Chapter 1

Sebelum baca pastikan subscribe terlebih dahulu, ya agar mendapat notifikasi jika update bab baru đź’ž

---------

Sepuluh tahun sudah kujalani biduk rumah tangga bersama Mas Mahfud tanpa permasalahan berarti. Namun, semua itu mendadak terusik saat provost datang ke rumah. Kedatangannya sungguh mengejutkanku.


“Maaf, Bu. Bapaknya ada?” tanya provost yang tak lain Serda Ikhsan sekaligus adik leting suamiku. Walaupun junior, Ikhsan lulus secabareg lebih dulu daripada Mas Mahfud.


“Bapaknya belum pulang, Om. Masih di kantor.” Kujawab dari ambang pintu sembari menoleh ke arah benda bulat yang menempel di dinding.


“Kantor mana, Bu? Bang Mahfud sudah seminggu ini nggak masuk, keterangannya TK. Saya ke sini diperintahkan untuk ngecek.”


Kupersilahkan Ikhsan masuk dan mengobrol di ruang tamu. Namun, lelaki berperawakan tinggi besar itu lebih memilih di luar. Ya, barangkali akan membuatnya merasa santai dan nyaman. Aku pun menyadari bahwa kurang etis jika ada tamu lawan jenis yang masuk rumah tanpa kehadiran suamiku.


Sesaat aku tercenung mendengar penuturan Ikhsan. Seketika anganku menerawang jauh memikirkan Mas Mahfud. Apa yang terjadi? Di sela-sela otak yang terus berputar memikirkan suamiku, tampak Ikhsan mengambil ponsel dari saku celana lorengnya. Sepertinya, ia hendak menghubungi seseorang. Entah menelepon siapa aku sendiri tak tahu.


Cukup lama berkutik dengan ponselnya, Ikhsan melanjutkan pembicaraan. “Tapi, Bang Mahfud masih pulang ke rumah, kan, Bu?”


Aku mengernyit, perasaanku mulai bergerak tak tentu arah. Namun, rasa itu segera kutepikan. Lagi pula Mas Mahfud selama ini tidak pernah mengatakan sesuatu. Ia pulang kantor tepat waktu dan pergi dinas seperti biasa. Gelagatnya pun tidak ada yang aneh dan tak ada yang patut kucurigai.


Namun, sempat pikiran burukku bertengger di benak. Jika memang Mas Mahfud benar-benar masuk kantor, tidak mungkin Ikhsan datang mencarinya. Ke mana suamiku selama seminggu ini? Ah! Lagi-lagi busur kecurigaan menarik anak panahnya dan siap melesat di otakku.


“Masa, sih, Om?” Aku balik bertanya pada Ikhsan yang sedang menarik kursi plastik berwarna hijau di hadapanku. Sungguh aku tidak percaya.


Sayangnya, Ikhsan bergeming. Ia sedang fokus pada ponsel yang berada di genggaman tangannya. Adik leting suamiku itu seperti tak mendengar pertanyaanku.


“Bisa minta tolong telepon bapaknya, Bu?”


“Bisa, Om. Tunggu sebentar, ya.” Aku melangkah mengambil ponsel, lalu menghubungi Mas Mahfud, tapi nomornya tidak aktif.


Ketika keluar, Ikhsan kembali bertanya, “Bisa, Bu? Barusan saya hubungi nggak bisa. Nomornya nggak aktif.” Ia kembali menatap layar ponselnya. Jika dilihat dari raut wajahnya tampak tidak tenang.


“Sama, Om. Saya telepon juga nggak bisa. Mungkin baterainya habis.” Aku menduga seperti itu karena melihat charger handphone milik Mas Mahfud tertinggal di bufet. Bisa saja ponselnya mati karena kehabisan daya.


Kemudian, kutarik kursi plastik dan duduk berhadapan dengan Ikhsan di teras. Kami sama-sama fokus pada gawai masing-masing. Kuhubungi Mas Mahfud secara terus menerus, tapi nomornya masih belum aktif. Lagi … pikiranku menerobos jauh memikirkan ayah dari anak-anakku. Ke mana sebenarnya dia selama ini?


“Maaf, Bu. Apa Bu Mahfud selama ini nggak pernah dengar sesuatu tentang Bang Mahfud?” Pertanyaan Ikhsan seketika mengejutkanku.


Kepalaku spontan mendongak. “Apa itu, Om?” Aku benar-benar tak mengerti apa yang dikatakan provost sekaligus adik leting suamiku itu.


“Saya itu jarang keluar, Om. Palingan pergi kalau ada senam atau pertemuan gabungan saja. Rempong sama anak empat, Om,” lanjutku sambil tersenyum kecil. Berusaha menyembunyikan gejolak yang berkecamuk dalam dada perihal teka-teki suamiku.


Belum sempat menjawab pertanyaan dariku, ponsel milik lelaki di hadapanku itu tiba-tiba berdering. Kemudian, Ikhsan mengangkat panggilan tersebut, sementara aku masih termangu menahan perasaan yang mengganjal di hati. Tak lama dari itu, Ikhsan berpamitan pulang.


“Om Ikhsan, kok, cepat sekali. Belum jawab pertanyaan saya, lho, Om. Tunggu dulu, paling sebentar lagi bapaknya sudah pulang,” sergahku sembari mengedarkan pandangan ke arah jam dinding.


Jarum jam telah menunjukkan pukul 15.30. Biasanya, Mas Mahfud pulang tepat jam empat sore. Aku berusaha menahan Ikhsan untuk tidak pergi agar dapat mengorek informasi tentang suamiku. Sayangnya, provost berbadan tinggi besar itu tetap menolak. Ia beralasan sedang ada kegiatan lain.


“Kalau Bang Mahfud pulang, tolong suruh merapat ke kantor, ya, Bu.” Amanahnya sebelum meninggalkan kediamanku.


“I-iya, Om, nanti saya sampaikan,” jawabku terbata sembari mengamati lelaki berseragam provost yang tengah berjalan menuju motornya yang terparkir di bawah pohon mangga depan rumah.


Setelah Ikhsan hilang dari pandangan, telingaku kembali terngiang ucapannya. Seketika rasa penasaran memenuhi ruang pikiran. Namun, otakku memerintahkan untuk berpikir positif terhadap Mas Mahfud. Selama ini hubungan kami baik-baik saja. Kebutuhanku dan anak-anak juga masih dipenuhi tanpa kekurangan sedikit pun. Tak ada yang patut kucurigai darinya.


Kulanjutkan pekerjaan rumah yang sempat tertunda. Tiba-tiba terdengar suara tangisan Ersa, putri bungsuku dari dalam kamar. Langkahku bergegas melihat putri kecilku. Tampak bocah berusia enam bulan itu telah berada di ujung kasur. Ersa nyaris jatuh, untung segera kuketahui.


Kemudian, kuatur posisi tidur Ersa dengan baik, lalu menyusuinya. Tak berselang lama, terdengar suara motor diikuti teriakan Rizky dan kedua adiknya dari teras. Mata Ersa seketika terbelalak.


Segera kubujuk Ersa agar tidur kembali. Setelah ia terlelap, perlahan aku keluar kamar dan menuju teras. Tampak Mas Mahfud sedang duduk di kursi kayu sembari melepas sepatu laras. Mataku terus memperhatikannya.


Setelah itu, Mas Mahfud menggendong Rifky, anak ketigaku seraya menciumi. Jika dilihat dari gerak-geriknya, tidak ada gelagat aneh di dirinya. Semua tampak seperti biasa. Segera kutepis rasa penasaran yang sangat mengganggu pikiran. Kemudian, Mas Mahfud memberi selembar uang dua ribuan pada ketiga anaknya. Mereka sangat senang dan berteriak kegirangan, lalu pergi. Sepertinya menuju kios yang tak jauh dari rumah.


Ketika anak-anak telah pergi, Mas Mahfud meletakkan sepatu di rak dan mengeluarkan sebatang rokok. Tampaknya, ia lelah. Kubiarkan suamiku itu beristirahat sejenak.


Kemudian, aku segera ke dapur untuk membuatkannya teh hangat. Saat hendak kembali ke teras, Mas Mahfud telah berada di hadapanku sambil bertanya tentang menu hari itu.


Kuulurkan secangkir teh hangat padanya. Ia mengambil dari tanganku, lalu meminum hingga setengahnya. Setelahnya, suamiku duduk. Aku pun turut menemani di samping.


Saat kutawarkan makan, Mas Mahfud menolak. Ia mengatakan ingin rehat sejenak. Ya, sifat suamiku memang seperti itu. Jika lelah, ia tak bisa langsung makan, harus beristirahat terlebih dahulu. Aku paham soal itu. Namun, mendadak gemuruh dalam dada tak bisa terbendung lagi. Rasa penasaranku telah mencapai ubun-ubun.


“Mas, dari mana?” tanyaku spontan tanpa memikirkan dampak dari pertanyaanku.


Mas Mahfud menoleh ke arahku dengan tatapan tajam. Raut wajahnya seketika berubah, tak seperti awal datang.


“Kamu itu, suami pulang, ya, dilayani dulu. Ini malah nanya-nanya nggak jelas. Ya, dari kantor, lah. Emang dari mana?” Mas Mahfud melepas topi pet dan membanting secara kasar di meja makan.


Aku tersentak. Selama menikah, baru kali itu suamiku bersikap kasar. Dalam hati ada ketakutan, tapi rasa penasaran mendominasi pikiran.


“Tadi Om Ikhsan ke sini nyariin sampean. Katanya, udah seminggu nggak masuk kantor.”


“Ikhsan siapa? Ikhsan provost?” jawabnya setengah terkejut.


“Iya, emang Om Ikhsan di korem ada berapa? Emang benar, sampean nggak masuk kantor?” Nadaku mulai sedikit ketus.


“Terus kamu percaya gitu aja?” Mas Mahfud balik bertanya.


“Masa Om Ikhsan bohong, sih, Mas. Ngapain dia disuruh nyari sampean ke sini?” Selalu saja kusela pembicaraan Mas Mahfud.


“Orang aku kantor setiap hari, kok. Ikhsan aja mungkin yang nggak lihat.”


Rupanya Mas Mahfud makin emosi. Melihatnya dipenuhi kobaran api, aku segera mengerem perkataan. Memilih diam dan tidak meladeninya lagi. Namun, secara tiba-tiba kutangkap gelagat yang tidak wajar saat suamiku mengeluarkan dompet.

Terlihat ada beberapa lembar kertas di dalam sakunya. Dengan sigap ia memasukkan kembali kertas tersebut. Aura wajahnya gugup seperti orang yang takut ketahuan sesuatu.


Mengetahui pergerakan bola mataku yang terus memperhatikannya, mimik wajah Mas Mahfud seketika berubah. Emosinya pun mendadak reda.


“Ini untuk belanja.” Mas Mahfud mengangsurkan dua lembar uang seratus ribu padaku.


Seketika aku terperangah dan heran. “Uang dari mana, Mas?”


Tanpa menjawab pertanyaanku, Mas Mahfud keluar. Terdengar ia menghidupkan mesin motor dan pergi entah ke mana.


Bersambung


Komentar

Login untuk melihat komentar!