MAIN API
Didik menggoreskan pena untuk menjadi kalimat demi kalimat di atas kertas yang nantinya akan menjadi surat perjanjian pada pertemuan ini. Pihak satu suami Mayang dan pihak kedua Mas Anjay.
Mas Anjay membaca apa yang telah selesai ditulis oleh Didik. Dia mengajukan keberatan atas denda 25 juta yang tertera dalam dua lembar kertas folio dua lembar itu..
"Permisi sebentar, saya akan berunding dulu dengan kedua orang tua saya," pamit Mas Anjay lalu lenyap dari ruangan.
"Mayang, sini. Ikut saya," panggilku kepada selingkuhan Mas Anjay yang masih saja duduk merapat dengan Adrian.
Mayang menyusulku dan kami mengobrol di sisi masjid depan rumah Mas Anjay.
"Mbak maafin aku, ya? Aku sempat terlanjur percaya kepada Mas Anjay saat dia berkata sudah bercerai dengan Mbak Sisy," ungkap Mayang lagi-lagi sambil menunduk.
"Kamu benar-benar menyukai Mas Anjay?" tanyaku.
Mayang terdiam ....
"Terserah kalian, kalau memang saling suka. Asal kamu tahu saja, Mayang. Mas Anjay itu tidak punya apa-apa. Kami memiliki toko dan counter, itu usaha yang telah kukelola sejak masih gadis dan belum mengenal Mas Anjay. Saat menikah pun, uang sok-sokan yang keluarga Mas Anjay berikan untukku, menurut keluarga Mas Anjay hasil meminjam dari neneknya. Dan setelah tiga bulan menikah, aku yang harus mengganti dan membayar uang tersebut kepada nenek Mas Anjay ...."
Penuturanku yang sejujurnya ini, bahkan tidak pernah kuceritakan kepada kedua orang tuaku.
Mayang menatapku, "Nggak tahu Mbak aku tiba-tiba langsung saja luluh kepada Mas Anjay saat dia curhat tentang masalah dengan Mbak Sisy. Dan semalam saat Mbak Sisy datang aku juga tahu. Aku dan Mas Anjay mendengar omongan Mbak Sisy dan ibu," terang Mayang. Ternyata benar dugaanku. Mereka menginap di rumah sial ini. Sangat tidak modal. Kenapa bukan di hotel? Itu karena Mas Najay memang tidak punya uang.
Cih!
"Oh, begitu? Kalian berdua memang benar-benar manusia tidak tahu malu! Aku tetap akan melaporkan Mas Anjay ke pihak berwajib. Aku tidak terima dengan kelakuanmu dan Mas Anjay! Ayo masuk lagi ...." Aku mendahului Mayang menuju tempat semula. Dia mengekor di belakangku.
Kembali ke ruangan, Mas Anjay belum juga terlihat. Aku mencari keberadaanya untuk tahu apa yang di lakukannya. Di ruang makan orang tua Mas Anjay sedang berbicara dengan anak yang selalu dibelanya itu.
Begitu aku datang mereka semua bungkam.
Heeem ....
Mas Anjay pun pergi setelah melihat aku mendekat.
"Kami akan menjual tanah milik kami untuk membayar denda yang 25 juta itu, Sisy ...." cetus ibu mertua.
"Terserah!" sahutku ketus. Bagus sekali pembelaan mereka kepada Mas Anjay bukan? Aku segera berlalu. Kalau perlu kalian jual saja rumah kalian untuk membayar perbuatan zina anak kesayangan kalian. Rutukku dalam hati.
"Bagaimana kalau 15 juta? Kami hanya mampu segitu." Kata itu yang kudengar dari mulut Mas Anjay saat aku kembali duduk untuk mendengarkan.
"Bagaimana ya ....?" celetuk Kakak Mayang.
Huh .... sudah seperti jual beli saja acaranya, ada tawar menawar harga. Dalam hati aku berharap agar keluarga Mayang menolak permintaan 'turun harga,' Mas Anjay.
"Baiklah kami permisi berhubung waktu sudah siang. Sesuai dengan isi perjanjian. Kalau dalam waktu seminggu kamu tidak bisa memenuhi apa yang tertulis di sini. Kamu akan berurusan dengan pihak berwajib!" Adrian berdiri hendak segera meninggalkan tempat.
"Tunggu, Mas," cegah Mas Anjay. "Kalau seandainya saya mampu memenuhi keinginan keluarga kalian memberikan uang 25 juta, saya meminta Mayang untuk tinggal bersama saya dan menikah dengan saya, bagaimana?" tegas Mas Anjay.
Tante Nola yang duduk di sebelah menyikut pinggangku. "Gila tuh si Anjay benar-benar tidak mau rugi," desis Tante Nola ditelingaku sambil mencibir ke arah Mas Anjay.
Aku hampir tertawa mendengar penuturan Mas Anjay. Tawa yang berbanding terbalik dengan keadaan sebenarnya. Bukan tawa kehancuran. Tawa ejekkan lebih tepatnya. Sebegitunya Mas Anjay kini di mataku. Tidak ada harga diri sama sekali.
Memalukan dan menjijikkan!
"Ya kalau Mayangnya mau, kenapa tidak?" balas Adrian. "Tapi sekarang Mayang masih istri saya, dan saya akan membawanya pulang ke rumah kami!" sentak Adrian.
"Nanti Mayang bisa berubah pikiran kalau dibawa kembali ke rumah kalian," timpal Mas Anjay tidak tahu malu dengan menatap ke arah Mayang yang seperti terkena sawan dilehernya. Selalu tidak bisa mengalihkan pandangan ke lain arah selain ke lantai.
"Itu bukan urusan kamu lagi! Ayo kita pulang. Masalah belum selesai. Ingat Minggu depan kita bertemu lagi," pungkas Adrian lalu mendahului semua yang ada dalam ruangan untuk keluar.
Tante Nola keluar membuntuti Mayang, "Heh, otakmu dipakai. Suamimu kulihat lebih baik dari Anjay. Kamu bodoh sekali kalau sampai meninggalkan Adrian hanya demi Anjay. Ingat kata-kataku. Jadi perempuan jangan gatal. Masih punya suami tapi mau aja berhubungan dengan lelaki lain. Mikir kamu!" bentak Tante Nola ke Mayang.
"Sudah Tante ayok kita pulang." Aku berjalan ke arah motor yang ku parkir di halaman masjid. Didik keponakan Mayang Sari mendekatiku.
"Mbak Sisy terima kasih atas bantuannya." Didik menyalamiku.
"Sama-sama. Semoga sukses ya? Dan saya tetap akan meneruskan kejadian ini ke kantor polisi. Saya akan membuat laporan besok. Kalau saya meminta bantuan Mas Didik, bisa membantu 'kan?" Kuingatkan kembali Didik akan kata-katanya dan kekuarganya yang bersedia membantuku jika aku membutuhkan saksi atau keterangan dari pihak mereka nanti.
"Pasti, Mbak," jawab Didik meyakinkan.
"Terima kasih, saya akan memegang kata-kata Mas Didik." Aku bersiap menstarter motor, namun kulihat Didik memanggil Tante Nola.
"Tante bisa minta tolong?" ucap Didik ke Tante Nola yang sudah bersiap naik ke boncengan motorku.
"Minta tolong apa?" jawab Tante Nola yang menurutku sedikit jutek.
"Bisa minta tolong ambilkan baju Mayang dijemuran belakang rumah Anjay atau di kamarnya?" pinta Didik.
"Apa? Ambil baju Mayang? Maaf, ambil saja sendiri! Atau suruh tuh si Anjay, kok saya. Saya bukan asisten anda! Huh. Ayok Sy kita jalan. Cepetan. Gerah Tante ada di sini kelamaan," ketus Tante Nola dan segera naik ke motor. Kulajukan motor dengan cepat setelah Aqila berdiri di depan dengan posisi aman.
Di perjalanan Tante Nola terus mengomel ....
Apa yang diomelkan? Tentu saja seputar peristiwa yang baru saja kami alami. Peristiwa membagongkan yang tidak akan kulupa seumur hidup.
Bersambung ....
🌿🌿🌿🌿🌿