Bab 6


Aku memberikan uang dua ratus ribu pada Mbok Inah untuk membeli sayur dan juga lauk. Aku memberinya catatan. Lauknya pun hanya ikan setengah kilo, ayam setengah kilo. Intinya serba setengah kilo. Untuk sayur, aku akan memberikan uang harian nantinya. Intinya, stok ikan-ikanan dulu. 

Aku meninggalkan Mas Wahyu yang masih meringis sambil mengipasi barang pusakanya. Sementara Alma tengah merengut di pojok kamar. Bodo amat! Emang gue pikirin?! 

Aku menelpon Cia. Bilang kalau aku sudah siap, ia pun bilang jika sudah sampai di depan rumah. 

"Udah sampai kok nggak ngomong-ngomong?" tanyaku saat sudah sampai di depan rumahnya. 

"Baru mau ngabarin, Kak. Tapi keburu telpon."

Aku mengangguk, kemudian menerima uluran helm darinya. Beruntung ia hari ini tengah santai, tak ada kegiatan di kampus. 

"Mau ke mana, Kak?" 

"Belanja bulanan." 

Cia langsung menarik gas tanpa banyak tanya. Uang bulanan kemarin masih ada sisa dua juta, semalam kembalian dokter ada lima puluh ribu. Lumayan lah, daripada habis oleh parasit itu! 

Aku bukan tak rela Mas Wahyu poligami hanya saja aku harus main cantik saat ini. Jangan sampai, Mas Wahyu diembat, hartanya pun sama. Enak saja! 

Aku yang berdarah-darah, masa dia yang enak-enak? 

-

Setelah selesai belanja, aku mengajak Cia untuk makan siang. Sudah pukul setengah satu dan aku belum makan. Pantas saja cacing di dalam perut terasa meronta-ronta minta diisi. 

"Kak, gimana semalam?" tanya Cia. 

Aku tersenyum penuh arti. 
Lalu mengacungkan jempol padanya.

"Berhasil?" 

Aku mengangguk-angguk. 

"Wah, memang joss gandoss Mbah Tejo itu."

"Ngomong-ngomong, gimana cara Mbah Tejo melakukannya ya, Kak?" 

Aku mengedikkan bahu. Tak peduli bagaimana ia melakukannya, tapi aku puas dengan hasil. 

"Dulu, Budhe langsung maafin Pakdhe begitu saja, kah?" tanyaku. 

Melihat bagaimana hubungan Pakdhe dan Budhe sekarang, sepertinya memang adik Mama itu sudah memaafkan perbuatan suaminya. 

"Ya begitulah. Kadang, Ibu masih suka membahas. Tapi Bapak bisa menanggapinya dengan nyengir."

Aku manggut-manggut. Apakah aku bisa memaafkan Mas Wahyu juga nantinya? 

"Ceritain soal kejadian semalam dong, Kak." 

Aku pun menceritakan semuanya pada Cia, tanpa mengurangi dan menambahi. Ia tertawa terpingkal-pingkal. 

"Syukurin! Memang enak!" 

"Tapi, Ci..."

"Kenapa, Kak?" 

"Apa nanti bakal balik lagi bentuknya?" 

Cici mengangguk. 

"Waktu itu, Bapak dua hari baru kembali. Dan itupun seperti tidak habis kenapa-kenapa." 

Hah? 
Cuma dua hari doang? 

"Masa cuma dua hari, sih, Ci?"

"Kan kemarin sudah sama Mas Wahyu, gimana kalau besok tinggal ngerjain Madu Kakak itu?" 

Cih! 
Mendengar kata madu, membuatku ingin menelan habis wanita itu. 

Wanita yang sudah dengan tega menghancurkan rumah tanggaku. Sama saja dengan Mas Wahyu. 

Padahal dulu, ia begitu sayang padaku. Ia juga bercerita kalau mantan pacarnya yang bernama Alma itu pergi meninggalkan dia saat hendak melamar. Ya, lamarannya ditolak mentah-mentah. 

"Kak?" 

"Hah?" 

Aku mengerjap beberapa saat, apa aku tadi sedang melamun? 

"Kenapa melamun?" 

"Oh, nggak papa." 

Aku membenahi rambut, lalu mendekatkan bibir ini pada telinga Cia. Kuceritakan rencanaku. Matanya membulat, kemudian jempol tangan ia berikan padaku. 


"Setuju!" ucapnya. 

Aku tersenyum. 


Komentar

Login untuk melihat komentar!