Prolog

Setelah mengantar Andara yang masih kelas 2 SD ke sekolahnya pukul 06.45 WIB, Bu Nadin berniat kembali ke rumah karena bekal makan siangnya ketinggalan akibat tadi terburu-buru.

Hari ini Andara bersama teman sekolahnya akan mengunjungi museum daerah dan bus sekolah yang akan membawa mereka akan berangkat pukul 7 tepat. Ini adalah field trip terakhir sebelum libur Ramadhan esok hari. Ya, di bulan Ramadhan beberapa sekolah memang libur penuh dan masuk kembali setelah Idul Fitri.

Bu Nadin mempercepat langkahnya. Untunglah jarak rumah Bu Nadin dengan sekolah Andara tidak begitu jauh, hanya sekitar satu kilometer saja dan masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Rumah Bu Nadin terletak paling ujung dan berjarak agak jauh dari rumah tetangganya.

Sesampainya di rumah, Bu Nadin terkejut karena kunci pintu rumahnya rusak. Gembok kecil yang tadi terpasang di pintu kini terlepas. Ada bekas congkelan benda tajam di sekitar pengait gembok tersebut. Dengan berdebar Bu Nadin mendorong pintu rumahnya. Alangkah terkejutnya Bu Nadin melihat ada tiga orang yang sedang mengacak-acak isi rumahnya. Ketiga orang tersebut juga terkejut dan salah seorang dari mereka yang kebetulan berdiri di dekat pintu refleks membekap mulut Bu Nadin yang bersiap untuk menjerit.

Bu Nadin memberikan perlawanan sekuat tenaga, membuat laki-laki yang membekap mulutnya terjatuh. Bu Nadin berniat lari ke luar rumah untuk mencari pertolongan pada tetangga. Namun, salah seorang dari ketiga laki-laki itu mengejarnya dan menarik paksa kedua tangannya hingga terkilir. Rasa ngilu dan denyutan luar biasa menjalar di kedua tangan Bu Nadin. Tapi Bu Nadin tak putus asa. Dia berusaha menendang tulang kering laki-laki yang membekapnya mulut dan memelintir tangannya itu, dengan tumit kaki kanan sekuat tenaga. Laki-laki itu mengaduh, lalu refleks mencabut belati yang selalu diselipkannya di pinggang. Dengan kekuatan penuh, laki-laki itu menusukkan pisau ke perut Bu Nadin.

Tubuh Bu Nadin rebah bersimbah darah tanpa bisa menjerit, karena laki-laki tersebut membekap mulutnya, lalu menyumpalnya dengan taplak meja yang terletak di dekatnya. Darah******dan sebagian merembes membasahi baju Bu Nadin.

Melihat tubuh Bu Nadin meregang nyawa, ketiga laki-laki tanggung yang tadinya berniat merampok rumah Bu Nadin saling pandang. Lima belas detik kemudian, mereka memutuskan melarikan diri tanpa membawa apa-apa dan meninggalkan Bu Nadin begitu saja.

Tubuh Bu Nadin sekarat, mulutnya tak bisa mengeluarkan suara karena disumpal taplak meja kain, kedua tangannya yang terkilir tak bisa digerakkan. Darah masih mengalir dari luka tusuk di perutnya. Bahkan belati tadi masih menancap dalam di sana.

Mata Bu Nadin berkunang-kunang. Pandangannya sudah tak lagi fokus lagi. Dua tetes air mata mengalir begitu saja. Ah, aku bahkan belum sempat berbelanja untuk sahur esok. Maafkan Bunda, Andara, keluh Bu Nadin dalam hati. Mulutnya bergerak-gerak. Seuntai syahadat tanpa suara menjadi penutup ucapan terakhirnya. Tak lama kemudian, tubuhnya kejang meregang nyawa tanpa ada yang tahu.

Tubuh itu akhirnya diam sama sekali. Sisa air matanya tadi perlahan mengering. Berjam-jam, tubuh Bu Nadin terbaring dingin.

Ketiga laki-laki tadi melarikan diri tanpa membawa apa-apa.

====

Dua jam sebelum kejadian ....

"Lo masih punya gak? Gue minta dong!" laki-laki tanggung berbadan kurus dan bermata cekung itu mengulurkan tangan ke pemuda berbaju merah sebayanya yang berpenanampilan sama dengan dia.

"Kagak ada. Abis," sahut pemuda berbaju merah itu sambil tengadah menatap langit-langit gedung kosong tempat mereka nongkrong.

"Masam nih, mulut gue. Pusing pala gue. Suntuk. Gue pengen barang itu. Minta dong. Dikit aja pun jadi lah," ujar laki-laki pertama tadi dengan mimik memelas.

"Kagak ada. Ngeyel amat sih lo jadi orang. Duit darimana gue beli barang? Gue juga butuh. Tapi kagak ada duit buat beli," pemuda berbaju merah mendelik kesal.

"Yok cari duit biar bisa makek," usul laki-laki berkaos tanpa lengan yang sedari tadi diam.

"Cari duit dimana? Sekarang kalo mau duit mesti kerja. Lah kita bisa kerja apa? Kalo pun mau kerja, pasti belum melamar pun kita udah ditolak," sahut laki-laki pertama tadi dengan nada pasrah.

"Yah, kita 'kutiplah' kayak biasa," laki-laki berkaos tanpa lengan itu kembali bersuara.

"Enggak. Gue gak mau ikutan. Terakhir kita nyatroni rumah Pak RT untuk nyolong televisinya, kita hampir ketangkep. Kapok gue," ujar laki-laki berbaju merah sambil menggeleng.

"Ah, cemen Lo. Kalo gue mau. Yang penting dapet duit. Bisa beli barang biar nge-fly. Ayo. Rumah siapa kali ini?" tanya laki-laki pertama semangat. Dia sudah membayangkan nikmatnya menghirup ganja. Saat ini dia sangat membutuhkan barang itu.

"Rumah Bu Nadin," ucap laki-laki berkaos tanpa lengan dengan semangat.

"Bu Nadin? Apa yang mau lo ambil dari rumah perempuan miskin itu? Lagian nanti ketangkep baru tahu," tanya laki-laki berbaju merah itu bercampur cemas.

"Iya. Bu Nadin. Kan dia cuma tinggal berdua sama anaknya. Sebentar lagi rumah itu kosong. Anaknya berangkat sekolah dan dianya pergi kerja. Biarpun miskin, dia baru narik arisan. Gue denger pembicaraan ibu-ibu di warung pas gue mau beli rokok, dua hari yang lalu Bu Nadin yang narik. Nah, pasti ada tuh duit dia simpen di rumahnya," ucap laki-laki berkaos tanpa lengan dengan penuh semangat.

"Oke, gue ikut. Kapan kita gerak?" tanya laki-laki pertama semangat.

"Gue juga ikutlah. Yok, sekarang aja kita gerak biar cepat," sahut laki-laki berbaju merah sambil bangkit. Kali ini dia semangat karena calon korban mereka adalah orang lemah. Takkan ada perlawanan yang perlu ditakutkan.

"Nah. Gitu dong. Yok, gerak," ajak laki laki berkaos tanpa lengan.

Ketiga laki-laki itu berangkat ke menuju rumah Bu Nadin dengan semangat. Rumah Bu Nadin tidak terlalu jauh dari gubug yang mereka jadikan markas tak resmi tadi. Mereka cukup berjalan kaki ke rumah Bu Nadin. Lebih aman, tidak mencurigakan dan tanpa keributan. Sepagi ini orang-orang di kampung masih sibuk di rumahnya masing-masing. Jalanan masih sepi, sungguh situasi yang mendukung rencana mereka. Satu dua penduduk yang berpapasan dengan mereka ada yang menyapa sekadar basa-basi, selebihnya diam tak peduli. Ketiganya memang dikenal di masyarakat sebagai pemuda pemalas yang merusak citra kampung mereka. Tak sedikit yang menghindar jika bertemu dengan tiga pemuda yang digelari preman kampung itu.

****


Komentar

Login untuk melihat komentar!