Part 1 Dapat Kerja Lagi
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS
Part 1

"Mas, uang LKS Tia belum dibayar, besok ia terima rapor dan harus lunas."

"Berapa?" tanya mas Arga sambil memasang sepatu.

"Sembilan puluh enam ribu, Mas. Ditambah uang seragam lima ratus ribu."

"Kok banyak kali? Bukankah uang seragam sudah dibayar waktu itu?" Alisnya bertaut menatapku.

"Tapi itu cuma empat ratus ribu, Mas. Mana cukup. Totalnya sembilan ratus ribu."

"Waduh! Aku nggak punya uang sebanyak itu. Kamu kan tau gajiku kecil. Makanya kamu bantuin aku cari uang, ini malah duduk di rumah, buat apa sarjana ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga."

Ini perkataan yang sering aku dengar dari mulut mas Arga. Semenjak aku berhenti kerja karena keguguran. Padahal anak kami hanya seorang dan sekarang baru kelas satu SMP. Tujuanku agar bisa punya keturunan lagi, dan ini juga keinginan ibu mertua. Namun kenyataanya dengan berhenti kerja, perekonomianku susah. Dan sampai sekarang juga tak kunjung hamil, padahal aku tidak KB. 

Dulu saat memutuskan berhenti kerja, itu karena ucapan ibu mertua. Ia janji akan memberikan biaya dapur tiga juta perbulan. Aku percaya karena ia terima pensiunan perbulannya, ditambah ada tiga petak rumah kontrakkan di samping rumah ini. Namun hingga sekarang, ucapan ibu mertua tidak terbukti. 

"Aku juga udah cari kerja, bahkan sudah beberapa kali tes, tapi belum juga ada hasilnya, Mas," lirihku menahan hati.

"Makanya jangan berhenti kerja. Ini malah sok banyak duit kayak orang kaya aja. Lihat istri teman-temanku banyak jadi wanita karir, bahkan sudah punya rumah dan mobil." 

"Tapi ini juga keinginan Ibu, Mas."

"Emang yang biayain hidupmu Ibuku? Mikir pakek otak, bukan pake dengkul." Lalu ia berlalu keluar kamar.

"Jangan menangis, Sarah. Kamu udah biasa mendengarnya," bathinku mensugesti diri agar tidak meneteskan air mata.

Aku sudah tak punya tabungan lagi. Dulu sebagian uang jamsostek hasilku bekerja sudah terpakai buat membangun kamar baru di rumah ini. Tak mungkin Tia masih tidur denganku dan mas Arga. Lagian biaya keseharian hanya dari uang dua juta yang diberikan mas Arga. Padahal di rumah ini ada ibu mertua dan adik iparku yang sudah bekerja. 

Pernah aku mengeluh biaya dapur, ibu mertua mengabaikannya. Bahkan ia bicara sumbing dengan mengatakan jika aku istri yang tidak bisa berhemat. Menjawab, tetap saja aku yang disalahkan. Bahkan Andi--adik iparku tak segan-segan berdebat seperti mulut perempu*n. Ya, Andi lelaki kem*yu.

Aku keluar kamar, tapi tak melihat mas Arga. Terlihat motor masih ada di teras karena pintu terbuka lebar. Lalu aku ke ruang tengah ingin memastikan keberadaanya. Bagaimanapun juga, aku harus mencium punggung tangannya sebelum ia berangkat kerja.

"Itulah, Bu. Sarah tak bisa berhemat. Padahal gajiku sudah sepenuhnya ia yang pegang."

Deg!

Langkahku terhenti saat melewati pintu kamar ibu mertua. Terdengar suara mas Arga mengeluh tentang diriku. 

"Kok Sarah gitu? Bukankah Ibu sudah kasih tiga juta tiap bulan agar sebagian gajimu bisa untuk kebutuhan lain. Toh yang bayar listrik dan air, Andi kok," kata ibu mertua.

Darahku berdesir mendengar perkataan ibu mertua. Aku tak pernah menerima uang tiga juta darinya, apalagi setiap bulan. Kenapa ia bicara dengan mas Arga seolah aku sudah sering menerimanya. Bahkan aku hanya menerima uang dua juta setiap bulan dari gaji mas Arga. Dan yang aku tahu gaji suamiku itu hanya dua juta lima ratus ribu perbulan.

"Itulah, Bu. Aku tu capek dengar keluhannya. Ini uang seragam sekolah Tia masih utang, belum lagi uang LKS."

"Ya udah, ini satu juta, cepat bayarin, jangan sampai istrimu malah makek untuk yang lain. Gimanapun juga pendidikan anakmu penting."

Aku segera berlari ke kamar sebelum mas Arga tahu aku menguping. Terduduk di tepi ranjang, dada ini terasa sesak. Kenapa mereka bicara seolah aku yang menghabiskan uang buat berfoya-foya. Apa ibu mertua tak lihat keseharianku hingga ucapan itu tak ragu dilontarkan. Dan mas Arga? Kenapa ia mengeluh ke ibunya seolah aku istri tak becus mengolah keuangan. Bukankah ia tahu berapa banyak uang yang aku pegang.

"Sarah, ini uang buat sekolah Tia. Itu aku lebihin sedikit agar bisa beli ayam buat masak." Tiba-tiba mas Arga masuk kamar, lalu memberikan uang padaku.

"Ya, Mas," jawabku menerima uang itu.

"Aku berangkat kerja dulu, hari ini aku pulang larut karna harus lembur. Kamu nggak usah tunggu karna aku bawa kunci cadangan."

Setelah mencium punggung tangan mas Arga, ia berlalu pergi dengan motor. Motor sport itu hasil dari keringatku dulu bekerja. Sementara motor bebek milik mas Arga sudah dijual dan dibelikan perhiasan. Namun perhiasan itu akhirnya habis buat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kuhitung uang yang diberikan mas Arga. Semua uang lembaran lima puluh ribu. Tapi, hanya berjumlah delapan ratus ribu. Bukankah tadi aku dengar ibu mertua memberi uang satu juta?

Aku kembali ke kamar. Memikirkan tentang komunikasi mas Arga dengan ibunya. Dan yang kutangkap, ada sebuah kebohongan menjadikanku kambing hitam. Tapi siapa yang berbohong? Ibu mertua atau suamiku? Tapi apa tujuannya? Bukankah aku menantu di rumah ini.

Tiba-tiba lamunanku terhenti mendengar ponsel berdering. Kulihat layar ponsel, nomor yang pernah menghubungiku beberapa kali. Segera aku terima.

"Halo," ucapku di ponsel.

Alhamdulillah, ternyata ini panggilan keempat. Panggilan buat wawancara akhir. Ini perusahaan besar yang pernah bekerja sama dengan perusahaanku dulu bekerja. Bahkan aku kenal pimpinannya karena sering menghubunginya untuk masalah proyek. Tadinya aku tak yakin karena banyak saingan yang lebih muda. Tepatnya gadis-gadis baru tamat sarjana. 

"Mau ke mana, Sar?" tanya ibu mertua. Mungkin melihat aku sudah rapi, dan sedang memasang sepatu hak tinggi yang biasa kupakai dulunya waktu kerja.

"Aku mau pergi tes kerja, Bu," jawabku.

"Kamu tu udah dapat senang mau-maunya cari uang di luar. Sebaiknya minum rebusan kacang ijo biar rahimmu subur. Berapa umurmu sekarang? Nanti nggak bisa punya anak lagi loh."

Ibu mertua tak suka aku bekerja. Tapi suamiku justru ingin aku bekerja. Dua pendapat bertentangan namun tetap saja menyudutkanku. Aku bisa maklum kenapa ibu mertua ingin aku hamil lagi. Andi tak pernah bawa perempuan ke rumah. Padahal ia sudah mapan, kerja PNS. Mungkinkah ada pengaruh dengan sikap kemayunya? Entahlah.

***

"Alhamdulillah, benar aku diterima, Pak?"

"Iya, aku harap kamu tak lupa cara menangani proyek. Dan selama kita kerja sama dulu, sudah cukup aku tau kinerjamu, Sarah," jawab pak Ismail terdengar santai. Kami sering bercanda dulunya hingga suasana tidak kaku. Bahkan aku juga kenal baik dengan istrinya.

Aku meneteskan air mata. Tak menyangka jika kesempatan itu masih ada. Kini aku bisa kerja seperti dulu dengan jabatan manajer.  Alhamdulillahirabil'alamiin.

"Mas Arga, aku sudah dapatkan kerja, akan kuperlihatkan seperti apa seorang istri, wanita karir sebenarnya. Terima kasih memintaku agar bekerja lagi," bathinku.

---
Jangan lupa pencet tombol BERLANGGANAN
makasišŸ¤—
Bab
Sinopsis
1
Part 1 Dapat Kerja Lagi
2
part 2 Bertanya
3
part 3 Memberanikan Men...
4
part 4 Silahkan Lanjutk...
5
Part 5 Santai Saja, Mas
6
part 6 Meskipun Aku Wan...
7
part 7 Memberitahu Ibu...
8
part 8 Mencoba
no_image no_image
9
part 9 Kwitansi
no_image no_image
10
part 10 Kejanggalan
no_image no_image
11
part 11 Permintaan Suam...
no_image
12
part 12 Diamku Tetap De...
no_image
13
part 13 Pengakuan Penga...
no_image
14
part 14 Kedatangan Suam...
no_image
15
part 15 Menghajar Pak R...
no_image
16
part 16 Suami depan mat...
no_image
17
part 17 Akhirnya Suami...
no_image
18
part 18 Cukup Sudah
no_image
19
part 19 Ajakan Istri Ru...
no_image
20
part 20 Jantungku Teras...
no_image
21
part 21 Dampaknya
no_image
22
part 22 Video Viral
no_image
23
part 23 Followers Banya...
no_image
24
part 24 Berita Duka
no_image
25
part 25 Membalas Dengan...
no_image
26
part 26 Kepulangan Mas...
no_image
27
part 27 Permintaan Ibu...
no_image
28
part 28 Kedatangan Bapa...
no_image
29
part 29 Pindah
no_image
30
part 30 Menikah
no_image
31
part 31 Panggil Mas
no_image
32
part 32 Memulai
no_image
33
part 33 Dua Lamaran
no_image
34
part 34 Mereka Perang K...
no_image
35
part 35 Penolakan
no_image
36
part 36 Pov Andi
no_image
37
part 37 Ke rumah mantan...
no_image
38
part 38 Astaga!
no_image
39
part 39 Viral Lagi
no_image
40
part 40 Sah!
no_image
41
part 41 Pov Arga
no_image
42
Part 42 Aku Sarah, Mas
no_image
43
part 43 Ke Sekolah Tia
no_image
44
part 44 Ditonton Orang
no_image
45
part 45 Ulah Ibu Mantan...
no_image
46
part 46 Ide Gila Ibu Ma...
no_image
47
part 47 Mencari Bukti
no_image
48
part 47 Mencari Bukti
no_image
49
part 48 Bikes!
no_image
50
part 49 Semakin Diperma...
no_image
51
part 50 Penyakit di sek...
no_image
52
part 51 Sensasi Oh Sens...
no_image
53
part 52 Ulah Mantan Sua...
no_image
54
part 53 Kedatangan Kelu...
no_image
55
part 54 Bertemu Ayang R...
no_image
56
part 55 Putriku
no_image
57
part 56 Serba Salah
no_image
58
part 57 Dicerai
no_image
59
part 58 Semakin Tahu
no_image
60
part 59 Kembalinya Arga
no_image
61
part 60 Wanita Asing di...
no_image
62
part 61 Bertemu Mantan
no_image
63
patt 62 Maling Teriak K...
no_image
64
part 63 Permintaan Gila
no_image
65
part 64 Dasar Pelakor!
no_image
66
part 65 Sedikit Keribut...
no_image
67
part 66 Luka Tak Berdar...
no_image
68
part 67 Oh Tidak!
no_image
69
part 68 Menjemput Tia
no_image
70
part 69 Di Rumah Mantan...
no_image
71
part 70 Ancaman Arga
no_image
72
part 71 Pergi Terusir
no_image
73
part 72 Pergi Terusir 2
no_image
74
part 73 Pov Ismail
no_image
75
part 74 Kedatangan Isma...
no_image
76
part 75 Rencana Sambung...
no_image
77
part 76 Mami Datang ke...
no_image
78
part 77 Kedatangan Isma...
no_image
79
part 78 Memenuhi Janji
no_image
80
part 79 Minta Rujuk
no_image
81
part 80 Pov Ismail : Ki...
no_image
82
part 81 Kenyataan yang...
no_image
83
part 82 Melihat Dia
no_image
84
part 83 Dia ke Panti As...
no_image
85
part 84 pov Ismail
no_image
86
part 85 Masih di Panti...
no_image
87
part 86 Demi Tia?
no_image
88
part 87 Uang?
no_image
89
part 88 Rezeki
no_image
90
part 89 Tak Kunjung Ham...
no_image
91
part 90 Mulai Kerja
no_image
92
part 91 Sarah, Aku Ingi...
no_image
93
part 92 Mas Ismail Data...
no_image
94
part 93 Rasa Terhalang...
no_image
95
part 94 Hamil Besar, Te...
no_image
96
part 95 Usaha Kembalika...
no_image
97
part 96 Berita Kehamila...
no_image
98
part 97 Penyesalan Mas...
no_image
99
part 98 Mencari Sarah
no_image
100
part 99 Menemui Tia
no_image
101
part 100 Jika Tak Suka,...
no_image
102
part 101 Bertemu
no_image
103
part 102 Melahirkan
no_image
104
part 103 Terungkap dan...
no_image
105
part 104 Air Mata Ririn...
no_image
106
part 105 Kedatangan Ism...
no_image
107
part 106 Mami Memohon
no_image
108
part 107 Kedatangan Tam...
no_image
109
part 108 Cemburu
no_image
110
part 109 Tindakan Ririn
no_image
111
part 110 Tindakan Ririn...
no_image
112
part 111 Perlawanan
no_image
113
part 112 Surat Dari Mas...
no_image
114
part 113 Di Rumah Sakit
no_image
115
part 114 Kedatangan Kak...
no_image
116
part 115 Sial!
no_image
117
part 116 Ucapan Tia Yan...
no_image
118
part 117 Lebih Baik Beg...
no_image
119
part 118 Ditalak di Pen...
no_image
120
part 119 Tamat
no_image