PYMB 6

Part 6


"Kalau kamu memaksa saya ikut, saya tidak bisa. Saya harus di sini. Saya tahu saya masih bisa memperbaiki beberapa hal, saya masih bisa membahagiakan kedua orang tua saya."


Kalimat terakhir saya ucapkan tanpa keyakinan. Ini akan sulit.


"Terserah kamu lah!" Bentaknya, rupanya kesabaran Dio hanya sampai di situ.


Dio benar-benar pergi. Saya tidak menyangka dia bakal setega itu. Cinta saya seketika berubah benci. Dan bodohnya lagi saya ikut membenci bayi yang tertanam di rahim saya. 


Di tempat persembunyian saya yang baru tanpa Dio, saya mulai bergaul dengan lingkungan sekitar. Saya mengenal teman-teman baru yang begitu baik dan menerima saya apa adanya. Mereka seperti keluarga baru bagi saya. Tulus menghibur saya dengan tingkah kocak mereka, mencarikan saya makanan dan siap mendengarkan apa pun yang saya ceritakan.


Mereka... para waria yang sering nongkrong di sekitar kos-kosan. Mereka begitu ramah, melihat saya yang lemah, mereka menjadi kasihan. Lalu kami menjadi dekat. Mereka selalu ada untuk saya. Menemani masa-masa kehamilan tanpa pacar, mendampingi saya ketika mengalami morning sickness. 


"Lekong kayak Dio tuh enaknya dilempar ke laut." 


"Cucok. Laki-laki begitu jangan terlalu gampang apalagi kalau cuma berdua di dalam kamar." 


"Kalau ketemu sama saya langsung memang saya tarek rambutnya itu, Dio. Kongkonga."


Saya hanya tersenyum mendengar tiga teman baru Saya. Tata, Laura dan Rahel. Ketiganya memiliki kesamaan, dikucilkan dari keluarga masing-masing karena dianggap menurunkan martabat keluarga.


Saya masih berharap, Dio menghubungi saya dan meminta maaf. Namun, sampai usia kandungan memasuki bulan keenam, tak ada tanda-tanda Dio kembali. Bahkan nomer ponselnya pun sudah tidak bisa dihubungi sama sekali. Mungkin sudah diganti.


"Ingat keluargamu Dek Ratu, sebaiknya aborsimi saja." Ucap Rahel sore itu.


"Nanti kami bantu biayanya." Janji Tata.


"Astaga, sebenarnya tidak ada dosanya itu anak kodong. Tapi haruski dikorbankan daripada siksa mamaknya."


Aborsi menjadi perbincangan biasa di kalangan remaja ketika itu. Mendengar ide itu saya langsung mempertimbangkan. Apalagi setiap melihat oerut saya, wajah Dio serya merta muncul begitu saja.


Saya melilit perut dengan stagen. Agar tak kentara kakau sedang hamil. Memakai baju-baju gomrang. Dan mulai bergaul dengan teman-teman Tata yang lainnya. 


Saya sudah sembuh, sudah tidak mabuk lagi. Saya mulai menekuni dunia malam seperti dulu. Berbekal uang dari bapak, saya bersenang-senang di tempat karaoke.


Dua minggu berteman dengan Tata. Kontrakan menjadi ramai. Kami tertawa hahahihi seakan tidak punya beban masalah


Sayangnya tetangga kontrakan merasa terganggu mereka melaporkan kami ke pemilik kontrakan. 


Momen inilah yang menjadi pertemuan saya dengan laki-laki yang kelak membuat saya mengigit bibir lebih keras lagi.


Bersambung...


Tolong tinggalkan komen dan love untuk mendukung cerita ini.


.