Part 8
Saya dan Vendy berkenalan, tertawa bareng, bersamanya seperti ada harapan baru. Tapi siapa sangka, duh. Para lelaki itu hanya memanggil saya Ratu tapi tidak seorang pun dari mereka yang memperlakukan saya seperti seorang ratu.
***
Saya sangat tertolong dengan kehadiran Vendy. Laki-laki tinggi jangkung itu banyak membantu. Dia begitu semangat mengangkat perabot, kasur, pakaian, dan barang-barang yang saya punya. Dia tipe yang banyak diam tapi tangannya terus bekerja. Pindahan menjadi jauh lebih enteng.
Entah apa yang dijanjikan Tata pada Vendy. Saya sendiri tidak menyiapkan budget untuknya. Dari sanalah perasaan utang budi itu pertama kali muncul.
Sejak hamil saya tahu tidak boleh mengangkat yang berat-berat. Saya tidak bisa membayangkan pindahan tanpa ada bantuan laki-laki tulen seperti Vendy. Sebab, Tata dan teman-temannya seperti tidak punya tulang, mereka terlalu gemulai dan kebanyakan mengobrol dan hahahihi saja. Menghibur sih cuma kadang menjengkelkan juga. Pantaslah jika kami diusir.
Semenjak bertemu Vendy, ada sesuatu yang membuat saya tertarik padanya. Entahlah, saya seperti harus membalas semua kebaikannya. Barangkali semacam ucapan terima kasih. Tapi dengan apa dan dengan cara bagaimana? Dia terlihat begitu tulus juga tidak pernah meminta imbalan atau semacamnya. Saya tahu ini bukan cinta, hanya rasa ingin balas budi.
Vendy tak hanya membantu mengangkat barang. Dia juga membantu saya merapikan barang-barang tersebut si temoat yang baru.
"Kasurnya taruh mana, Kak?"
"O iya, sori taruh di sudut sana saja." Tunjukku, biar saat orang buka pintu, pemilik kamar tidak langsung terlihat dari luar.
Rupanya Dio masih penasaran, dia masih membuntuti saya. Tapi hati saya untuknya sudah tak ada lagi. Saya benci pada Dio, juga benci pada janin yang menempel dalam tubuh saya. Kehadiran anak itu di rahim ini kerap mengingatkan pada sosok Dio yang memuakkan.
Beberapa kali Dio memergoki saya dan Vendy jalan berduaan. Ikatan saya dengan Vendy semakin erat. Saya mulai merasa ada sedikit kecocokan di antara kami. Terus terang kedekatan kami menyebabkan hubungan saya dengan Dio menjadi kacau. Beberapa kali bahkan keduanya sempat bertemu. Saya kadang takut jika mereka sampai berkelahi. Hanya tatapan bengis yang ditumpahkan Dio pada Vendy.
Ketika Dio mau minta jawaban final, dengan tegas saya mengatakan tidak ingin ikut bersamanya. Tidak akan pernah. Laki-laki yang banyak mengumbar janji apalagi saat di ranjang tak seharusnya saya percayai. Perasaan bodoh kembali menyentak-nyentak memberi efek gemuruh kemarahan pada diri sendiri.
Masing-masing dari kami masih memikirkan diri sendiri, tidak ada titik temu, jadi biarlah Dio dengan hidupnya. Kehamilan ini akan saya urus sendiri. Keputusan sinting, saya akui. Saya sungguh tidak bisa berpikir jernih. Isi kepala ini masih terus disibukkan oleh rasa takut jika orang tua dan kerabat sampai tahu rahasia ini. Saya takut membuat mereka malu. Sayangnya nasi sudah jadi bubur, saya harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terbongkar.
Akhirnya Dio berangkat, sesekali melihat ke arah perut saya. Mungkin memastikan anaknya masih ada di sana atau tidak. Sejak hari itu kami tak pernah lagi berkomunikasi. Di saat bersamaan perut saya kian membesar seperti balon yang ditiup. Saya kadang berkhayal andai perut ini hanya balon, saya ingin menusuknya dengan jarum agar segera kempes. Namun, tidak mungkin. Saya melilitnya dengan stagen intuk menyamarkan, agar tidak terlalu mengundang perhatian dan tetap terlihat slim.
Sepulang kuliah, kadang Vendy diam-diam datang ke kontrakan. Kami ngobrol-ngobrol dan cukup nyambung. Dia tidak menutupi dirinya kalau dia orang tidak mampu tapi Punya cita-cita jadi wartawan. Saat ini dia sedang malas kuliah, jadi punya banyak waktu untuk saya. Dua manusia yang punya kesamaan, sama-sama gabut.
Vendy seumuran dengan saya. Masih semester lima. Kami tetangaan kampus. Vendy mengambil jurusan komunikasi sedangkan saya jurusan komputer dan jaringan. Sesekali Vendy menunjukkan rasa senang saat dekat dengan saya. Namun, saya masih trauma dengan Dio.
"Cowok kemarin itu mantan Kak Ratu, ya?"
"Iya Ven, tapi kami sudah putus."
"Sory to say."
"Gak masalah, btw, kenapa gak masuk kuliah?"
"Lagi gak pengen. Pengennya kuliaran sama kamu."
"Paan, sih. Garing ih."
Garing tapi bikin senang. Ternyata Vendy boleh juga.
Bersambung...
Tolong tinggalkan komen dan love untuk mendukung cerita ini.