part 2 Bertanya

TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS

Part 2 (Bertanya)

Mungkin ini namanya sudah jalan takdir agar aku menjadi wanita karir. Tuntutan dari suami agar aku membantunya mencari uang akan aku lakukan. Tapi tentu bukan uang untuknya. Uang istri ya punya istri dong. Akan kutampar ucapan suami dengan karirku. Ia yang meminta, dengan senang hati aku beri.

Ada rasa sakit bersemayam di hati. Aku seorang istri diminta melakukan kewajiban yang seharusnya kewajiban penuh seorang suami. Sebenarnya bukan karena aku keberatan bekerja, tapi cara mas Arga yang membuatku merasa tertampar. Ucapannya dengan nada merah seolah aku harus wajib mencari uang. Ada rasa sesak dan ada rasa bebas.

“Apa Arga tau kamu keluar hari ini, Sar?” tanya ibu mertua.

“Belum tau, Bu. Tapi aku yakin Mas Arga pasti mengizinkan karena ini juga keinginannya,” jawabku sambil melepaskan sepatu. Aku ingin memancing ibu mertua tentang obrolannya dengan mas Arga yang terdengar tadi pagi. Tapi tak semudah itu. Ibu mertua pasti lebih percaya putranya ketimbang aku yang hanya menantu. Pemikiran ini timbul setelah melihat beberapa kejadian. Mas Arga sangat dekat dengan ibunya, bahkan lebih dekat daripada ibu mertua dengan Andi.

“Semoga saja kamu senang dengan itu. Ibu berharap kamu tetap di rumah dan secepatnya hamil.”

Aku diam tanpa menjawab. Ibu mertua sangat menginginkan aku hamil lagi. Tapi semenjak keguguran dua kali, entah kenapa aku tak kunjung hamil. Namun sekarang, justru aku tak ingin hamil. Pekerjaan baru harus lebih fokus agar kinerjaku bagus. Di usiaku sekarang sangat sulit cari kerja. Alhamdulillah aku masih diberi kesemptan.

“Ingat loh, Sar. Semakin bertambah usia semakin sulit punya anak. Apalagi kamu udah dua kali keguguran.” Lalu ibu berlalu ke teras depan. Biasa, jam segini menunggu Tia pulang sekolah.

“Assalamu’alaikum.”

Tak lama kemudian, terdengar suara Tia mengucapkan salam. Ia selalu tepat waktu pulang sekolah meskipun sekolahnya hanya berjarak tujuh rumah dari sini. Jika aku kerja tak perlu khawatir, ibu mertua bisa menjaga Tia. Bahkan sepuluh menit saja Tia belum pulang, ia yang pertama gelisah. Namanya juga cucu satu-satunya.

“Cucu Nenek sudah pulang. Gimana belajarnya? Ada yang nggak ngerti?” Suara ibu mertua terdengar senang menyambut putriku. Dan itu sudah biasa terdengar. Bahkan aku jarang mengisi kuota internet Tia karena ibu mertua sudah membelikannya.

“Ada, Nek. Tapi ntar aja karna laper,” jawab Tia manja.

Aku segera ingin ke dapur setelah mengganti pakaian. Namun saat melewati meja makan, langkahku terhenti karena ingin melihat isi dalam tudung saji. Dan benar firasatku, ibu mertua sudah masak. Ada rasa tak enak tapi ditepis setelah mengingat ucapan mas Aga.

“Nggak usah repot, Ibu udah masak. Makan yang banyak agar kamu sehat,” tukas ibu sambil berlalu ke dapur.

Kuhela napas panjang. Rasanya ingin berkata jika aku kerja karena kondisi keuangan. Tepatnya kondisi keuanganku. Sebaiknya kucoba mulai memancing ibu mertua dengan ucapannya yang terdengar tadi pagi.

“Aku butuh uang, Bu. Lagian nggak enak dengar Mas Arga selalu marah jika aku minta uang.”

Langkah ibu mertua terhenti sebelum melewati pintu dapur. “Makanya berhemat. Lagian anak cuma satu tapi kebutuhanmu kayak punya anak tiga aja.”

Tuh kan, aku serba salah berucap. Tetap saja aku yang disalahkan. Di sini serba mahal. Tidak sama di kampungku jika masak sayur tinggal ambil di kebun. Haruskah kujabarkan semuanya? Lagian ia pasti tahu kok.

“Lagian Mas Arga minta aku kerja, Bu,” lirihku.

“Itu karena kamu selalu boros hingga pengeluaran banyak. coba kamu pandai mengatur keuangan, nggak bakalan Arga nyuruh cari kerja.”

Uuuh! Capek berdebat. Entah apa yang diucapkan mas Arga hingga ibu mertua memandang negatif padaku. Lama-lama aku capek tinggal di sini. Semua posisiku serba salah.

“Ma, besok aku terima rapor pertengahan semester. Yang jemput harus orang tua,” kata Tia sambil menuangkan dasi ke piring.

“Jangan katakan uang LKS dan uang seragam Tia terpakai, Sar. Pendidikan itu penting.”

Astaga, sejak kapan aku memakai uang keperluan sekolah Tia buat hal yang tak penting. Justru selama ini aku berusaha menghemat agar bisa menyisihkan uang. Namun tetap saja tak bisa. Mas Arga selalu menuntut jika di meja makan harus tersedia ayam goreng. Saat aku tak sanggup beli ayam, ia langsung marah hingga akhirnya ia makan di luar.

Aku putuskan diam lalu berlalu masuk ke kamar.

***

Sudah sore. Aku tak perlu menunggu mas Arga pulang dan menyiapkan secangkir kopi. Katanya malam ini pulang larut hingga tak perlu menunggu. Sambil minum teh hangat, aku duduk di sofa depan televisi.

“Mbak Sarah tadi ke mana? Aku lihat Mbak di tepi jalan menyetop angkot,” tanya Andi dengan suara lembut.

“Tes kerja,” jawabku.

“Ooh, baguslah biar bisa cari duit sendiri. Kasihan Mas Arga selalu ngemis karena tuntutan Mbak Sarah.”

“Hah?” Tentu aku terkejut dengan ucapan Andi.

“Ngemis? Maksudmu apa, Ndi?”

“Udah deh, jangan sok nggak tau. Tapi nggak apa-apalah, lagian Mbak Sarah kakak iparku.”

“Aku nggak ngerti maksudmu, Ndi. Kenapa Mas Arga ngemis?”

“Bukan ngemis di lampu merah, Mbak. Itu loh, minjam uang tapi nggak pernah diganti. Lagian apa aja sih pengeluaran Mbak? Heran deh, setiap hari nggak ada yang berubah. Iya kalo ke salon keluarin biaya, tapi ini nggak kayaknya.”

“Mas Arga pinjam uang kamu buat apa? Kapan?” Rasa penasaranku makin menjadi.

“Kemaren, katanya buat Ibu Mbak di kampung. Aku sih nggak masalah bantu Ibu Mbak di kampung, yaaa, anggap aja sedekah.”

Deg! Rasanya darahku naik ke ubun-ubun. Ucapan Andi menusuk. Lagian sejak kapan ibuku minta bantuan mas Arga? Apa lagi yang tidak kuketahui. Aku yakin tak mungkin ibu minta uang. Terus uang itu buat apa oleh mas Arga? Aku harus menyelidiki. Entah kenapa firasatku mengatakan jika Andi jujur.

Mata tak mau dipejam. Perkataan ibu mertua dan Andi terniang tentang masalah uang. Aku ingin menayakan langsung ke mas Arga. Bermain dengan pikiran sendiri sepertinya tak menjawab pertanyaanku.

***

“Loh? Kok belum tidur, Sar? Udah larut begini. Kan udah kubilang jangan nungguin aku.” Mas Arga membuka kemejanya. Ia baru pulang dan langsung melihatku duduk di ranjang.

“Mas, buat apa minjam uang ke Andi? Nggak mungkin Ibuku minta bantuanmu.” Tak tahan lagi. Aku langsung bertanya ke intinya.

“Jangan percaya Andi. Ia pasti boong agar kita bertengkar. Kamu kan tau sendiri ia sudah diminta nikah ma Ibu. Makanya ia cari masalah agar Ibu fokus ke kita,” jawab mas Arga lancar.

“Trus kenapa uang sejuta dari Ibu hanya delapan ratus aku terima?”

“Oooh, jadi kamu nguping? Sebenarnya kamu kenapa sih? Aku baru pulang sudah cari masalah aja.”

“Aku bukan cari masalah. Tapi kebenaran. Aku capek disalahkan terus dengan sesuatu yang tidak aku lakukan.” Suaraku sedikit lantang karena susah menahan hati.

“Saraaah, Ibu sudah tua. Memorinya agak lemot. Kadang matanya juga nggak fokus. Sebenarnya uang itu hanya delapan ratus ribu. Ibu aja yang salah hitung,” jawab mas Arga terdengar baik.

"Mmm, oke deh, silahkan kalian semua dengan praduga masing-masing. Bahkan aku tak tau mana yang benar dan bohong. Namun, satu hal yang aku rasakan. Aku tersudutkan dan tersangka. Jika kalian seenak hati kalian, maka aku pun juga seenak hatiku," bathinku, dengan tetap berusaha tenang. Karena ini sulit, yang kuhadapi bukan orang lain, tapi suami dan keluarganya.

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

Bab
Sinopsis
1
Part 1 Dapat Kerja Lagi
2
part 2 Bertanya
3
part 3 Memberanikan Men...
4
part 4 Silahkan Lanjutk...
5
Part 5 Santai Saja, Mas
6
part 6 Meskipun Aku Wan...
7
part 7 Memberitahu Ibu...
8
part 8 Mencoba
no_image no_image
9
part 9 Kwitansi
no_image no_image
10
part 10 Kejanggalan
no_image no_image
11
part 11 Permintaan Suam...
no_image
12
part 12 Diamku Tetap De...
no_image
13
part 13 Pengakuan Penga...
no_image
14
part 14 Kedatangan Suam...
no_image
15
part 15 Menghajar Pak R...
no_image
16
part 16 Suami depan mat...
no_image
17
part 17 Akhirnya Suami...
no_image
18
part 18 Cukup Sudah
no_image
19
part 19 Ajakan Istri Ru...
no_image
20
part 20 Jantungku Teras...
no_image
21
part 21 Dampaknya
no_image
22
part 22 Video Viral
no_image
23
part 23 Followers Banya...
no_image
24
part 24 Berita Duka
no_image
25
part 25 Membalas Dengan...
no_image
26
part 26 Kepulangan Mas...
no_image
27
part 27 Permintaan Ibu...
no_image
28
part 28 Kedatangan Bapa...
no_image
29
part 29 Pindah
no_image
30
part 30 Menikah
no_image
31
part 31 Panggil Mas
no_image
32
part 32 Memulai
no_image
33
part 33 Dua Lamaran
no_image
34
part 34 Mereka Perang K...
no_image
35
part 35 Penolakan
no_image
36
part 36 Pov Andi
no_image
37
part 37 Ke rumah mantan...
no_image
38
part 38 Astaga!
no_image
39
part 39 Viral Lagi
no_image
40
part 40 Sah!
no_image
41
part 41 Pov Arga
no_image
42
Part 42 Aku Sarah, Mas
no_image
43
part 43 Ke Sekolah Tia
no_image
44
part 44 Ditonton Orang
no_image
45
part 45 Ulah Ibu Mantan...
no_image
46
part 46 Ide Gila Ibu Ma...
no_image
47
part 47 Mencari Bukti
no_image
48
part 47 Mencari Bukti
no_image
49
part 48 Bikes!
no_image
50
part 49 Semakin Diperma...
no_image
51
part 50 Penyakit di sek...
no_image
52
part 51 Sensasi Oh Sens...
no_image
53
part 52 Ulah Mantan Sua...
no_image
54
part 53 Kedatangan Kelu...
no_image
55
part 54 Bertemu Ayang R...
no_image
56
part 55 Putriku
no_image
57
part 56 Serba Salah
no_image
58
part 57 Dicerai
no_image
59
part 58 Semakin Tahu
no_image
60
part 59 Kembalinya Arga
no_image
61
part 60 Wanita Asing di...
no_image
62
part 61 Bertemu Mantan
no_image
63
patt 62 Maling Teriak K...
no_image
64
part 63 Permintaan Gila
no_image
65
part 64 Dasar Pelakor!
no_image
66
part 65 Sedikit Keribut...
no_image
67
part 66 Luka Tak Berdar...
no_image
68
part 67 Oh Tidak!
no_image
69
part 68 Menjemput Tia
no_image
70
part 69 Di Rumah Mantan...
no_image
71
part 70 Ancaman Arga
no_image
72
part 71 Pergi Terusir
no_image
73
part 72 Pergi Terusir 2
no_image
74
part 73 Pov Ismail
no_image
75
part 74 Kedatangan Isma...
no_image
76
part 75 Rencana Sambung...
no_image
77
part 76 Mami Datang ke...
no_image
78
part 77 Kedatangan Isma...
no_image
79
part 78 Memenuhi Janji
no_image
80
part 79 Minta Rujuk
no_image
81
part 80 Pov Ismail : Ki...
no_image
82
part 81 Kenyataan yang...
no_image
83
part 82 Melihat Dia
no_image
84
part 83 Dia ke Panti As...
no_image
85
part 84 pov Ismail
no_image
86
part 85 Masih di Panti...
no_image
87
part 86 Demi Tia?
no_image
88
part 87 Uang?
no_image
89
part 88 Rezeki
no_image
90
part 89 Tak Kunjung Ham...
no_image
91
part 90 Mulai Kerja
no_image
92
part 91 Sarah, Aku Ingi...
no_image
93
part 92 Mas Ismail Data...
no_image
94
part 93 Rasa Terhalang...
no_image
95
part 94 Hamil Besar, Te...
no_image
96
part 95 Usaha Kembalika...
no_image
97
part 96 Berita Kehamila...
no_image
98
part 97 Penyesalan Mas...
no_image
99
part 98 Mencari Sarah
no_image
100
part 99 Menemui Tia
no_image
101
part 100 Jika Tak Suka,...
no_image
102
part 101 Bertemu
no_image
103
part 102 Melahirkan
no_image
104
part 103 Terungkap dan...
no_image
105
part 104 Air Mata Ririn...
no_image
106
part 105 Kedatangan Ism...
no_image
107
part 106 Mami Memohon
no_image
108
part 107 Kedatangan Tam...
no_image
109
part 108 Cemburu
no_image
110
part 109 Tindakan Ririn
no_image
111
part 110 Tindakan Ririn...
no_image
112
part 111 Perlawanan
no_image
113
part 112 Surat Dari Mas...
no_image
114
part 113 Di Rumah Sakit
no_image
115
part 114 Kedatangan Kak...
no_image
116
part 115 Sial!
no_image
117
part 116 Ucapan Tia Yan...
no_image
118
part 117 Lebih Baik Beg...
no_image
119
part 118 Ditalak di Pen...
no_image
120
part 119 Tamat
no_image