PYMB 2

Part 2


"Pen banget punya anak." Ucap Dio di suatu sore saat kami sedang berboncengan di atas motor. Saya memeluknya dari belakang sambil berujar,


"Nikah dulu dong kalau mau punya anak."


"Nikahnya sama kamu boleh gak?" Ia memasang tampang memelas. Saya bisa melihatnya dari spion. Saat itu lututnya yang memakai helm, jadi saya bisa puas memandang wajah gumushnya.


"Boleh aja tapi tunggu saya selesai kuliah dulu." 


"Kenapa begitu?"


"Karena ibu , bapak ingin ada salah satu anaknya yang sarjana."


"Kok, samaan lagi, orang tua saya juga bolehin nikahnya kalau sudah mapan."


Kami pun chek in ke sebuah penginapan kecil.


Tangan Dio******dada saya, namun langsung saya tepis.


"Kamu mau merusak saya ya?"


Dia tidak menjawab malah semakin liar. 


*** 


Setelah semua terjadi saya hanya bisa menangis. Saya memeluk kedua kaki. Biasanya jika dengan mantan saya, kami kerap memakai alat kontrasepsi. Dio terus menenangkan saya. Itulah memang yang saya harapkan darinya. Dia berjanji akan tanggung jawab jika saya hamil. 


Hari-hari selanjutnya kami makin sering bertemu. Sudah tidak canggung lagi. Saya bahagia tiap kali berada di dekat Dio.


Setelah hampir dua bulan sejak berhubungan, saya merasakan hal yang berbeda terjadi pada tubuh saya. Tanpa sepengetahuan Dio, saya membeli alat penguji kehamilan. Setelah melihat hasilnya, saya senang sekaligus takut. 


Begitu bertemu dengan Dio saya langsung memberinya surprise. Dia terbengong-bengong. Mungkin dia sedang kaget karena sebentar lagi akan menjadi seorang ayah sungguhan. Dia terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata. 


"Ini serius, sayang?" 


Sepertinya Dio masih belum percaya.


"Serius, bentar lagi kita bakal jadi papa, mama."  Kata saya sambil nyengir.


Dio langsung memeluk saya. 


"Makasih ya, Sayang." 


Jedah. 


Saya merasakan kebahagiaan menjalari seluruh tubuh. Namun, di hati kecil saya ada obor ketakutan yang diam-diam menyala.


"Kita harus menyembunyikan ini sampai kita sama-sama lulus." Ujar Dio.


Saya mengangguk setuju. 


"Kamu jaga kesehatan ya. Ini ada uang bisa kamu pakai buat beli vitamin." 


Saya tidak salah memilih pasangan. Dio begitu perhatian. 


"Kalau laki-laki mau saya beri nama Kinan. Kalau perempuan kita kasih nama Kinanti." 


Saking inginnya punya anak, Dio bahkan sudah menyiapkan nama untuk calon buah hati kami.


Saya merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. 


"Kita harus cari tempat tinggal yang jauh dari jangkauan teman-teman kampus." 


Dio seperti memikirkan sesuatu.


"Nanti saya yang carikan pokoknya kamu bilang saja apa yang kamu butuhkan."


Dio memang laki-laki bertanggung jawab. Tidak salah insting saya ketika pertama kali berjumpa dengannya.


Seminggu berlalu kami masih juga belum mendapatkan tempat yang cocok.


"Ratu.." panggil Dio. 


"Ya?"


"Saya mau bilang sesuatu, ini mungkin tidak akan kamu sukai." 


Dio membuat saya penasaran.


Bersambung...