Ibu dan yang lain pulang pukul sepuluh. Aku yang sudah mengantuk, langsung pergi ke dalam kamar. Tak mempedulikan mereka berdua. Mbok Inah pun sudah kusuruh tidur tadi jam sembilan.
"Mbak, ini Mas Wahyu gimana?" tanyanya.
"Gimana apanya? Ya kamu urusin, lah! Oh ya, besok minta uang sama suamimu itu untuk belanja dan kasihkan ke Mbok Inah," ucapku.
"Bukannya baru kemarin ini sudah kukasih uang, Dek?"
"Sudah habis!" ketusku.
"Ck! Boros amat, sih?"
"Hei, Mas! Kamu sudah merusak pernikahan kita, masa iya aku harus diam saja? Ya aku belanja lah tadi. Shoping-shoping. Sudah ikhlaskan, anggap aja penebus sakit hatiku," ucapku sambil menutup pintu kamar.
Aku terdiam. Air mata yang sedari tadi berdesakan ingin keluar, akhirnya terjadi. Aku hanya manusia biasa, merasa sakit jika diperlakukan begini.
Aku pikir, aku bisa kuat. Hanya berbagi suami, tak lebih. Nyatanya, jauh lebih sakit dari yang kurasakan.
Kupikir, melihat Mas Wahyu kesakitan di malam pertamanya, membuatku puas. Nyatanya tidak. Aku tetap saja merasakan sakit hati.
Kubuka akun sosial mediaku, lalu membuat status di salah satu grup curhat.
[Aku berumur dua puluh delapan tahun. Sudah menikah selama empat tahun, namun tak kunjung diberi kepercayaan untuk merawat karunia-Nya. Hari ini, suamiku menikah lagi. Kupikir dengan orang asing. Tapi ternyata malah dengan mantan pacarnya dulu. Aku jadi sanksi. Menurut bunda, ini keinginan mertuaku atau memang keinginan suamiku?
Note: Mertuaku sudah menyuruh suamiku berpoligami dari setahun yang lalu karena aku tak kunjung hamil.]
Rasanya lega, sudah menumpahkan unek-unekku di sana. Meskipun hanya lewat tulisan.
Ting!
Sebuah pesan masuk ke dalam inbox.
[Sabar ya, Bun. Saya juga pernah mengalami. Bahkan saya sudah memiliki anak. Awalnya saya terpuruk, tapi saya baca-baca tulisan karya Putri Mahendra. Di sana banyak sekali cara-cara membalas suami yang licik. Menggunakan poligami untuk menutupi selingkuhannya. Tapi di sana, mereka bercerai. Apakah Bunda akan mengikuti jejak-jejak tokoh tulisan Kak Putri?]
Aku memikirkannya sejenak.
[Bunda baca di mana? Saya ingin membacanya juga. Siapa tau jadi inspirasi.]
[Di aplikasi KBM App. Meskipun tulisannya masih berantakan, tapi mungkin bisa jadi pencerahan buat Bunda.]
Setelah mendapat balasan itu, segera aku mendownload aplikasi yang dimaksud. Mencari nama penulis Jingga Rinjani dan membaca ceritanya.
Ternyata, banyak juga penulis-penulis keren lainnya di aplikasi ini. Kenapa aku telat mengetahuinya?
"Aw! Panas, Alma!"
Aku terkejut mendengar ucapan Mas Wahyu. Apakah mereka belum tidur?
"Lagian, kenapa bisa jadi kaya gini sih, Mas?"
"Ya mana aku tahu, lah!"
"Padahal kemarin-kemarin kan masih biasa aja."
Deg!
Kemarin-kemarin?
Astaghfirullah!
Apakah itu artinya mereka sudah berzina?
-
Aku bangun dengan segar pagi ini. Segera aku bersiap, untuk jalan-jalan dengan Cia. Di antara saudara, hanya dia yang paling dekat denganku. Anak dari adik almarhumah Mama.
Ya, aku hanya anak piatu. Mereka bilang, papaku masih hidup, namun entah di mana. Pun dengan menikah waktu itu, aku memakai wali hakim.
Aku bergerak ke kamar mandi. Merasakan dinginnya air. Ah, pengantin baru itu, apa kabarnya?
Kumatikan keran saat mendengar ketukan di pintu kamar.
"Ya, sebantar!"
Segera kupakai kimono, lalu keluar. Tampak Mbok Inah tengah berdiri.
"Itu, Bu. Saya disuruh minta uang ke Ibu untuk belanja."
"Kan kemarin saya sudah bilang minta ke Bapak saja, Mbok."
"Iya, Bu. Tadi sudah saya minta. Tapi, kata Mbak Alma tak ada. Disuruh minta ke Ibu."
Aku menghela napas, lalu berjalan ke kamar pengantin baru tak tahu malu itu.
Dor-dor!
Kugedor keras pintunya.
Sudah jam delapan, tapi dua manusia itu belum juga keluar kamar.
"Hoam, apa, Mbak?" tanya Alma, masih menggunakan baju kurang bahan itu.
"Ckckck! Jadi istri itu bangun pagi. Ini matahari udah diujung, masih molor aja!"
Alma langsung terdiam, mungkin ia tak menyangka aku akan berbicara seketus ini. Kulirik Mas Wahyu, ia tertidur hanya dengan menggunakan c*l*n* dalam saja. Ish-ish!
"Mas, bangun!" ucapku sambil melirik ke arahnya.
"Apa sih, Dek?"
"Itu, Mbok Inah minta uang belanja."
"Nggak ada, kan semalam sudah buat berobat."
Aku berdecak, kemudian keluar masuk ke dalam. Mau tak mau. Kuambil dompetnya kemudian membuka.
"Aku mana percaya kalau kamu nggak punya uang. Pasti semalam Ibu menyelipkannya."
Kuhitung, ternyata ada satu juta. Kuambil tujuh ratus ribu.
"Ini kuambil, sekalian mau buat belanja bulanan."
"Jangan lah, Mbak!"
Aku melirik sengit ke arah Alma. Berani sekali dia membantahku?!
Tak kupedulikan wajah Mas Wahyu dan Alma yang seakan keberatan melihatku membawa uang ini. Masih untung kusisakan.
"Gimana sih, Mas? Aku kan mau perawatan hari ini!"
Heh, takkan kubiarkan kamu menguasai Mas Wahyu, ulat bulu!
Tunggu rencana keduaku nanti, Mas. Tentunya, akan lebih menyenangkan.
Login untuk melihat komentar!