Part 3
"Ratu.." panggil Dio.
"Ya?"
"Saya mau bilang sesuatu, ini mungkin tidak akan kamu sukai."
Dio membuat saya penasaran.
"Jangan coba nakut-nakutin ya."
"Ini mungkin akan menakutkan buatmu."
"Cepetan bilang." Saya tidak sabar, semoga saja hanya prank.
"Saya harus balik ke Samarinda, ada pelatihan selama enam bulan di sana."
"Serius?"
Lutut saya lemas, di saat lagi butuh-butuhnya pendamping, Dio malah harus praktek kerja.
"Saya sendirian, dong?"
"Kamu bisa kan?"
Saya benaran takut sekarang.
"Tapi kita belum punya tempat tinggal, Dio."
Dio menitipkan saya di rumah kerabat jauhnya. Sambil nanti saya bisa cari-cari tempat yang lebih layak dia memberi saya uang untuk mengurusnya sendirian.
Karena belum mendapatkan tempat yang cukup aman, saya terpaksa menumpang hidup di bawah kolong rumah kerabat jauh Dio lebih lama dari yang ditargetkan. Saya sudah merasakan bagaimana kejatuhan debu saat pemilik rumah menyapu lantai kayunya. Juga, pernah tiba-tiba kena kucuran air karena pemilik rumah tak sengaja menumpahkan air pel. Semua itu harus saya telan, namanya juga menumpang hidup, masih mending karena ada orang yang mau direpotkan.
Jelas ini sangat berat.
Sejak Dio pergi dan sulit dihubungi, untuk pertama kalinya hati saya mempertanyakan, sudah betulkah keputusan tidur dengan Dio ketika itu. Mengapa semuanya mendadak mengkhawatirkan, bagaimana jika orang tua tahu. Haruskah anak ini dilahirkan ke dunia.
Padahal saat Dio ada di samping saya. Semuanya terasa baik-baik saja. Kini rasanya seperti hidup sebatang kara.
Benar kata orang pintar, keputusan hari ini adalah kenyataan hari esok.
Bersamaan dengan keputusan besar itu, pupus sudah cita-cita saya menjadi kebanggaan kedua orang tua. Kini, boro-boro membuat mereka bangga, sekadar menghadirkan senyum di wajah mereka saja, saya tidak yakin masih sanggup. Bahkan saya sendiri pun kini kesulitan untuk tersenyum.
Saya memilih diam dalam kalut, pikiran saya berkecamuk bertarung dengan segala pikiran akan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa. Saya sudah terlanjur terjerambat ke dalam lembah dosa. Saya sudah terlalu kotor. Gara-gara keputusan sinting itu saya harus menanggung perang batin setiap detik.
Saya sudah bisa menebak hari-hari berikutnya akan sangat sulit dan ternyata benar, hidup dalam pengasingan tidaklah mudah.
Saya berusaha tegar, tapi tetap saja saya menangis. Saya sendiri yang mencari-cari masalah ini. Andai saya mendengar nasihat orang tua untuk selalu menjaga kehormatan, hal ini tidak akan pernah terjadi. Saya hanya kuat tinggal di bawah kolong rumah selama tiga minggu, sebelum akhirnya saya mendapatkan tempat persembunyian yang aman.
Saya berhasil melalui detik demi detik, jam demi jam, bahkan hari demi hari tanpa harus diketahui keluarga dan orang-orang terdekat.
Betapa kecewanya mereka kalau sampai tahu, anak gadis yang selalu dibanggakan ke mana-mana, sudah mencoreng nama baik keluarga. Padahal saat keluar dari kampung halaman sembari melambaikan tangan pada keluarga, janji akan membanggakan mereka telah saya pancangkan di hati serta saya gigit kuat-kuat. Nyatanya, kehidupan baru dalam perut saya menggagalkan semuanya.
Saya kangen pada Dio, saya menelponnya berkali-kali tetap tak diangkat. Padahal panggilan terhubung.
Apakah Dio mencoba lari dari tanggung jawab?
Bersambung...