hati di dekapannya. Kuceritakan masalah yang menimpa rumah tanggaku tanpa kututupi. Aku telah menganggap Bu Jalal seperti orang tuaku sendiri.
Ketika hatiku sudah membaik, Bu Jalal memberi satu informasi yang membuatku tercengang. Ternyata Mas Mahfud menjalani bisnis judi togel. Kelakuannya di kantor sudah menjadi topik utama. Astaga! Istri macam apa aku ini? Kebusukan suami sendiri justru orang lain yang lebih tahu.
Bersambung