Seleksi Calon Istri
Si Lembut Melati 

Aku hanya ingin bertanya. Bisakah kaujelaskan kepadaku apa itu cinta? Apakah kekaguman-kekagumanku terhadap lawan jenis bisa didefinisikan bahwa aku telah jatuh cinta?

Usiaku telah dua puluh enam tahun. Skripsiku sebentar lagi selesai. Sudah bekerja sebagai manajer promosi di sebuah perusahaan event organizer yang menangani acara-acara seperti konser nasyid, launching album nasyid terbaru, sampai production house.

Seperti laiknya ikhwan-ikhwan lain yang sudah cukup umur dan siap lahir-batin, aku pun sudah didesak agar segera menikah oleh keluarga maupun ustaz, tempatku menggali ilmu. 

Menikah. Siapa yang tidak mau menikah? Aku juga mau. Tapi terus-terang, aku masih ragu dengan konsep pernikahan yang dianut oleh Ustaz dan kelompok pengajianku. Menikah tanpa pacaran.

Oke, aku bisa terima konsep itu. Tapi menikah dengan perjodohan? Oh... tidak. Sepertinya aku belum siap. Aku punya standar tertentu untuk calon istriku. Standar yang saking banyaknya, jadi tidak enak kuutarakan pada Ustaz. Jadi, aku ingin menyeleksi calon istriku sendiri. Aku ingin mencari bidadari itu sendiri. Kalau sudah dapat, baru minta bantuan ustaz untuk menjadi perantara. 

“Menurut kalian, Melati itu bagaimana?” tanyaku, suatu waktu, saat sedang berkumpul dengan teman-temanku, di rumah kontrakan kami.

Aku memang mengontrak bersama lima ikhwan lainnya di sebuah rumah kontrakan tidak jauh dari kampus. 

“Jadi sekalang Ukhti Melati, nih?” Hasan balik bertanya. Pertanyaan ikhwan bertubuh tinggi-kurus yang tidak bisa mengucapkan huruf “R” itu, terkesan menyindirku.

Aku jadi tidak enak. Sebab aku memang sudah sering menanyakan hal itu kepada teman-teman ikhwan sekontrakan yang rata-rata usianya di bawahku. Aku memang paling tua di rumah kontrakan ini. 

Hasan, satu fakultas denganku di FISIP UI, tapi masih semester lima. Lalu Arfan yang berkacamata dan berpembawaan serius, semester tujuh di fakultas Hukum. Ada lagi Ali, yang berkulit putih dan bertubuh pendek (hanya 160 cm), juga semester tujuh di fakultas Hukum.

Aji, berkulit hitam dan berperawakan keras, semester tiga di fakultas Ekonomi. Karena baru ghiroh, sikapnya kadang terlalu keras dalam menyikapi masalah-masalah yang sebenarnya sepele saja.

Terakhir Arif, yang bertubuh paling kecil di antara kami semua, tapi lumayan ganteng. Ikhwan yang sejurusan dan setingkat dengan Aji ini sangat suka bercanda, sehingga aku pun paling senang berinteraksi dengannya. 
 
“Yang serius dong, Mas. Kemarin sama Ukhti Naila cuma nanya aja. Nimbang-nimbang lama banget, akhirnya Ukhti Naila nikah duluan,” ini kata Arif.  

“Berarti tidak jodoh,” jawabku, ringan, “sekarang, bagaimana dengan Melati?” aku kembali menyebut akhwat yang satu tingkat di bawahku itu.

Kabarnya dia sedang skripsi. Sebentar lagi lulus. Aku juga. Siapa tahu bisa bareng. Sudah lama aku memperhatikannya. Dia cantik dan lembut.

Agamanya? Tidak diragukan lagi. Aktivis dakwah, guru TPA juga. Dia memenuhi seluruh kriteria calon istri yang disebutkan Rasulullah. Cantik, keturunan baik, anak orang kaya, dan agamanya? So pasti, lah. Prioritas pada agama, tapi kalau ada semuanya, kenapa tidak? Bukan begitu?

“Kayaknya ane pernah dengar nama itu....” Aji seperti sedang berpikir.

“Ente ini gimana? Dia kan akhwat senior di Ekonomi!” sembur Arif. 

“Oh iya, iya! Yang cantik itu kan? Wah, Mas... ingat kata Ustaz Faisal, memilih istri itu harus didahulukan agamanya!” Aji sok menasihatiku.

“Kalau bisa dapat empat-empatnya, kenapa tidak?” balasku.

“Maksudnya, Mas mau beristri empat?” aku tahu Arif bercanda. Aku tertawa.

“Ya enggaklah. Maksudnya, yang memenuhi keempat syarat calon istri itu. Melati memenuhi semuanya, kan?” 

“Ukhti Melati memang... tidak ada cela,” kata Hasan setelah berpikir agak lama. “Ah, sudah ah, Mas. Kok jadi ngomongin akhwat melulu. Ane mau beli makan dulu.”

“Iya, ane juga. Keluar dulu ya, Mas. Assalamualaikum,” Arfan mengikuti Hasan.

“Lho, lho, lho. Kalian ini bagaimana? Aku kan sedang meminta masukan dari kalian. Aku serius, lho!” cegahku.

“Mas langsung tanya Ustaz aja. Langsung masukin proposal. Biar nggak keduluan ikhwan lain lagi,” kata Hasan. 

Aku melengos. Tidak semudah itu. Tapi... kan masih ada Arif, Ali, dan Aji. Giliran mereka kutanyai.

“Insya Allah, baik. Dan cantik. Biar sepadan dengan Mas yang ganteng. Itu kan yang Mas cari?” Arif mengedipkan mata.

“Ah, kamu. Tidak juga,” wajahku merah.

Kata orang, aku memang ganteng sih. Tubuhku tinggi-besar, kulitku bersih, dan wajahku tak mengecewakan. Sebenarnya banyak kaum hawa yang menyukaiku, bahkan terus-terang mengatakannya kepadaku. Tapi itu hanya kuanggap angin lalu. Menikah bukan soal mudah buatku dan tentunya aku harus mendapatkan pendamping yang sepadan denganku. Sepadan. 

“Tapi Ukhti Melati itu memang cantik,” Arif senyum-senyum. 

“Nah, ente nggak ghodul bashor, ya...!” Ali mencibiri Arif.

“Ghodul Bashor ya tetep. Tapi ane kan nggak buta sampe nggak pernah lihat sedikit pun. Ukhti Melati itu sempurna, Mas. Udah deh, khitbah aja. Nggak usah mikir-mikir lagi. Khitbah ya, khitbah ya...?”

“Lho, kok kamu maksa?” aku menatap heran Arif.

“Biar Mas nggak ngomongin akhwat lagi!” sembur Aji, yang kalau ngomong memang tidak pakai tedeng aling-aling.

“Oh, jadi kalian bosan aku ngomongin akhwat melulu? Kalian tidak mau membantuku mendapatkan yang terbaik?” wajahku mulai sinis.

“Bukan begitu, Mas. Kami juga mau Mas mendapatkan yang terbaik, tapi yang serius gitu loh. Jangan nggak jadi melulu kayak kemarin-kemarin,” jelas Ali, yang paling bijaksana di antara kami. Bahkan aku, yang seharusnya lebih bijaksana, kalah dengannya.
 
“Aku kan sedang menyeleksi. Kalian pikir aku main-main. Makanya aku minta masukan dari kalian. Menurut kalian, Melati itu cocok nggak denganku? Kalian kan tahu aku bagaimana. Jadi, kalian bisa kasih masukan, dong?” aku menatap Arif, Ali, dan Aji, bergantian. 

“Cocok-cocok. Insya Allah,” kata Arif sambil berjalan ke dapur. Itu caranya untuk menghindar. 

“Ya, Mas. Insya Allah. Istikharah aja dulu,” kata Ali sambil berjalan masuk ke kamarnya. Juga menghindar. 

Aji tidak berkata apa-apa saat meninggalkanku. Aku menghela napas. Biarlah. Minta masukan saja susah! Kembali kubayangkan Melati yang wajahnya sengaja tertangkap retina mataku tadi siang. 
Kurasa... dia memang cocok untukku. 

***


Komentar

Login untuk melihat komentar!