Menagih Utang Bude
Part 1
Arun perlahan melepas sandal jepitnya dan menaruhnya di tanah, mengibas-ngibaskan kaki agar nantinya tak mengotori teras rumah Bude Darmi yang kini sudah dikeramik dan sangat bersih. Ia sudah tahu aturannya, jika berkunjung ke rumah budenya ini haruslah melalui pintu belakang yang terhubung langsung ke depan, izin dahulu pada pembantunya baru nanti bisa bertemu dengan saudara ibunya itu.
“Cari Budemu, Nduk?” tanya Mbah Mar yang sudah lama mengabdi di rumah bude sebagai pembantu.
Arun mengangguk sambil meremas sisi bajunya. Entahlah, walaupun hubungan mereka terbilang dekat tapi selalu saja segan menginjakkan kaki ke rumah Bude Darmi. Suami budenya ini bekerja di kantor kecamatan dan Bude Darmi pun punya toko baju di pasar, sangat berbanding terbalik dengan kehidupan kedua orang tuanya yang hanya sebagai petani sederhana dengan lahan yang tak luas.
“Kata Budemu tunggu dulu, mereka lagi ada tamu keluarga calon suaminya Non Mawar,” ujar Mbah Mar ramah.
Arun kembali mengangguk, ia memang melihat keramaian di depan tadi, ada banyak mobil bagus pula terparkir, sepertinya sepupunya itu akan segera melepas masa lanjangnya.
“Sudah makan, Nduk?” tanya Mbah Mar. Ia menyodorkan sepiring gorengan pada Arun. “Dimakan, masih anget,” tawarnya sambil tersenyum.
Arun mengambil sepotong pisang goreng dan segera melahapnya, sejak tadi siang perutnya memang belum terisi. Ia sangat lapar sebenarnya. Beruntung Mbah Mar menamainya makanan.
“Ada apa, Run?” tanya Darmi begitu melihat wajah keponakannya ini. Ia sedang sibuk tadi tapi harus terganggu oleh kedatangan keponakannya ini.
Arun segera berdiri dan menghampiri Bude Darmi. “Bapak jatuh dari pohon kelapa, Bude, sekarang di rumah sakit.” Ia menjelaskan dengan suara yang terbata. Wajah pucat bapaknya langsung tergambarj jelas memenuhi benaknya.
Darmi mendesah pelan. “Makanya, bilang bapakmu, kalau kerja hati-hati biar gak nyusahin orang lain. Mau minjam uang ya kamu?” tanyanya ketus. “Udah tahu miskin tapi gak hati-hati, bikin repot.” Ia mengeluarkan selembar uang biru dari saku bajunya. "Ambil ini, bilang ibumu kalau bude gak bisa kasih lebih. "
Arun mencoba untuk tersenyum, berusaha sekuat yang ia bisa untuk tak meneteskan air mata. Harga diri rasanya sedikit tercabik namun ia tetap harus menghormati budenya ini sesuai pesan ibunya tadi.
“Saya bukan mau pinjam uang Bude,” jawab Arun pelan. “Saya diminta ibu ke sini mau nagih hutang bude ke ibu lima tahun yang lalu. Waktu bude pinjam uang penjualan sapi lima belas juta untuk renovasi rumah,” lanjutnya dengan suara yang bergetar.
Raut wajah Darmi langsung berubah, ia yang tadinya hanya kesal kini menjadi marah. Keponakannya ini berusaha untuk menagih hutangnya. Lancang sekali.
“Siapa yang menyuruhmu ha? Ibumu itu?” Darmi menatap tajam Arun keponakannya.
“Iya, Bude. Ibu gak akan minta saya nagih kalau bukan karena bapak kecelakaan. Kami butuh uang itu bude,” jawab Arun lagi. "Kasihan bapak bude."
“Uang segitu saja kamu tagih, kamu kira bude gak bakal bayar kalau gak kamu tagih,” ucap Darmi ketus. Ia berkacak pinggang menatap tajam keponakannya.
“Maaf bude, bukan begitu maksud Arun. Saya nagih pun karena bapak lagi sakit, ini medesak Bude.”
“Nanti saja kamu ke sini lagi, sekarang bude lagi sibuk.”
“Bude, saya perlu uangnya malam ini atau paling lambat besok pagi. Kami mesti ngurus tunggakan BPJS.”
“Kalian yang nunggak BPJS terus kenapa bude yang ikut susah. Sudahlah Run, kamu bawa saja bapakmu pulang, berobat di dukun saja. Orang miskin kok gaya-gayaan berobat di rumah sakit."
“Bude,” ucap Arun setengah berteriak. “Arun butuh uang itu, tolonglah bayar hutang bude.” Rasanya ia ingin menangis sekarang, ia hanya menuntut haknya tapi seolah ia lah yang mengemis. Ya Allah.
“Kamu membentak bude? Gak sopan kamu ya. Gak tahu adat!” Bude Darmi menunjuk tepat di wajah Arun.
“Bude, bayarlah hutang bude. Sudah lima tahun kami menunggu, sekarang bapakku sedang sekarat!” Pecah sudah tangis Arun kini. Rasanya sakit, benar-benar sakit. “Arun mohon bude.”
“Kalau sekarang gak bisa, bude lagi sibuk mengurus acara temu keluarga sepupumu, sedang sibuk, lagi banyak pengeluaran juga,” jawab Darmi. “Lima belas juta bukan jumlah yang sedikit dan ia tak mau mengeluarkannya hanya untuk hal tak berguna seperti membayar hutang.
“Bude, bapakku sedang sekarat, kalau tak ditolong bisa gawat,” ujar Arun memohon.
“Kalau mati itu berarti takdir, gak ada hubungannya dengan bude.”
“Bude, aku bukan mengemis aku hanya minta hak orang tuaku. Bayar hutang bude!” teriak Arun.
“Kau gila.” Darmi langsung menarik tubuh keponakannya dan menutup mulutnya. “Kau ingin buat bude malu, di sana lagi banyak tamu bodoh.”
Arun berusaha melepaskan cengkraman budenya, ia menarik tangan wanita bertubuh tambun itu dan menggigitnya keras.
“Anj*ng kamu ya!” Darmi mengibaskan tangannya. “Anak tak tahu diri.”
“Aku gak peduli bude mau sebut aku apa, yang aku mau bayar hutang bude.” Arun mengusap netranya. “Besok pagi aku akan ke rumah ini lagi. Bude siapkan uangnya atau aku akan buat keributan,” ancamnya.
Darmi tak menjawab, anak ini benar-benar kelewatan dan sepertinya harus diberi pelajaran.
“Aku pergi Bude, dan besok pasti akan kembali lagi,” ucap Arun dengan suara yang bergetar.
Langkahnya lemah ketika meninggalkan rumah mewah milik budenya itu, ia tak pernah meminta, orang tuanya tak pernah mengajarkannya untuk mengemis. Ia hanya meminta hak-nya, menagih hutang budenya yang kaya raya ini.
***
“Arun!”
Arun menoleh, ia sangat akrab dengan suara ini. Suara lembut milik sepupunya. Mawar.
“Apa?” tanya Arun datar.
“Kamu bertengkar dengan ibuku?” Mawar menatap sepupunya ini dengan tatapan iba. Ia sempat menguping pertengkaran di dapur tadi.
“Tidak, aku ke sini hanya menagih hutang ibumu pada orang tuaku. Ayahku kecelakaan dan aku butuh uang itu.”
“Kamu kan tahu gimana ibuku, harusnya kamu sabar dan menunggu. Ngomongnya pelan-pelan jangan bentak-bentak, harus pakai cara halus. Nanti aku akan kasih tahu ibu baik-baik ya, kasih aku waktu satu bulan,” ujar Mawar sambil tersenyum.
“Bapakku sedang sekarat dan kau minta aku menunggu satu bulan? Kau gila,” ucap Arun kesal.
Mawar menghela napas panjang. Ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan dua lembar uang merah di dalamnya. “Ini untuk beli jajan di rumah sakit. Ambil saja gak usah dikembalikan.” Ia tersenyum semanis mungkin.
“Aku bukan minta uangmu, Mawar. Aku mau uang orang tuaku.” Arun menyerahkan kembali uang itu ke tangan Mawar. “Kau bayar saja hutang keluargamu itu. Jual gelang dan cincin emasmu itu.” Ia melirik deretan cincin dan gelang emas yang memenuhi tangan sepupunya..
“Arun, kamu benar-benar kasar.” Mawar kembali menghela napas. “Kalau seperti ini terus mana mau ibuku bayar hutangnya.”
“Kalau besok ibumu tak bayar hutang, maka besok aku akan datang dan datang terus ke rumahmu sampai semua penduduk desa tahu jika kalian punya hutang pada keluargaku,” ancam Arun. Ia tak main-main, akan ia buktikan ucapannya itu, akan terus ia tagih hutang itu pada budenya.
Bersambung…
Semoga ada yang suka dengan kisah ini ya.