Gefira membuka matanya, namun hanya bayangan berpendaran yang tampak. Netranya mengerjap, masih berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya putih matahari yang menelusup ke dalam ruangan. Lalu, ia menggeliat, membalikkan badan ke arah samping. Seketika, mata Gefira membulat begitu mendapati ada sosok laki-laki sedang terbaring di sampingnya.
"Aaaa ... !!!" teriaknya histeris sambil terduduk dan terlonjak mundur ke belakang. Suara pekikan yang membahana itu, membuat laki-laki di sebelahnya terkaget lalu memicingkan mata.
"Ka-kamu! Kamu siapa? Kenapa bisa ada di sini?!" tanyanya dengan membelalak dan menunjuk-nunjuk ke arah laki-laki yang entah bagaimana bisa tidur di sampingnya itu.
Lelaki itu kemudian duduk dengan tenang. "Mau apa lagi? Ini kan kamarku," jawabnya dengan wajah datar. Ka kamarnya? Gumam hati Gefira. Lalu ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamar yang tak begitu luas ini bercat biru muda. Terdapat satu meja dan kursi belajar di samping kanannya. Sedang di sudut ruangan, ada lemari kayu dua pintu yang berukuran tidak terlalu besar.
Benar, ini bukan kamarnya. Lalu ia kini sedang berada di mana? Kenapa bisa berada di sini? Apakah ia diculik? Gefira meringis, sungguh tak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Kamu tenang dulu, saya akan menceritakan semuanya," ujar laki-laki berwajah tenang yang tampak tak asing baginya itu. Sepertinya, Gefira pernah berjumpa dengannya. Tapi di mana? Gadis berusia delapan belas tahun itu berusaha mengumpulkan memori. Jantungnya masih berdegup kencang saking terkejutnya.
Sementara sang lelaki, beranjak dari tempat tidur menuju nakas, lalu mengambil gelas. Ia isikan gelas itu dengan air putih dari teko transparan yang terletak persis di sampingnya. Setelah gelas terisi penuh, lalu ia memberikannya pada Gefira.
"Ayo, minumlah dulu," ucapnya sambil menyodorkan gelas berisi air putih itu kepada gadis yang kini diliputi kebingungan. Gefira menerima dengan ragu, lalu menyesapnya sedikit saja. Meski tenggorokan terasa kering, hatinya sungguh merasa tak tenang. Ia butuh penjelasan segera.
"Ayo jelaskan, kenapa aku bisa ada di sini? Dan siapa kamu sebenarnya? Sepertinya aku pernah melihat kamu sebelumnya. Tapi entahlah, aku lupa. Kamu bukan penculik kan?" Gefira menatap lekat wajah lelaki itu. Ia sungguh gemetaran. Ada rasa takut bercampur kebingungan yang sungguh menyesakkan.
Lelaki itu kemudian tersenyum mendengar perkataan Gefira barusan. Sedikit jahat memang, mengingat kondisi Gefira yang linglung dan penuh tanya. Tapi mau bagaimana lagi, kata-kata gadis itu sungguh terasa menggelikan baginya.
"Bukan. Aku bukan penculik, kok. Aku Kautsar," sejenak terasa jeda. Kautsar menatap lekat Gefira, lalu berkata, "suami kamu." Gefira terperanjat, ditutup mulutnya yang menganga mendengar jawaban lelaki yang mengaku sebagai suaminya.
Apa ini? Gefira sungguh tak habis pikir dengan apa yang terjadi. Ia memegang dahi dengan telapak tangan. Kepalanya terasa berat. Sungguh, nalarnya tak sanggup merangkai semua yang baru dialami dan didengarnya.
"Kamu kenapa?" Kautsar yang melihat perubahan pada raut wajah sang istri merasa khawatir. "Apa kamu tidak ingat kalau kita sudah menikah di rumah sakit?" lanjutnya, diikuti kernyitan di dahi dan gelengan dari orang yang diajak bicara.
Kautsar menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia sendiri pun bingung. Ada apa dengan istri yang baru dinikahinya beberapa hari lalu itu?
"Apa kamu benar-benar tidak ingat sedikit pun kejadian beberapa hari ini? Apa hal terakhir yang kamu ingat?" tanya lelaki itu mencoba membangkitkan memori Gefira.
Yang ditanya kemudian mengernyitkan dahi. "Terakhir yang aku ingat, waktu itu Papa memang sempat membicarakan masalah perjodohan. Tapi langsung kutolak mentah-mentah." Gefira memerhatikan Kautsar dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Ia masih tak percaya kalau laki-laki di hadapannya itu adalah suaminya. Bisa saja kan kalau laki-laki itu berbohong padanya.
"Kalau gitu, aku mau ketemu Papa. Biar aku tanyakan sama Papa tentang apa yang sebenarnya terjadi. Boleh kan?" Pertanyaan itu seketika membuat Kautsar tertunduk dan geleng-geleng kepala. Ia sungguh tak habis pikir, bagaimana istrinya bisa berbicara seperti itu.
"Kenapa? Enggak boleh ya? Sebenarnya kamu siapa, sih? Jangan-jangan kamu penipu. Dan semua omongan kamu tadi itu cuma bohong!" Gefira berbicara dengan nada tinggi. Situasi membingungkan ini sungguh membuatnya merasa emosi.
Kautsar kembali menggeleng. "Jadi, kamu benar-benar tidak ingat peristiwa yang terjadi kemarin-kemarin? Apa ... kamu juga lupa, kalau ... Papa kamu sudah meninggal, sekitar tiga jam setelah kita menikah?" Kautsar bertanya dengan hati-hati.
Gefira terhenyak. Seketika membekap mulutnya yang menganga dengan kedua tangan. Itu adalah hal paling aneh, dan menohok yang pernah didengarnya. Seketika kepalanya terasa begitu berat seakan ditimpa batu besar yang menghimpit. Membuatnya tak tahan dan terus memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Bulir keringat mulai jatuh di dahinya. Beribu tanya yang menyeruak, nyatanya membuat kepala Gefira berputar-putar dengan rasa sakit yang tak karuan.