part 7 Memberitahu Ibu Mertua

TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS

Part 7 ( Memberitahu Ibu Mertua )

Mas Arga terpana dengan muka merah setelah aku berucap dengan nada cemooh. Entah kenapa bibir ini tiba-tiba berucap membalas perkataanya saat di warung kopi tadi. Bahkan setiap kata dan caranya bicara masih terniang. Dengan bangganya mengatakan jika ia sesak melihatku karena selalu minta uang.

“Itu, itu hanya bercanda, Sarah.” Suara Mas Arga terdengar pelan.   

“Oh ya? Termasuk uang lima juta gajimu yang sudah aku habiskan, Mas?”

Bahkan saat aku menatap matanya, ia beralih pandang seakan tak mau membalas tatapanku. Tumben tak berkutik. Biasanya aku bicara satu, ia malah malah sepuluh. Dan mulutnya hampir sama seperti Andi adiknya. Bedanya Andi lelaki kemayu sementara Mas Arga tampak garang.

“Bukan gitu, kamu salah dengar kali.” Astaga, masih juga menyangkal.

“Ternyata aku salah dengar ya? Berarti salah kupingku dong.”

“Ini mobil siapa?” Ia menujuk mobil. Baru nyadar jika aku ke sini naik mobil. Atau mau mengalihkan pembicaraan kali.

“Aku kan sudah dapat kerja, jadi Pak Ismail membebaskan aku pakai mobil ini.” Lalu aku membuka pintu mobil. Setelah naik ke mobil, kaca jendela diturunkan hingga bisa melihat wajah suamiku. “Mas, jangan buang-buang waktu di sini. Pekerja lapangan banyak yang duduk ngerokok saat kamu tak di sana. Jika proyek ini tidak selesai tepat waktu, jangan salahkan aku jika Pak Ismail bertindak hingga tak ada kerjasama lagi.”

“Kamu, kamu ....”

Aku tak peduli ia mau bicara apa. Mobil kulaju meninggalkannya dengan ekspresi kesal. Ya bisa jadi statusnya sebagai suami merasa diinjak karena jabatanku lebih darinya. Justru aku berterima kasih ia memintaku bekerja hingga aku sadar, jika perempuan itu harus bisa mandiri karena keadaan tak selalu berpihak baik padanya.

***

Sampai di kantor, aku mengirimkan email pada pak Ismail tentang laporan-laporan proyek. Karena pak Ismail ada di rumahnya, jadi lewat email ia bisa buka laporan ini di mana saja. Bahkan aku juga bisa menyetujui proyek kecil asalakan ada sedikit untung bagi perusahaan. Pak Ismail memberikan wewenang lewat WA jika aku tak perlu menunggunya untuk mengambil keputusan. Kecuali proyek besar yang memakan biaya banyak.

Sudah jam setengah lima. Tak terasa waktu berlalu cepat dengan kesibukan yang belum habis-habisnya. Teringat akan Tia. Pasti sekarang ia sedang duduk di depan televisi dengan Ibu Mertua. Itulah kebiasaan yang setiap hari aku lihat. Bahkan Ibu Mertua selalu menuruti kehendak Tia jika minta dibelikan jajanan dan paket internet.

Drrrt, ponselku bergetar. Ada pesan WA dari Mas Arga. Segera kubuka.

[Sarah, Pak Rudi itu sudah biasa menangani proyek. Jadi jangan ikut campur pekerjaanya asalkan tepat waktu. Anggap saja ini permintaan suamimu]

Hah? Mataku langsung membulat setelah membaca pesan WA dari Mas Arga. Apa ini maksudnya mengejarku ke dekat mobil parkir tadinya? Tadi maksud ucapannya belum disampaikan karena kami bertengkar lagi.

[Sekarang aku manager PT Bajatama. Bukan Sarah yang di rumah istrinya Mas Arga. Bukankah sekarang jam kerja?] ini balasan pesan dariku.

“Makanya, jangan minta aku kerja ,Mas. Inilah Istri wanita karir,” gumamku.

[Aku tau, tapi apa salahnya aku bicara ini karena kamu istriku]

[Dalam bekerja harus profesional. Aku tau apa yang baik bagi karirku. Jadi urus saja karirmu, Mas]

Akan tetapi, pesanku hanya dibaca saja. Kutunggu tak ada balasan. Bisa jadi masalah ini akan berlanjut di rumah. Aku harus memberi sesuatu agar Mas Arga tahu seperti apa istri yang dituntut bekerja.

***

“Ma, tadi aku didaftarkan lomba matematika tingkat kecematan. Kata Bu Guru, aku harus rajin belajar dan sering-sering membahas soal-soal di rumah. Tapi aku perlu buku, Ma.” Baru saja menginjakkan kaki masuk ke rumah. Tia menyambutku dengan berita yang berhasil membuatku bangga. Ia terpilih utusan sekolah untuk lomba matematika antar sekolah. Ya Tuhan, terima kasih karena putriku anak yang pintar.

“Nanti kita beli bukunya, yang penting jaga kesehatan dan rajin belajar agar menang perlombaan,” jawabku merangkul pundaknya sambil melangkah menuju kamar.

“Nggak usah, Ma. Om Andi sudah di telpon Nenek buat belikan buku itu. Om Andi juga janji jika aku menang lomba ini, maka aku dapat Hp baru.” Dengan girangnya Tia berucap seakan sudah menerima hadiah itu.

“Benaran?”

“Iya, Ma. Pokoknya Mama doakan Tia bisa menang lomba.”

“Aamiin, pasti, Nak,” jawabku sambil memeluk Tia.

“Udah pulang, Sar? Oh ya, Ibu masak sayur asam kesukaanmu. Setelah ganti baju, nanti kita makan bersama ya?”

Aku terdiam sesaat melihat Ibu Mertua. Ia tampak berubah dari biasanya. Tak ada kata sindiran. Padahal tadi pagi aku dan Mas Arga telah bertengkar di depannya dan di depan Andi.

“Aku udah makan makan di kantor, Bu. Kebetulan ada yang ulang tahun,” tolakku. Padahal bukan itu alasanya. Aku hanya merasa tak enak, karena hati masih sakit ulah perkataan putranya. Lagian perutku masih kenyang karena minum kopi dan makan gorengan di kantor.

“Kamu masih memikirkan masalah tadi pagi? Ini hanya salah paham, Sarah.” Ternyata Ibu Mertua berusaha mendamaikan aku dengan putranya.

“Bu, dua tahun aku dijadikan tersangka. Dua tahun bukan waktu yang sebentar,” jawabku dengan pelan. Aku berusaha tak mengeluarkan air mata. Dan ini sudah biasa setelah menerima sindiran. Pengalaman membuat kebal, mungin inilah ungkapan yang tepat.

“Tia, bawa tas Mamamu ke kamar. Nenek ingin bicara dengan Mamamu,” kata Ibu Mertua ke Tia.

“Ma, sini tasnya aku bawain.”

Lalu aku memberikan tas yang sedang dijinjing ke Tia. Dan ia berlalu menuju ke kamar.

Kini, aku dan Ibu Mertua sudah duduk di sofa ruang tengah.

“Arga putraku, sementara kamu menantu yang sudah kuanggap sebagai putri kandung. Jika uang masalah utama rumah tangga kalian, Ibu ada solusinya agar kamu seperti dulu tetap di rumah.”

Hah? Apa lagi solusinya. Ini bukan saja masalah uang, tapi masalah mulut putranya yang semena-mena. Akan kuberitahu apa yang Mas Arga ucapkan di kedai kopi, biar Ibu mertua tidak selalu menyalahkan aku.

“Apa maksud, Ibu?” tanyaku. Ia tampak sedih.

“Kontrakkan biar kamu yang olah. Ibu sudah punya uang pensiun, umur pun juga sudah tua. Ibu ingin punya cucu lagi. Berhentilah bekerja. Jika Arga tak mencukupi kebutuhanmu, kamu masih punya sumber kuangan.”

Ya Tuhan, ini bukan hanya sekedar masalah uang. Tapi sikap Mas Arga. Justru dengan masalah ini aku tertampar agar tetap menjadi wanita karir. Aku tahu Ibu Mertua bukan orang jahat. Hanya saja ....

“Tadi aku bertemu Mas Arga di kedai kopi karena mengunjungi sebuah proyek. Ibu tau gimana Mas Arga? Ia dengan bangganya mengatakan jika seisi rumah ini ia yang membiayai. Bahkan bukan hanya itu, orang tuaku dibilang kurang mampu hingga ia juga yang membiayai. Terus aku kerjanya hanya meminta dan menghabiskan lima juta gajinya dua minggu. Jika Ibu di posisiku, apa yang akan Ibu lakukan?”

Tidak ada jawaban. Ibu Mertua hanya terpana dengan muka terkejut tapi berusaha disembunyikan. Sangat terlihat jelas dari gelagatnya karena tiba-tiba ekspresi berbeda. Bukan maksud ingin memperkeruh masalah, tapi aku harus membuka apa saja masalah sebenarnya.

“Bahkan dengan bangganya Mas Arga bicara depan teman-temannya,” sambungku.

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab
Sinopsis
1
Part 1 Dapat Kerja Lagi
2
part 2 Bertanya
3
part 3 Memberanikan Men...
4
part 4 Silahkan Lanjutk...
5
Part 5 Santai Saja, Mas
6
part 6 Meskipun Aku Wan...
7
part 7 Memberitahu Ibu...
8
part 8 Mencoba
no_image no_image
9
part 9 Kwitansi
no_image no_image
10
part 10 Kejanggalan
no_image no_image
11
part 11 Permintaan Suam...
no_image
12
part 12 Diamku Tetap De...
no_image
13
part 13 Pengakuan Penga...
no_image
14
part 14 Kedatangan Suam...
no_image
15
part 15 Menghajar Pak R...
no_image
16
part 16 Suami depan mat...
no_image
17
part 17 Akhirnya Suami...
no_image
18
part 18 Cukup Sudah
no_image
19
part 19 Ajakan Istri Ru...
no_image
20
part 20 Jantungku Teras...
no_image
21
part 21 Dampaknya
no_image
22
part 22 Video Viral
no_image
23
part 23 Followers Banya...
no_image
24
part 24 Berita Duka
no_image
25
part 25 Membalas Dengan...
no_image
26
part 26 Kepulangan Mas...
no_image
27
part 27 Permintaan Ibu...
no_image
28
part 28 Kedatangan Bapa...
no_image
29
part 29 Pindah
no_image
30
part 30 Menikah
no_image
31
part 31 Panggil Mas
no_image
32
part 32 Memulai
no_image
33
part 33 Dua Lamaran
no_image
34
part 34 Mereka Perang K...
no_image
35
part 35 Penolakan
no_image
36
part 36 Pov Andi
no_image
37
part 37 Ke rumah mantan...
no_image
38
part 38 Astaga!
no_image
39
part 39 Viral Lagi
no_image
40
part 40 Sah!
no_image
41
part 41 Pov Arga
no_image
42
Part 42 Aku Sarah, Mas
no_image
43
part 43 Ke Sekolah Tia
no_image
44
part 44 Ditonton Orang
no_image
45
part 45 Ulah Ibu Mantan...
no_image
46
part 46 Ide Gila Ibu Ma...
no_image
47
part 47 Mencari Bukti
no_image
48
part 47 Mencari Bukti
no_image
49
part 48 Bikes!
no_image
50
part 49 Semakin Diperma...
no_image
51
part 50 Penyakit di sek...
no_image
52
part 51 Sensasi Oh Sens...
no_image
53
part 52 Ulah Mantan Sua...
no_image
54
part 53 Kedatangan Kelu...
no_image
55
part 54 Bertemu Ayang R...
no_image
56
part 55 Putriku
no_image
57
part 56 Serba Salah
no_image
58
part 57 Dicerai
no_image
59
part 58 Semakin Tahu
no_image
60
part 59 Kembalinya Arga
no_image
61
part 60 Wanita Asing di...
no_image
62
part 61 Bertemu Mantan
no_image
63
patt 62 Maling Teriak K...
no_image
64
part 63 Permintaan Gila
no_image
65
part 64 Dasar Pelakor!
no_image
66
part 65 Sedikit Keribut...
no_image
67
part 66 Luka Tak Berdar...
no_image
68
part 67 Oh Tidak!
no_image
69
part 68 Menjemput Tia
no_image
70
part 69 Di Rumah Mantan...
no_image
71
part 70 Ancaman Arga
no_image
72
part 71 Pergi Terusir
no_image
73
part 72 Pergi Terusir 2
no_image
74
part 73 Pov Ismail
no_image
75
part 74 Kedatangan Isma...
no_image
76
part 75 Rencana Sambung...
no_image
77
part 76 Mami Datang ke...
no_image
78
part 77 Kedatangan Isma...
no_image
79
part 78 Memenuhi Janji
no_image
80
part 79 Minta Rujuk
no_image
81
part 80 Pov Ismail : Ki...
no_image
82
part 81 Kenyataan yang...
no_image
83
part 82 Melihat Dia
no_image
84
part 83 Dia ke Panti As...
no_image
85
part 84 pov Ismail
no_image
86
part 85 Masih di Panti...
no_image
87
part 86 Demi Tia?
no_image
88
part 87 Uang?
no_image
89
part 88 Rezeki
no_image
90
part 89 Tak Kunjung Ham...
no_image
91
part 90 Mulai Kerja
no_image
92
part 91 Sarah, Aku Ingi...
no_image
93
part 92 Mas Ismail Data...
no_image
94
part 93 Rasa Terhalang...
no_image
95
part 94 Hamil Besar, Te...
no_image
96
part 95 Usaha Kembalika...
no_image
97
part 96 Berita Kehamila...
no_image
98
part 97 Penyesalan Mas...
no_image
99
part 98 Mencari Sarah
no_image
100
part 99 Menemui Tia
no_image
101
part 100 Jika Tak Suka,...
no_image
102
part 101 Bertemu
no_image
103
part 102 Melahirkan
no_image
104
part 103 Terungkap dan...
no_image
105
part 104 Air Mata Ririn...
no_image
106
part 105 Kedatangan Ism...
no_image
107
part 106 Mami Memohon
no_image
108
part 107 Kedatangan Tam...
no_image
109
part 108 Cemburu
no_image
110
part 109 Tindakan Ririn
no_image
111
part 110 Tindakan Ririn...
no_image
112
part 111 Perlawanan
no_image
113
part 112 Surat Dari Mas...
no_image
114
part 113 Di Rumah Sakit
no_image
115
part 114 Kedatangan Kak...
no_image
116
part 115 Sial!
no_image
117
part 116 Ucapan Tia Yan...
no_image
118
part 117 Lebih Baik Beg...
no_image
119
part 118 Ditalak di Pen...
no_image
120
part 119 Tamat
no_image