“Rin, bikinin kopi buat Mas Seno!”
“Rin, bikinin susu buat Febri!”
“Rin, rumah udah disapu belum, sih? Kok, masih kotor!”
Sederet perintah yang datang tiap kali selesai satu pekerjaan. Kepalaku terasa mau pecah setiap mendengar perintah kakak ipar. Belum juga sejenak mendudukkan bokong, suara Mbak Ningrum sudah kembali terdengar. Sejak kedatangannya dua bulan lalu, rumah mertua ini serasa seperti di neraka. Aku tak lagi merasakan kedamaian.
“Rin, masak buat makan siang, semua masakan tadi pagi udah habis!”
Aku melongo mendengarnya. Belum juga aku sarapan pagi, semua lauk sudah ludes. Usai memasak, aku mencuci semua perabotan masak. Berlanjut mencuci pakaian yang setiap hari tingginya mirip gunung Himalaya. Di rumah ini tak ada mesin cuci, awalnya hanya tiga penghuni, jadi aku memilih untuk menabung saja uang anggaran pembelian benda itu untuk keperluan yang lebih penting. Kalau setiap hari begini lama-lama semua ototku bakalan nyembul mirip binaraga.
“Sekalian cuci ya, Rin! Aku mau nyuapin anak-anak,” ucap Mbak Ningrum dengan membawa setumpuk pakaian.
Walaupun kekesalan sudah di ubun-ubun dan hampir meledak, tatap saja aku kerjakan. Salahku tak menolak sejak awal mereka berada di sini. Aku hanya ingin menjadi ipar yang baik, tapi malah justru Mbak Ningrum seolah memanfaatkan.
Masih mending jika pendanaan pun bukan berasal dari kantongku, mungkin level rasa jengkel ini bisa turun sedikit. Suami yang hanya bekerja sebagai satpam pabrik harus menghidupi seisi rumah ini. Aku tak habis pikir dengan cara hidup mereka. Duduk dan diam manis di rumah dengan segala kebutuhan yang harus selalu terpenuhi.
Aku mengerjakan pekerjaan rumah hampir seharian penuh. Rumah besar milik mertua dengan tiga keluarga di dalamnya. Ibu mertua, keluarga Mbak Ningrum dan keluargaku. Suamiku adalah bungsu dari tiga bersaudara, itulah yang menjadi alasan kakak tertuanya itu untuk selalu melayangkan perintah.
“Kan Heru paling bontot, wajarlah kalo ada apa-apa dia yang disuruh-suruh.” Kenapa urutan kelahiran bisa dijadikan alasan? Bukankah kita tak bisa memilih jalan takdir sendiri?
Suamiku hanya terdiam saat Mbak Ningrum mengatakan itu. Apa dia tak sadar diri, bila semua kebutuhan suamiku yang mencukupi. Mas Seno kabarnya di-PHK dari pekerjaannya. Sedang selama ini mereka masih mengontrak di kota. Makanya memilih pulang kampung saat tak memiliki penghasilan lagi. Bakalan lama dan betah mereka tinggal di kampung, apalagi tinggal makan sama tidur. Nggak capek kerja.
Pernah sekali aku mendengar Mas Seno, suami Mbak Ningrum berkeluh kesah tentang pekerjaan.
“Dek, ada tawaran kerja, tapi kerja jadi kuli bangunan. Aku nggak sanggup panas-panasan, capek! Mana upahnya sedikit.”
“Nggak usah diambil kalo kerja kasar begitu, kek di rumah udah nggak bisa makan aja!”
Luar biasa sekali mereka. Bukannya bekerja selama itu halal, lebih baik ketimbang merepotkan orang lain. Makan dan hidup numpang di rumah orang tua dari hasil keringat adik, baginya lebih baik. Bila masih lajang memang suamiku mungkin tak berkebaratan, tapi ketika sudah menikah ada seseorang yang menjadi tanggung jawabnya dan merasa terbebani dengan ulah mereka. Entah, bagaimana cara berpikir mereka. Aneh. Badan saja yang tinggi besar, tapi kerja berat mengeluh nggak kuat.
Belum lagi tingkah dua bocah kecil Febri dan Faras yang tak bisa diam. Mereka berlarian ke sana ke mari, menyebabkan kekacauan di rumah. Sofa yang berada di ruang keluarga tak luput dari sasaran. Mereka melompat-lompat hingga dan berlarian hingga semua bantal sofa dan taplak meja berpindah tempat.
“Febri, Faras jangan lari-lari, Nak nanti jatuh!” suara kalem Mbak Ningrum saat berbicara dengan dua anaknya, berbeda dengan saat berbicara padaku.
“Rin, cepetan beresin! Nanti anak-anak bisa jatuh kalo kesandung barang-barang yang berserakan!”
Lho, bukannya mereka penyebab kekacauan?)) kok aku yang harus bersusah payah beresin. Harusnya dia sebagai orang tuanya yang melakukan, bisanya main perintah terus.
“Febri, Faras! Ayo, belajar rajin, setelah bermain, mainannya dirapikan ke tempat semula! Sini, Bibi Bantuin!”
Kedua bocah kecil itu datang dan menuruti kata-kataku. Mereka mulai memunguti mainan yang berserakan di lantai dan memasukkannya ke dalam kardus-kardus tempat mainan. Setelahnya mereka mengambil sapu dan membersihkan lantai. Namun, tanpa diduga, sang ibu justru tak terima dengan apa yang aku lakukan.
“Rin, kamu mau jadiin anakku babu? Kamu suruh-suruh dia? Mereka ini anak laki-laki masa disuruh nyapu, nggak pantes!” ketusnya padaku di depan anak-anak.
Mereka berdua kompak melempar sapu ke lantai dan meninggalkanku. Sebenarnya mereka berdua bocah yang baik, mungkin karena Mbak Ningrum kelewat memanjakannya hingga berakhir malas dan kurang ajar. Kesal dengan kata-kata Mbak Ningrum, aku beranjak meninggalkan lantai yang belum bersih.
“Belum selesai, kok, udah ditinggal! Kerja tuh jangan setengah-setengah!”
“Aku mau istirahat bentar, Mbak! Mau sarapan sekaligus makan siang.”
“Wah, omonganmu itu udah persis sama orang yang kerja rodi aja!”
Aku berlalu menuju kamar, menumpahkan segala keluh kesah di atas bantal. Sebal. Pekerjaan yang menumpuk dan semua aku yang mengerjakan, sama sekali tak dihargai. Rasa lapar pun menguap ke udara begitu saja mendengar penuturan Mbak Ningrum.
***
Saat ada acara di rumah aku pun selalu menjadi orang yang paling sibuk. Ibu mertua yang sudah sepuh tentu tak pernah mengerjakan apa pun. Berjalan saja beliau sudah kewalahan. Sedang Mbak Ningrum dan suaminya, sibuk ngobrol sampai mana-mana, padahal kadang tak jelas apa obrolannya.
“Mbakmu itu udah persis ndoro, ya, Rin,” ujar Mbak Ayu, tetangga sebelah.
Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Mbak Ayu adalah teman Mbak Ningrum sejak kecil, ia pasti sudah paham dengan tabiatnya.
“Dari dulu nggak pernah berubah,” imbuh Mbak Ayu. “Kamu jangan nurut terus, makin senang dia nyuruh-nyuruh,” lanjutnya.
Kata-kata Mbak Ayu ada benarnya, tapi kalo aku melawan atau nggak nurut, sudah pasti keributan akan terjadi di rumah ini. Aku tak mau ribut karena tak ingin membebani ibu mertua yang sudah sepuh. Di usianya yang sudah hampir menginjak kepala enam, ia harus beristirahat dari pikiran dan pekerjaan.
Bersambung ....
Baca juga "Aku Tukang Tikung" sudah sampai bab 25😍😍😍