part 6 Meskipun Aku Wanita Bukan Berarti Tak Bisa
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS

Part 6 ( Meskipun Aku Wanita Bukan Berarti Tak Bisa )
---
Sebenarnya komunikasi itu penting dalam hubungan suami istri. Bukan masalah anak atau keluarga saja, tapi juga tentang dunia kerja suami atau sebaliknya. Tapi yang aku alami tidak seperti itu. Bahkan hari pertamaku kerja, Mas Arga tak tahu posisiku. Yang ada dipikirannya bisa kredit mobil dari gajiku.

Terus, ini masalah menghargai. Pak Rudi seperti kurang menghargaiku setelah tahu aku istri Mas Arga. Apa karena Mas Arga bawahannya? Tapi ini hanya perusahaan swasta. Toh belum tentu bekerja lama. Bisa jadi dunia berputar, dan yang dulu bawahan bisa jadi atasan. Kecuali perusahasn itu milik sendiri. Jika status hanya pegawai, tidak usah berlagak sok. Bukan berarti tidak tegas. Asal sesuai SOP perusahaan.

"Jangan bercanda, Sar. Ini posisi buat pria loh." Bahkan setelah aku jujur, Mas Arga tidak juga percaya.

"Bentar, aku telpon Pak Ismail dulu. Nggak mungkin deh seorang wanita." Pak Rudi mulai fokus ke ponselnya.

Jadi ia juga masih tidak percaya? Masih berlagak sok dengan menghubungi pak Ismail. Emangnya aku tak pantas menduduki jabatan itu. Atau karena ia mendengar ucapan Mas Arga hingga ikut tak percaya. Logikanya, jika orang luar dengar komunikasi kami mungking tidak percaya. Masa suami sindiri tidak tau jabatan istri di kantor. Tapi tak mungkin juga dijabarkan semuanya.

"Mas, apa kamu lupa jika aku dulu juga posisi manager. Masa kamu meremehkan aku?" Lalu kupalingkan pandangan ke pak Rudi. "Pak, apakah ada masalah jika manager proyek adalah seorang wanita?"

"Bukan gitu, Sar. Kamu udah dua tahun nganggur. Lagian posisi itu tak sembarangan orang. Apalagi nggak mungkin semudah itu dapat posisi manager meskipun kamu berpengalaman."

Sebenarnya Mas Arga berusaha ingkar atau memang tidak percaya? Aduh, kenapa justru suami sendiri meragukan kemampuanku. Apa selama ini ia seperti itu. Seharusnya ia sadar kenapa aku bisa beli motor sport dengan cash. Itu bonus dari proyek yang aku tangani dulunya.

"Jangan banyak bicara yang merendahkan istri. Malu didengar orang." Aku masih berusaha bicara baik, meskipun hati ini sakit.

"Halo Pak Ismail, apa kabarnya?" Pak Rudi mulai bicara di ponsel dengan mengaktifkan speaker ponsel, hingga aku bisa mendengar.

"Halo Pak Rudi, gimana? Udah bertemu Sarah? Tadi saya sudah utus ke sana." Tanpa ditanya, pak Ismail sudah memberitahu keberadaanku. 

Akan tetapi, Mas Arga kenapa terpana melihatku? Entah apa yang ia pikirkan. Yang jelas aku harus buat mereka menghargaiku. Wanita bukan berarti tidak bisa di posisi ini dong.

"Maaf, Pak. Jadi Bu Sarah Manager baru PT Bajatama?"

"Iya, Pak Rudi. Mulai hari ini, tapi jangan khawatir, Sarah udah biasa menangani proyek. Makanya saya minta ia ke sana meskipun hari pertama kerja." 

"Oooh, iya, Pak. Maaf mengganggu. Bu Sarah sudah di sini. Saya kira Bapak yang ingin ke sini," jawab pak Rudi sambil melirikku.

"Istri saya sakit, Pak. Makanya Sarah yang ke sana."

"Baiklah, Pak. Maaf menganggu, semoga istrinya cepat sembuh."

"Nggak apa-apa, Pak Rudi. Terima kasih."

Pembicaraan mereka di ponsel sudah berakhir. Pak Rudi memasukkan ponselnya ke saku celana. Lalu ia menghela napas panjang sambil mengarahkan pandangan padaku.

"Bu Sarah, maaf, saya tidak tau jika Bu Sarah manager baru PT Bajatama."

"Saya sudah beritahu sebelumnya, tapi Bapak tidak percaya. Lagian apa salah jika saya menduduki posisi itu?" Kutantang mata pak Rudi. Ya, aku kesal tapi tetap berusaha tenang.

"Sudahlah, Sar. Pak Rudi atasanku. Nggak usah diperpanjang masalahnya," tegur Mas Arga. Seperti itulah ia, jika sudah terbukti tidak benar, dengan gampangnya mengabaikan. Padahal akulah korbannya. Namun tak selamanya aku mengalah.

"Pak Arga, dari pihak PT Bajatama, saya kecewa. Jangan mentang-mentang pengawas lapangan kami sedang sakit, hingga Bapak mengabaikan tanggung jawab.  Sesuai MOU, kita sudah sepakat waktu pengerjaan proyek ini. Mungkin tidak ada tenggang waktu." Kali ini aku berucap tegas. Maafkan aku ya, Tuhan. Sebenarnya ada rasa berdosa karena Mas Arga suamiku.

"Kamu kok ngomong gitu sih, Sar?" Alis Mas Arga bertaut seolah tak suka.

"Oh ya, Pak Rudi, semoga saja kerjasama ini bisa berlanjut. Ibarat sebuah hubungan, jika tak nyaman buat apa diteruskan." Sebenarnya ingin menghujat dia, tapi aku tak mau bersikap yang membuat diriku rendah karena mengeluarkan kata-kata kasar.

"Jangan bilang gitu, Bu Sarah. Kami sudah sering kerjasasama dengan Pak Ismail. Jangan karena masalah kita hingga merugikan perusahaan."

Enak saja dengan mengatakan 'masalah kita'. Ia yang mulai kenapa seolah aku disuruh mengalah. Untuk terjun kelapangan, aku tak boleh tunduk atau lemah. Ini dunia kerja. Yang lemah bisa dimakan. Yang dibutuhkan skil dan tata cara menghadapi bermacam sifat orang. Jika tak salah jangan takut. Biar mereka lelaki berotot, tapi aku wanita punya otak untuk menghadapi.

"Sebaiknya saya lihat kondisi lapangan saja." Aku berlalu dari hadapan mereka.

Akan tetapi, Mas Arga dan pak Rudi mengikutiku dari belakang. Sekilas kupalingkan, terlihat mereka berbisik. Entah membicarakan apa. Aku tetap mengelilingi lokasi sambil mencatat di pikiran, apa yang dirasa kurang atau tidak sesuai.

"Sarah." Mas Arga mendekatiku. 

"Ya," jawabku memalingkan pandangan ke belakang. Terlihat pak Rudi berdiri tak jauh dari kami.

"Pak Rudi ingin bicara. Ayok," ajak Mas Arga sambil menarik tanganku.

"Tunggu!" Aku menarik tanganku hingga terlepas dari Mas Arga. "Apa begini cara kalian bekerjasama?" Sengaja suaraku dikeraskan agar ia mendengar. Bukan saja itu, para pekerja lapangan juga memperhatikan meskipun sedang bekerja.

Enak saja aku yang harus menuruti dia. Toh ia yang ada perlu.

Aku merasa pak Rudi menggunakan jabatannya menekan Mas Arga. Jangan kira aku tunduk dengan manusia seperti pak Rudi. Coba kalau ia bersikap ramah, mungkin kedatanganku tidak setegang ini.

"Biar aku ke sana, Ga," ucap pak Rudi, lalu ia melangkah mendekat.

Sudah jelas tak ramah masih juga berlagak sok. Dan Mas Arga, astaga, ia tak segarang saat berada di rumah.

"Sarah, Arga sudah seperti adikku meskipun ia bawahanku. Bahkan ia teman paling dekat daripada yang lain. Jika proyek ini tak ada masalah, kerjaan Arga juga yang bakalan lancar. Bukankah ia suamimu?"

Wow, sekarang ia bersikap sok akrab dengan menyebut namaku tanpa disertai 'bu' seperti sebelumnya. Cepat sekali ia berubah baik. Pasti jabatanku membuatnya begini. 

"Sebelumnya saya tak tahu kalian berteman. Bahkan saya tak pernah melihat Bapak datang ke rumah. Untuk masalah proyek tidak ada hubungannya dengan status kami suami istri. Aku hanya bekerja pada Pak Ismail." 

"Sarah! Kamu kenapa begini sih?" Mas Arga marah. Kelihatan matanya melotot hingga pak Rudi tersenyum sinis.

"Ini bukan rumah, jangan permalukan diri," jawabku tetap tenang. Hingga Mas Arga terdiam dengan muka merah.

"Oh ya, Pak Rudi. Pondasi itu harus lebih dalam. Ini bangunan bertingkat. Takutnya tidak kuat jika gempa." Aku menunjuk pondasi yang baru semeter di semen.

"Itu sudah cukup kuat, Bu. Lagian jika runtuh kan kita untung ada proyek lagi," jawabnya nyeleneh. Astaga, darahku makin naik menghadapinya.

"Bukan saja kerugian materi. Bisa jadi nyawa penghuninya. Jika menanamkan yang baik akan ada hasil baik. Begitulah sebaliknya."

"Santai aja, Bu Sarah. Ini hanya bercanda. Lagian itu sudah semeter disemen. Masa bongkar lagi."

"Lebih baik bongkar satu meter daripada satu ruangan yang sudah jadi. Ini proyek, kepercayaan klien itu penting. Saya rasa tak perlu mengajari Bapak karena mungkin ini bukan pengalaman pertama." Lalu aku melangkah ingin meninggalkan lokasi ini. Terlihat muka pak Rudi merah dengan keterdiamannya.

"Oh ya, Pak Rudi. Jika tak suka dengan kerjasama ini, silahkan hubungi Pak Ismail," sambungku. Ia tetap dengan keterdiamannya.

Aku melangkah menuju mobil parkir. Sebenarnya tak ingin cari masalah. Tapi mereka mulai duluan. Jika aku tunduk dengan gampang akan diinjak. Ini dunia lapangan. Tak berpandai-pandai akan dimakan.

"Sarah! Sarah!" Terdengar suara Mas Arga dari arah belakang. Pintu mobil tak jadi dibuka. Lalu aku berbalik badan.

"Mau kamu apa sih? Mau aku dipecat?" Suaranya lantang hingga urat lehernya timbul.

"Seharusnya kamu membela jika ada orang lain tak menghargaiku. Lagian ia pantas digituin kok," jawabku.

"Kamu ingin aku kehilangan pekerjaan karena sikapmu itu?"

"Lagian jika kamu kerja belum tentu gajimu untukku, Mas. Toh Ibumu yang kasih uang." 

"Kamu tu sadar diri jadi istri! Aku suamimu!"

"Oh iya, aku lupa. Kamu kan kerja buat kasih makan anak istri, ibu dan adikmu berserta orang tuaku. Wow, kamu suami idaman, Mas," jawabku sambil tersenyum cemooh.

Bersambung ....


















Bab
Sinopsis
1
Part 1 Dapat Kerja Lagi
2
part 2 Bertanya
3
part 3 Memberanikan Men...
4
part 4 Silahkan Lanjutk...
5
Part 5 Santai Saja, Mas
6
part 6 Meskipun Aku Wan...
7
part 7 Memberitahu Ibu...
8
part 8 Mencoba
no_image no_image
9
part 9 Kwitansi
no_image no_image
10
part 10 Kejanggalan
no_image no_image
11
part 11 Permintaan Suam...
no_image
12
part 12 Diamku Tetap De...
no_image
13
part 13 Pengakuan Penga...
no_image
14
part 14 Kedatangan Suam...
no_image
15
part 15 Menghajar Pak R...
no_image
16
part 16 Suami depan mat...
no_image
17
part 17 Akhirnya Suami...
no_image
18
part 18 Cukup Sudah
no_image
19
part 19 Ajakan Istri Ru...
no_image
20
part 20 Jantungku Teras...
no_image
21
part 21 Dampaknya
no_image
22
part 22 Video Viral
no_image
23
part 23 Followers Banya...
no_image
24
part 24 Berita Duka
no_image
25
part 25 Membalas Dengan...
no_image
26
part 26 Kepulangan Mas...
no_image
27
part 27 Permintaan Ibu...
no_image
28
part 28 Kedatangan Bapa...
no_image
29
part 29 Pindah
no_image
30
part 30 Menikah
no_image
31
part 31 Panggil Mas
no_image
32
part 32 Memulai
no_image
33
part 33 Dua Lamaran
no_image
34
part 34 Mereka Perang K...
no_image
35
part 35 Penolakan
no_image
36
part 36 Pov Andi
no_image
37
part 37 Ke rumah mantan...
no_image
38
part 38 Astaga!
no_image
39
part 39 Viral Lagi
no_image
40
part 40 Sah!
no_image
41
part 41 Pov Arga
no_image
42
Part 42 Aku Sarah, Mas
no_image
43
part 43 Ke Sekolah Tia
no_image
44
part 44 Ditonton Orang
no_image
45
part 45 Ulah Ibu Mantan...
no_image
46
part 46 Ide Gila Ibu Ma...
no_image
47
part 47 Mencari Bukti
no_image
48
part 47 Mencari Bukti
no_image
49
part 48 Bikes!
no_image
50
part 49 Semakin Diperma...
no_image
51
part 50 Penyakit di sek...
no_image
52
part 51 Sensasi Oh Sens...
no_image
53
part 52 Ulah Mantan Sua...
no_image
54
part 53 Kedatangan Kelu...
no_image
55
part 54 Bertemu Ayang R...
no_image
56
part 55 Putriku
no_image
57
part 56 Serba Salah
no_image
58
part 57 Dicerai
no_image
59
part 58 Semakin Tahu
no_image
60
part 59 Kembalinya Arga
no_image
61
part 60 Wanita Asing di...
no_image
62
part 61 Bertemu Mantan
no_image
63
patt 62 Maling Teriak K...
no_image
64
part 63 Permintaan Gila
no_image
65
part 64 Dasar Pelakor!
no_image
66
part 65 Sedikit Keribut...
no_image
67
part 66 Luka Tak Berdar...
no_image
68
part 67 Oh Tidak!
no_image
69
part 68 Menjemput Tia
no_image
70
part 69 Di Rumah Mantan...
no_image
71
part 70 Ancaman Arga
no_image
72
part 71 Pergi Terusir
no_image
73
part 72 Pergi Terusir 2
no_image
74
part 73 Pov Ismail
no_image
75
part 74 Kedatangan Isma...
no_image
76
part 75 Rencana Sambung...
no_image
77
part 76 Mami Datang ke...
no_image
78
part 77 Kedatangan Isma...
no_image
79
part 78 Memenuhi Janji
no_image
80
part 79 Minta Rujuk
no_image
81
part 80 Pov Ismail : Ki...
no_image
82
part 81 Kenyataan yang...
no_image
83
part 82 Melihat Dia
no_image
84
part 83 Dia ke Panti As...
no_image
85
part 84 pov Ismail
no_image
86
part 85 Masih di Panti...
no_image
87
part 86 Demi Tia?
no_image
88
part 87 Uang?
no_image
89
part 88 Rezeki
no_image
90
part 89 Tak Kunjung Ham...
no_image
91
part 90 Mulai Kerja
no_image
92
part 91 Sarah, Aku Ingi...
no_image
93
part 92 Mas Ismail Data...
no_image
94
part 93 Rasa Terhalang...
no_image
95
part 94 Hamil Besar, Te...
no_image
96
part 95 Usaha Kembalika...
no_image
97
part 96 Berita Kehamila...
no_image
98
part 97 Penyesalan Mas...
no_image
99
part 98 Mencari Sarah
no_image
100
part 99 Menemui Tia
no_image
101
part 100 Jika Tak Suka,...
no_image
102
part 101 Bertemu
no_image
103
part 102 Melahirkan
no_image
104
part 103 Terungkap dan...
no_image
105
part 104 Air Mata Ririn...
no_image
106
part 105 Kedatangan Ism...
no_image
107
part 106 Mami Memohon
no_image
108
part 107 Kedatangan Tam...
no_image
109
part 108 Cemburu
no_image
110
part 109 Tindakan Ririn
no_image
111
part 110 Tindakan Ririn...
no_image
112
part 111 Perlawanan
no_image
113
part 112 Surat Dari Mas...
no_image
114
part 113 Di Rumah Sakit
no_image
115
part 114 Kedatangan Kak...
no_image
116
part 115 Sial!
no_image
117
part 116 Ucapan Tia Yan...
no_image
118
part 117 Lebih Baik Beg...
no_image
119
part 118 Ditalak di Pen...
no_image
120
part 119 Tamat
no_image