MAIN API
Mayang Sari menurunkan kepalanya untuk menatap ubin berlapis karpet warna biru. Matanya sembab. Di sampingnya putri kecilnya terus memeluknya dan menangis.
Tidak tega rasanya melihat gadis kecil itu harus menyaksikan kelakuan ibunya dan calon mantan suamiku. Akan tetapi apa Mayang juga punya pikiran yang sama denganku?
Kudengar beberapa saat Jono berkata-kata yang ditujukan untuk Mayang.
"Makanya kalau punya masalah dengan suami, tidak usah curhat dengan lelaki lain. Pertama curhat, lama-lama saling buka aib pasangan. Lalu merasa nyaman. Selingkuh. Sampai nekad kabur. Namamu saja bagus Mayang Sari. Tapi kelakuan juga seperti Mayang Sari ...." ceplos Tante Nola berikutnya.
"Anjay itu bukan kali ini saja Mayang, selingkuh dari Sisy. Anjay selalu mencari korban melalui facebook dan medsos lainnya. Mau saja kamu kena rayuan lelaki seperti dia," cerocos Tante Nola sambil menunjuk Mas Anjay.
"Lalu selanjutnya bagaimana, ini?" seru Tante Nola menatap ke Pak Bayan dan Jono yang baru saja berhenti mengomeli Mayang.
"Adrian, bagaimana? Kamu sebagai suami Mayang, apa yang ingin kamu sampaikan?" tutur Jono.
"Anjay ... asal kamu tahu, saya bisa melaporkan kamu ke pihak berwajib dengan tuduhan penculikan kepada istri saya," ucap Adrian tenang dan menatap tajam Mas Anjay. Hebat sekali lelaki berkulit hitam ini mengendalikan perasaannya. Salut ....
Mas Anjay? Dia pun menatap Adrian tanpa rasa malu sedikitpun. "Ya jangan, kalau begitu. Katanya kita mau menyelesaikan dengan jalan kekeluargaan," sahut Mas Anjay ringan.
Muak aku melihat wajahnya.
"Maaf saya potong sebentar," timbrung Pak Bayan.
"Silahkan," balas Adrian.
"Saya mau bertanya kepada Mayang Sari dan Anjay. Kalian berdua pergi berdua meninggalkan pasangan kalian masing-masing, apa ada yang terpaksa atau merasa di paksa?" Pak Bayan menatap Mayang Sari.
Mayang Sari menggeleng, ragu.
"Anjay?" tanya Pak Bayan ke Mas Anjay yang duduk bersila dihadapannya.
"Tidak, Pak," jawab Mas Anjay cepat dan mantab.
"Oh ... jadi suka sama suka?" tanya Pak Bayan lagi.
Mayang Sari dan Mas Anjay mengangguk pelan ketika semua mata menanti jawaban dari mereka.
Luar biasa sekali dua manusia ini. Entah kerasukan jin apa mereka ini ....
"Baik. Jadi pihak keluarga dari Mbak, eh siapa namanya, ya ...?" Pak Bayan malingkan wajahnya ke Mayang.
"Mayang Sari," sahut perempuan itu lalu kembali menunduk.
"Benar kan kaluan berdua kabur dan minggat karena sama-sama suka?" ulang Pak Bayan.
Mayang melirik Adrian dengan ekor matanya yang sembab. Lalu mengangguk setelah sekali lagi matanya sekilas menatap Pak Bayan.
Tak lama kemudian ....
"Maafkan aku Mas Adrian ...." Lalu sesenggukan tangis kembali terdengar. Mayang Sari kembali mendekap Adrian yang nampak tegang.
Cih ....
Mual sekali perutku menyaksikan tingkah perempuan itu. Meski begitu tak kuasa mataku untuk tidak melirik ke arah mereka. Adrian menepiskan lengannya yang digelayuti Mayang Sari.
Oh! Ternyata Adrian pun sama sepertiku. Muak dengan tingkah Mayang Sari. Meski tidak terlalu kasar tepisan tangan Adrian, tapi cukup menunjukkan kekecewaan hati pada perempuan yang jadi ibu dari anaknya itu.
Aku dan Adrian di posisi yang sama. Terluka dan kecewa dengan pasangan kami.
Tangis gadis kecil itu pun kembali pecah mendengar tangisan ibunya. Hatiku dingin tak merasa apa pun kali ini. Mati rasa!
"Nah, sekarang keluarga dari pihak Mayang sudah mendengar sendiri 'kan jawaban dari Mbak Mayang. Lalu selanjutnya bagai mana?" ujar Pak Bayan.
Keponakan Mayang yang dari tadi diam mengeluarkan suaranya.
"Mohon maaf kebetulan saya juga bayan di kampung kami. Kami sepakat akan membawa Mayang pulang, setelah ada kesepakatan dalam pertemuan ini." Didik yang kebetulan anak kandung Jono kakak Mayang Sari berkata tegas.
"Monggo, silahkan dirunding dengan sebaik-baiknya. Mumpung semuanya juga kumpul. Saya hanya sebagai saksi saja," timpal Pak Bayan tetangga Mas Anjay yang kucurigai membela kelakuan bejat Mas Anjay dan Mayang Sari.
"Bagaimana Om Adrian," bisik Didik di samping Adrian.
"Anjay, kami akan membawa pulang Mayang. Konsekwensinya, anda kami beri sanksi untuk mengganti rugi sebesar 25 juta hari ini. Kalau tidak bisa hari ini kami beri waktu seminggu. Jika dalam waktu seminggu anda tidak bisa memenuhi permintaan kami. Kami akan membawa kasus ini ke ranah hukum!" tegas Adrian.
"Mampus!" ucapku dalam hati yang kutujukan untuk Mas Anjay. Kutatap Mas Anjay dengan kepala tegak.
"Jadi begini, bagaimana kalau jangan dua puluh lima juta. Saya keberatan," sahut Mas Anjay.
"Itu urusan anda. Bukan urusan kami. Sekarang kami akan membawa Mayang pulang." Adrian bersiap akan berdiri. Mungkin dia sudah tidak tahan lagi berada di ruang 'sidang,' yang membosankan ini.
"Tunggu, Om. Kita akan membuat dulu surat perjanjian," sahut Didik. "Tolong belikan materai," titah Didik kepada seorang yang datang bersama mereka.
Pria berambut keriting bangkit dari duduknya untuk mencari materai. Kulihat paras Mayang yang tidak sedap dipandang mata saat mengetahui Mas Anjay 'didenda,' 25 juta.
Aku mengamati satu-persatu gerak-gerik semua orang yang ada. Aku tidak merasakan adanya modus atau rekayasa. Semua polos dan jujur. Ah ....
Kuelus rambut Qiara yang sudah berpindah duduk di pangkuanku. Mas Anjay sama sekali tidak menyapa atau menegur Qiara. Dia bagaikan orang asing di mata putri semata wayangnya. Dan itu menjijikkan sekaligus membuat hatiku berdarah ....
Bersambung ....