Menolak Dijodohkan
"Gimana pendapatmu Fir, setelah ketemu Kautsar? Papa enggak salah kan memilihkan jodoh buat kamu? Dia ternyata lebih ganteng dan gagah dari yang Papa kira." Heru tampak semringah. Sementara Gefira masih bersungut-sungut. Yang paling membuat dia bertambah kesal adalah sikap papanya yang terlalu memuji laki-laki yang di matanya sangat menyebalkan itu. 

"Biasa aja, Pah. Yang naksir Fira juga banyak yang lebih ganteng dari dia. Udah ya Pah, kita enggak usah ngomongin perjodohan ini lagi. Pokoknya aku enggak mau dijodohkan sama dia!"

"Loh kenapa, Fira? Papa pikir kalian tadi sudah berkenalan."

"Enggak, Pah. Sama sekali enggak! Justru pertemuan tadi membuat Fira semakin yakin untuk enggak melanjutkan perjodohan ini. Dia sama sekali bukan tipe Fira." Heru tertegun mendengar ucapan putrinya.

"Padahal Papa sudah mencarikan jodoh yang baik loh buat kamu. Selain ganteng dan tinggi, Kautsar juga pintar. Setelah lulus pesantren, ia lanjut kuliah di Madinah. Dan sekarang sedang menyelesaikan tesis S-2-nya. Keren kan? Udah gitu...."

"Sudah ah, Pah. Papa enggak usah puji dia terus! Percuma, Fira tetap enggak suka. Apalagi, Fira kesal karena Papa enggak bilang dari awal kalau kita mau ketemuan dengan mereka. Itu bikin Fira tambah enggak suka dengan perjodohan ini." Heru terhenyak dengan rentetan kata yang meluncur dari mulut putrinya. Menyadari dirinya sudah keterlaluan, Gefira memutuskan untuk menghentikan perbincangan ini. "Sudah ya Pah, Fira capek. Fira mau ke kamar dulu." Dengan kening berkerut dan wajah masam, Fira meninggalkan ayahnya di ruang tamu, menuju kamarnya di lantai dua. 

Heru mendesah berat. Ia merasa sedih dan kecewa akan sikap putri yang disayanginya. Ia sangat mengharapkan perjodohan ini bisa berjalan lancar. Namun sepertinya,  Gefira benar-benar tak menginginkan perjodohan ini. 
(*) 
"Ge, ayo kita ke kantin! Kita ada rapat dadakan nih!" Vita yang berbeda kelas dengan Gefira, menjemput temannya itu untuk makan bersama di kantin. 
Rina yang duduk semeja dengan Gefira tersenyum tipis mendengar perkataan temannya itu. 

"Rapat apaan sih?" Alis Gefira bertaut. 

"Oy, ayo kita ke kantin dan mulai rapatnya!" Dari depan pintu kelas, Ema yang berasal dari kelas sebelah tak mau kalah untuk bisa bergabung dengan teman-teman gengnya. Mereka bersama menarik tangan Gefira yang berusaha dilepas oleh sang pemilik tangan. 

"Ih, kalian apaan sih, B aja kali!" Gefira merasa aneh dan kurang nyaman dengan kelakuan teman-temannya. Tiba di kantin, mereka langsung menuju warung Pak De Pur yang biasa menyajikan bakso dan mie ayam kesukaan mereka. Bersama-sama, mereka memilih meja yang terletak di pojok. Tempat favorit setiap kali makan di warung ini. Kali ini giliran Ema yang bertugas memesan makanan untuk mereka semua. 

Sambil menunggu pesanan datang, tanpa basa-basi, Vita langsung angkat bicara. 

"Sumpah Ge, Oppa Kautsar tuh ganteng banget!" Vita berseloroh gemas. Membuat mata Gefira membulat seketika. 

"Oppa? Ih, sok akrab banget sih Lo, Vit! Lagian, dia enggak segitu gantengnya kali! B aja!" sergah Gefira. 

"Tapi emang ganteng kok, Ge. Nih, fotonya masih gue simpen." Ucapan Ema barusan malah bikin Gefira geleng-geleng kepala. 

Sementara Rina yang paling kalem di antara mereka, hanya ikut senyum-senyum saja, kemudian bertanya, "Jadi gimana Ge pertemuan kalian kemarin? Seneng dong, dijodohin sama cowok ganteng kayak gitu."

Gefira langsung mengibas tangannya. "Ih, enggak banget. Kalian enggak tahu sih dia itu orangnya kayak gimana. Kalau tahu, kalian pasti juga akan menolak dijodohin sama dia."

"Hah? Lo nolak dia, Ge? Cowok ganteng kayak gitu malah Lo tolak?" Vita terperangah. Begitu juga dengan yang lain. 

"Ish, dia tuh orangnya nyebelin banget tahu enggak? Dari pertama aja nih, dia enggak mau salaman sama gue. Mana tangan gue udah terulur lagi siap mau salaman, kan malu banget gue. Udah gitu, orangnya tuh sombong, sok kecakepan, galak, kepedean,  nyebelin pokoknya!" Gefira begitu berapi-api. Hingga kedua tangannya terkepal dan menggebrak meja saking kesalnya. Hal itu membuat teman-temannya merasa sedikit kaget. Tak menyangka Gefira akan bereaksi seperti itu. Tampaknya ia benar-benar tidak menyukai laki-laki yang dijodohkan dengannya itu. 

"Yaelah. Sabar Ge, sabar!" Vita dan Rina yang duduk mengapit Gefira, menepuk pundak temannya itu lembut. Kemudian, Pakde Pur datang membawakan pesanan mereka. Vita dan Ema segera menarik mangkuk bakso pesanan mereka. Gefira dan Rina disodorkan mangkuk berisi mie ayam. Menu favorit mereka berdua. Pakde pun kembali ke gerobaknya. Mereka mulai sibuk mengaduk mangkuk masing-masing yang ditambahkan sambal, kecap, dan saos. 

Sambil mengunyah mie suapan pertama, Rina kembali memulai pembicaraan. "Eh, gue jadi inget. Tahu Aisyah kan, anak kelas 3 B?" Sebagian temannya mengangguk. Yang lain masih mencoba mengingat. "Gue pernah liat, dia itu kalau salaman sama anak cowok, enggak pernah sentuhan kayak kita gitu. Dia cuma tangkupin tangan di depan dada. Pas gue tanya kenapa dia begitu, katanya, kita itu enggak boleh bersentuhan depan lawan jenis yang bukan mahrom gitu." Semua tercenung mendengar perkataan Rina. 

"Maksudnya? Kita enggak boleh salaman dengan lawan jenis? Tapi kenapa?" tanya Gefira. 

"Katanya sih itu hukum Islamnya begitu, Ge. Gue juga kurang ngerti, sih. Tapi, biasanya, cowok atau cewek anak rohis yang tahu agama gitu, yang ikhwan akhwat gitu, ya mereka bersalamannya kayak gitu."

Alis mereka berkerut. Mencoba mencerna kata-kata Rina barusan. Apa itu artinya, Kautsar adalah lelaki yang tahu agama? Apa itu namanya? Lelaki sholih? Ikhwan? Huft. Pikir Gefira dalam hati. 
(*) 
"Saya penasaran sekali. Bagaimana pendapat Kautsar tentang Gefira?" tanya Heru pada Pak Lutfi di seberang telepon. Mereka bicara melalui sambungan telepon karena jarak rumah yang terpisah cukup jauh. Keluarga Gefira yang tinggal di daerah Jakarta Selatan, sedangkan keluarga Kautsar tinggal di daerah Bogor. Tentu tidak bisa sering-sering bertemu karena kesibukan masing-masing juga yang cukup menyita waktu. 

"Umm ... saya belum sempat bicara secara lebih detil dengan Kautsar," jawab Pak Lutfi mencoba diplomatis. 

"Oh, begitu. Kalau kesan pertamanya bagaimana, Pak? Putri saya Gefira cantik kan?" seloroh Heru diikuti senyuman lebar. 

"Ah, iya. Tentu. Dia sangat cantik. Mirip sekali dengan ibunya," lanjut Pak Lutfi. 

"So... apa itu artinya Kautsar menyukai Gefira?" 

"Umm... " Pak Lutfi mencoba mencari kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan Heru sahabatnya barusan. Ia jadi teringat percakapannya dengan Kautsar keesokan pagi setelah pertemuan mereka waktu itu. 

"Bagaimana pendapat kamu setelah bertemu dengan putri Pak Heru?"

Kautsar tampak menekuk wajahnya. "Mohon maaf, Bi. Tapi Kautsar rasa, dia masih terlalu muda. Dan ... belum dewasa. Sepertinya, belum cocok untuk menjadi ustadzah untuk anak-anak kelak." Sebenarnya, ada banyak hal yang membuat Kautsar merasa tidak cocok dengan Gefira. 

Selain tidak dewasa, gadis itu juga tidak berhijab. Sebagai lulusan Universitas di Madinah, Kautsar dipersiapkan untuk menjadi ustaz yang kelak akan mengajar di pondok pesantren tempat ayahnya kini mengajar. Atau juga mengajar di Madinah. Tentu saja ia mengharapkan seorang perempuan yang memiliki ilmu agama yang mumpuni, anggun, sholihah, lebih baik lagi bila banyak hafalan Al Qur'annya. 

"Iya, Abi mengerti, Nak. Tapi, Pak Heru itu, sepertinya sangat mengharapkan kamu bisa menjadi menantunya untuk bisa membimbing putrinya lebih dekat dengan Islam." Pak Lutfi mencoba membujuk. 

"Belum tahu, Bi. Saya serahkan semuanya pada ketetapan Allah saja," jawab Kautsar kemudian tak hendak membantah ayahnya lagi. Pak Lutfi kemudian manggut-manggut, seakan mengerti isi hati sang putra yang sesungguhnya. 

"Bagaimana, Pak Lutfi? Saya sangat penasaran dengan pendapat Kautsar. Apakah menurutnya Gefira cantik dan cocok untuk menjadi istrinya?" Pertanyaan Heru barusan membuyarkan lamunan Pak Lutfi tentang putranya. 

"Ah, sebenarnya saya kurang yakin, Pak. Tapi... " Terasa jeda yang menggantung. Pak Lutfi mendesah, mencoba memikirkan kata-kata yang tepat dan tidak menyinggung. "Sebenarnya... Kautsar menginginkan seorang istri yang berhijab dan berusia cukup dewasa. Tapi, Kautsar juga bilang, ia menyerahkan sepenuhnya pada takdir Allah."

"Oh begitu. Nah, itulah, Pak Lutfi. Salah satu yang bikin saya mantap memilih Kautsar. Sebenarnya, karena saya berharap Kautsar kelak dapat membimbing Gefira menjadi sosok muslimah yang taat, seperti yang juga dicita-citakan oleh mendiang ibunya."

Di seberang telepon sana, Pak Lutfi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dapat ia pahami alasan sahabat sejak kecilnya itu hendak menjodohkan putrinya dengan Kautsar. Namun, ia juga merasa tak enak pada sang putra jika merasa terpaksa dengan perjodohan ini. 

Usai menutup pembicaraan melalui hubungan telepon itu, sekelumit pikiran menyeruak di benak masing-masing. Heru yang di masa lalu kurang ilmu agama karena harus ikut ayahnya menghabiskan masa remaja di luar negeri, begitu menyesali keadaan dirinya. Ia ingat bagaimana Lutfi sahabatnya dahulu bersekolah di pesantren untuk menimba ilmu agama. 

Sungguh ia merasa sangat iri. Sebab kini, ia bahkan tak mampu membimbing putrinya sendiri untuk lebih mengenal Islam dan menjadi muslimah sholihah seperti yang dicita-citakan istrinya. Sayang, sang istri harus pergi meninggalkan mereka, saat usia Gefira baru menginjak enam tahun. 

Pernikahan kedua Heru dengan Lisa, yang tadinya diharapkan dapat membuat Gefira kembali stabil karena memiliki sosok ibu, malah menjadi boomerang tersendiri. Gefira yang tak pernah mau menerima Lisa menjadi ibunya, malah memilih untuk hidup menjauh dari ibu tirinya itu. Ia justru semakin terjatuh dan labil karena merasa sang ayah telah mengkhianati cinta mendiang ibunya. Gefira membenci Lisa dan tak ingin hidup bersama dengannya. 

Hingga akhirnya, Heru memberikan rumah sendiri untuk Lisa. Membuatnya jadi seperti memiliki dua istri. Membagi cinta dan mesti mondar-mandir ke dua rumah yang berbeda. Meski ia memilih untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersama putrinya. Namun sayang, keadaan itu justru membuat Gefira semakin tak tentu arah dan sulit dibimbing. 

Lutfi justru berpikir, jika Kautsar mau menerima perjodohan ini, maka akan bernilai dakwah baginya. Mengajak dan mendidik sang istri menjadi perempuan shalihah. Andai Kautsar berhasil, bisa jadi ia akan mendapatkan banyak pahala dan kebaikan yang mengalir. Namun sekali lagi, seperti yang dikatakan Kautsar, ia pun menyerahkan semua ketentuan pada takdir Allah.