Aku membuang muka pasca melakukan hal itu secara suka rela dengannya. Kenapa aku bisa berubah secepat ini? Rasa cinta yang menggebu pada Davin perlahan menguap entah ke mana.
Dengan lembut Affan mengecup keningku. Aku menoleh menatap dalam wajah tampannya. Benarkah aku telah jatuh cinta dengannya? Atau ini hanya sekadar nafsu?
"Sebenarnya ...." Affan memecah keheningan malam dengan suara bass yang dia miliki. Kata-kata Affan mengusik rasa penasaran dalam diriku.
"Sebenarnya apa?" Di balik selimut aku memeluk tubuh suamiku yang masih bertelanjang dada. Ini kali pertama aku dan Affan berbagi selimut di malam hari.
"Aku cemburu melihat kamu jalan dengan Davin," ungkap Affan tanpa keraguan. Aku terhenyak mendengar penuturannya.
"Itu artinya ... kamu cinta sama aku?" lirihku sambil mendongak menatapnya.
Affan mengendikkan bahu lantas terkekeh menyambut pertanyaanku yang sebenarnya sama sekali tidak lucu.
"Kenapa tertawa?" Aku memukul pelan pundaknya.
"Makanya aku nekat sore tadi, syukur-syukur jadi," ungkap Affan tak kalah mencengangkan.
"Jadi kamu ... memang sengaja ingin membuatku hamil?" Aku mencubit pinggangnya dengan perasaan ... entah. Affan mengangguk sambil tersenyum.
"Menyebalkan!" gerutuku dengan wajah yang mungkin semakin memerah.
"Aku kira akan sulit menaklukkan gadis keras kepala ini, tapi ternyata dugaanku salah, sekali sentuh langsung klepek-klepek," tukas Affan tak kalah menyebalkan dari kata-kata sebelumnya.
"Bukannya kamu tidak suka dengan bocah ingusan?" Olokku, mengingatkannya pada kata-kata yang ia ucapkan menjelang hari pernikahan kami yang tak pernah direncanakan.
"Entahlah, kamu berbeda, Zoya. Bagiku kamu unik," ucap Affan sambil menatap lekat wajahku. Membuat jantungku berdegup lebih kencang. Aku baru menyadari, suamiku memang benar-benar tampan. Wajar saja dulu Kak Alya jatuh cinta padanya.
Ah! Kak Alya, lelaki ini mungkin terlihat berpembawaan tempramental. Namun, kini aku telah menemukan sisi lain dari dalam dirinya.
Tanpa sadar, aku bergelayut manja di dada bidang lelaki yang selama sebulan ini kubenci, tapi dalam sehari mampu membuatku berputar haluan dan berbalik menyukainya.
"Maafkan aku, Bang," lirihku sembari memeluk tubuh suamiku lebih erat. Affan tersenyum lantas menutup mulutnya dengan kaku. Mungkin panggilan baruku padanya terdengar menggelikan. Biarlah.
"Maaf buat apa?" tanya Affan sambil memindai wajahku.
"Selama menjadi istri aku terlalu berani padamu," balasku sambil menatap lekat mata elangnya.
"Bisa dimengerti, kan bocah ingusan," seloroh Affan menyebalkan.
"Jahat! Aku istrimu, ya, Pak tua," kataku sembari menarik gemas hidung mancung Affan. Affan tersenyum lebar menanggapi ucapanku.
"Besok ada jadwal kuliah?" Affan mengalihkan pembicaraan. Aku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaannya.
"Ya sudah, besok kita bisa bertemu Gea, kamu penasaran, kan?" terka Affan yang kujawab dengan anggukan.
"Bang," ucapku sambil menatap wajah Affan intens.
"Iya, Sayang," balas Affan lembut, tangan kirinya merapikan anak rambutku yang sedikit berantakan di sekitar pelipis.
"Kamu benar sayang sama aku?" cecarku sambil mengaitkan kedua tangan di lehernya.
"Entahlah, tapi aku cemburu melihatmu jalan dengan laki-laki lain," balasnya sambil tersenyum manis--membuat jantungku kembali berirama.
"Ternyata tidak selamanya pengganti lebih buruk." Affan tampak serius kali ini.
"Maksud, Abang?" Aku menajamkan pendengaran.
"Dari aspek mana pun, kamu terlihat lebih baik dibanding Alya. Setidaknya menurut pengamatanku," ujar Affan. Kata-katanya barusan membuatku serasa melambung tinggi. "Kamu lebih tahan banting," timpal Affan kemudian.
Pupil mataku melebar secara otomatis mendengar ucapannya. Ya ampun, apa dia menyamakanku dengan barang pecah-belah?
"Apa aku lebih cantik dari Kak Alya?" Aku menarik tanganku yang sedari tadi melingkari lehernya.
"Tidak juga," balas Affan santai. Seketika aku mengerucutkan bibir menanggapi ucapannya. "Tapi kamu lebih manis," susul Affan--memancing reaksi baru pada wajahku. Pipiku seakan tersapu angin mendengar kata demi kata yang ia ucapkan.
***
"Katanya mau bertemu Gea? Kok malah ke rumah sakit?" tanyaku sesampainya di lobi salah satu rumah sakit di ibu kota ini. Affan hanya mengangguk menjawab pertanyaanku.
"Eh, Fan, makasih, Bro! Maaf selalu merepotkan." Seorang lelaki yang kuperkirakan seusia dengan suamiku menyalami tangan Affan ketika kami masuk ke salah satu ruangan rawat inap.
"Sama-sama, Bro," balas suamiku sambil tersenyum.
"Ini ... Kak Zoya?" Seorang gadis belia berambut panjang dengan wajah lesu bangkit dari tempat duduk saat menyadari kedatanganku dengan Affan di ruangan ini.
"Iya, ini Kak Zoya, istri Abang," sahut Affan, menimbulkan rona kemerahan pada pipiku. Bukankah pengakuannya terdengar manis?
"Cantik, Bang!" Mata gadis yang kuperkirakan bernama Gea, berbinar saat menatap wajahku.
"O jelas, istri siapa dulu," balas suamiku yang makin membuatku tersipu malu.
"Keadaan Ibu sudah membaik?" tanya Affan sembari mengalihkan pandangan menatap wanita paruh baya yang tampak tengah terlelap di pembaringan.
"Alhamdulillah, tensinya sudah kembali normal, beliau cuma butuh istirahat." Gadis muda itu memberikan jawaban. Affan mengangguk mendengar penjelasannya.
"Zoya, jaga Affan baik-baik, kalau tak ingin menyesal karena kehilangannya," sambar lelaki yang kuperkirakan adalah saudara kandung Gea. Aku menggamit lengan suamiku semakin erat. Benarkah aku harus merasa beruntung karena memilikinya?
Dari cerita yang kudengar, Andra kakak kandung Gea adalah sahabat baik Affan semenjak mereka duduk di bangku SMA. Mereka anak korban perceraian orang tua. Gea yang masih berusia 16 tahun tinggal bersama ibunya, karena Andra yang menjadi tulang punggung keluarga--terpaksa bekerja di luar kota. Sebagai sahabat baik Andra berusaha mengayomi gadis belia beserta ibunya saat Andra jauh dari mereka.
"Masih cemburu sama Gea?" tanya Affan saat tengah mengemudikan stir mobil saat kami dalam perjalanan pulang menuju apartemen.
"Sedikit," balasku singkat.
"Loh?" Affan mengernyitkan dahi mendengar jawabanku.
"Abang ... cinta itu bisa datang karena terbiasa," tuturku lantas menghela napas.
"Maksud kamu?"
"Kalau Gea sudah nyaman dengan kamu, bagaimana?" Aku balik bertanya. "Pelakor itu tidak kenal usia, Bang ...."
Seketika tawa Affan membahana menanggapi ucapanku.
"Kamu waspada dengan Gea? Takut dia naksir dengan aku? Terus jadi pelakor? Haha ada-ada saja."
Menyebalkan. Bahkan kekhawatiranku dianggap sebagai lelucon.
"Eh tapi ... lelaki kan boleh kawin sampe empat ya?" tanya Affan enteng.
Sontak mataku melotot mendengar pertanyaan yang membuat hati dan telinga menjadi panas dalam waktu bersamaan.
"Abang ...!" Aku mencubit pinggang suamiku dengan perasaan kesal bercampur gemas.