Pagi ini aku ke kampus lagi. Pekerjaanku di perusahaan event organizer itu memang fleksibel. Mereka tahu aku masih mengerjakan skripsi, jadi mereka memberikan keleluasaan untuk menyelesaikan skripsiku. Lagipula, aku memang harus lulus tahun ini juga agar tidak di-DO.
Kegemaranku bergelut di bidang entertainment membuatku harus mengorbankan waktu kuliahku hingga terbengkalai begini. Ditambah lagi aku tidak begitu berminat dengan jurusan yang kuambil, Ilmu Politik, fakultas ISIP UI. Label UI membuatku harus tetap menyelesaikan kuliahku, bagaimanapun caranya. Jangan sampai DO.
Langkahku terhenti saat retina mataku menangkap sosok itu. Sosok lembut yang gemar memakai gamis dan jilbab polos warna senada. Kali ini dia memakai gamis kembang-kembang warna ungu tua, dan jilbab lebar polos warna ungu muda.
Tentu saja, dia akhwat, dan para akhwat terkenal dengan gamis dan jilbab lebarnya. Tapi sosok yang satu ini benar-benar tidak pernah lepas dari gamis. Ada akhwat yang berpakaian atas-bawah. Kadang-kadang gamis, kadang-kadang atas-bawah.
Dia? Tidak pernah berpakaian atas-bawah. Selalu gamis. Wah, ternyata sebegitu perhatiannya aku kepadanya. Boleh, dong. Aku kan sedang menyeleksinya. Apakah dia cocok untukku atau tidak.
“Assalamualaikum, Ukhti....”
“Waalaikumussalam warahmatullah....” Dia melirikku sekilas, hanya untuk tahu siapa yang telah menyapanya, lalu tertunduk kembali.
Aku tersenyum diam-diam. Maaf, Ukhti. Aku tidak bisa sekaku itu. Aku tahu ghodul bashor. Tapi aku kan sedang berniat menikah dan menyeleksi calon istriku. Bukankah boleh melihat calon istri yang akan kita nikahi? Insya Allah.
“Gimana proposalnya, Ukhti? Sudah disetujui?” tanyaku.
“Oh, iya. Alhamdulillah... sedang mencari referensi bab tiga. Gimana, Akh? Katanya antum punya teman yang bisa membantu ana mendapatkan referensi mengenai manajemen sumber daya manusia di perbankan syariah?”
Suaranya itu... aku benar-benar suka. Lembut sekali. Seperti... apa, ya? Memangnya suara bisa didefinisikan?
Aku berdehem sambil mengeluarkan bahan-bahan yang dia maksud. Pertemuan kami ini memang direncanakan. Percakapan dua hari lalu sampai pada topik bahwa akhwat yang sedang berdiri di depanku ini sangat membutuhkan referensi untuk skripsinya yang mengangkat tentang manajemen sumber daya manusia di perbankan syariah.
Melati memang mengambil jurusan Manajemen di fakultas Ekonomi. Dan aku sangat kebetulan memiliki seorang teman yang sudah bekerja di sebuah bank syariah. Maka aku pun menawarkan diri untuk membantunya.
Melati sangat setuju, dan aku sangat senang. Itu berarti, aku bisa lebih dekat dengannya. Tidak hanya saat syuro LDK Universitas.
“Ini, Ukhti. Mudah-mudahan bisa membantu,” kataku dengan suara yang juga lembut, untuk mengimbangi suaranya, tentu saja.
Melati menerimanya dengan senyum mengembang. Aku senang melihat senyumnya. Begitu lembut. Dan bibirnya yang merekah, persis bunga Melati yang baru mekar.
“Jazakumullah, Akhi,” ucapnya, berbinar.
“Wa iyyaki.”
“Afwan jiddan. Ana masih ada urusan. Assalamualaikum,” Melati melangkah pergi meninggalkan tanya di benakku.
Begitu saja? Tidak ada yang lain? Hei, Akhi! Bukankah memang tidak ada yang lain? Tapi menurutku itu sangat tidak sopan. Aku telah membantunya untuk sesuatu yang sangat besar dan dia meninggalkanku begitu saja. Kutata hatiku.
Ingat, Akhi. Melati itu seorang akhwat yang sangat menjaga pergaulan. Jadi wajar dong kalau dia tidak mau berlama-lama berbicara denganmu. Oke, oke. Aku mengerti. Tapi... ah!
Aku pun melangkahkan kaki meninggalkan masjid UI tempatku bertemu dengan Melati, tadi. Kuingat kembali awal pertemuanku dengan Melati. Tentu saja di masjid UI ini juga, tempat para pengurus Rohis Universitas mengadakan syuro.
Melati tergabung dalam kepengurusan tahun ini dan aku menjadi penasihat. Aku tidak keberatan menerima amanah itu, meskipun ada amanah lain yang juga harus kupenuhi. Skripsiku dan pekerjaanku. Aku yakin bisa menunaikan ketiganya.
Lagipula, karena menerima amanah itu pula aku bisa bertemu Melati. Aku pun tahu bahwa ternyata ia sering mengisi liqo di sana. Ah, masjid itu benar-benar tempat yang berkesan buatku.
Kutangkap wajahnya yang cantik dan lembut, yang tersembunyi di antara rerimbunan bunga-bunga lainnya. Tapi dia benar-benar tak tertandingi.
Pakaiannya yang biasa saja, bahkan terlihat sangat bersahaja, tak dapat menutupi kecantikan wajahnya yang sempurna. Kulit yang putih, pipi yang bersemu merah, mata yang jeli, dan hidung yang mancung. Aku menjadi sangat penasaran terhadapnya. Kuselidiki tentangnya.
Melati, semester sembilan di fakultas Ekonomi. Sedang menyelesaikan skripsi. Mantan ketua keputrian fakultas Ekonomi. Melihat penampilannya yang bersahaja, tak akan ada yang mengira kalau dia ternyata anak orang kaya. Ayahnya pejabat di Pertamina. Sempurna.
Perempuan itu dinikahi karena empat hal; kecantikannya, keturunannya, kekayaannya, dan agamanya.
Melati, memenuhi keempat-empatnya. Sudah tak perlu lagi keraguan untuk memilihnya, bukan?