#Putri_Kedua_Kyai
#Nisrina
Saat aku besar, aku berjanji jika akan selalu menyayangi diriku sendiri, tapi terkadang muncul perasaan dalam hati, jika aku pun tak cukup pantas untuk itu.
Terkadang, aku ingin memiliki mesin waktu dan memutar kembali masa di mana semua ini bermula. Sebuah cinta semu dalam benak Abah dan Ibuku.
Namun, aku teringat kembali ucapan Mas Jamal. Bahwa tak semua orang akan kuat menjadi aku. Ada tapi seolah tiada. Mereka biasanya akan mati dan layu dalam siksaan hati.
Aku kuat menghadapi itu semua. Aku kuat. Mungkin sakit itu sudah mendarah daging hingga seolah hanya sakit karena gigitan serangga dan sebentar saja sudah hilang. Tetapi yang namanya luka itu tetap sakit meskipun tidak pernah mengeluarkan darah.
Selama ini, ibuku selalu terlihat sangat serius untuk menunjukkan betapa dia begitu mencintai Abah. Selama ini, semua orang menganggap wanita kedua hanya mereka yang rakus harta, tamak kekuasaan dan penghancur rumah tangga. Sehingga, ibu bekerja keras untuk itu. Sayangnya, kami kaum wanita seringkali bekerja keras untuk menunjukkan keseriusannya tetapi tetap tidak pernah dipercayai.
Suatu hari.
Aku pernah pergi ke sekolah di mana akhirnya teman-temanku tahu bahwa aku adalah putri Kyai dari istri sirri-nya. Istrinya yang kedua. Mereka mengolok-olokku dan ibuku bahwa kami gila kehormatan. Kami perusak rumah tangga dan seharusnya kami tidak pernah hadir dalam kehidupan bunyai Maryam yang sangat mereka hormati.
Menangis dalam pelukan ibu, beliau mengusap lembut rambutku. Kemudian ibu berkata, "mulai detik ini aku tak ingin kau memasukkan olokan itu ke dalam kepalamu. Sejak hari ini ibu ingin mendengar kau selalu mengatakan bahwa kau adalah anak ajaib. Kau bisa melakukan hal yang ajaib dan kau adalah putri Abah yang spesial."
"Suatu hari nanti, kau akan melakukan sesuatu yang istimewa, Nisrin-ku. Karena namamu adalah Nisrina Paramita. Abah memberimu nama seorang ratu di sana, karena kau akan menyempurnakan sesuatu yang belum sempurna."
Sayangnya, demi menyempurnakan rasa cintanya kepada Abah, ibu berkali-kali terseok-seok di mata masyarakat. Hingga akhirnya, memilih menyerah.
"Tolong ceraikan aku, Abah," ucap ibu malam itu.
__
Selama bertahun-tahun setelah kepergian Ibu aku merasa kehilangan diriku sendiri. Seringkali aku berpikir sesuai dengan apa yang dibilang orang tentangku itu sebagai diriku yang sebenarnya.
Banyak dari mereka seolah menancapkan pemikiran jelek itu ke dalam benakku.
"Anak perempuan juga. Pasti nanti ikut jejak Ibunya."
"Dih, enak ya. Suami bunyai sudah direbut sekarang anaknya juga disuruh ngerawat."
"Tenang saja. Karma itu ada." Dan banyak omongan lain yang membuat masa kecilku begitu suram. Usiaku baru sepuluh tahun dan kata-kata itu mengerdilkan kepercayaan diriku. Anak seusiaku kemudian dipaksa dewasa menyikapi ketimpangan pandangan masyarakat di sekitarku. Meskipun ketika mereka berhadapan langsung denganku mereka menunduk karena sungkan dengan nama besar Abah.
Hingga aku bertemu dengannya. Mas Jamal. Lelaki yang merupakan abdi ndalem kesayangan Abah, lima tahun jarak usianya denganku. Parasnya yang tampan membuatnya populer di mata Mbak-mbak santri. Pertemuan dengannya menjadikanku sudi untuk membuka hati serta mulai mencintai diriku sendiri apa adanya. Dan tak lagi mempercayai omongan dunia tentangku.
Sering, kan. Masyarakat memposisikan kita sebagai terdakwa yang berpredikat tertentu sesuai pemikiran ngawur mereka. Kondisi terdesak, tidak memiliki sandaran serta banyaknya cobaan yang menderu membuat diri kita gusar dan akhirnya percaya. Bahwa apa yang mereka katakan atas diri kita adalah sebuah kebenaran yang nyata tentang siapa kita sebenarnya.
Aku berharap bahwa kita hidup di dunia di mana kecerdasan hati itu setara dengan kecerdasan yang didapat dari buku. Seperti apa yang kita percayai bahwa kecerdasan manusia menghembuskan nafas dari mulutnya untuk meniup sebuah api, bukan berasal dari otaknya yang membaca sekian tumpukan buku. Lebih, karena sudah insting alami kita. Sayangnya, banyak insting alami manusia yang menganggap orang lain sebagai kompetitor, musuh untuk berlomba.
Hal itu kusadari, saat masuk kampus dan bertemu dengan Mas Rangga. Meskipun dia tidak menyudutkan diriku di kampus sebagai pribadi yang terasing, sebaliknya dia selalu menganggapku sebagai pesaing yang berat. Dia entah kenapa, selalu dengan sengaja memasukkanku dalam putaran kompetisi. Memberikan buku-bukunya kepadaku, menjejali sekian pandangan untuk mengalahkannya dalam beberapa mata kuliah. Apalagi, karena otaknya yang encer dia selalu dipercaya dosen untuk menjadi asisten mereka dan memasuki sesi laboratorium anak angkatan bawahnya. Termasuk angkatanku.
"Aku mempercayai bahwa kau selalu kaya akan ide. Meskipun ide mu seringkali sangat kasar." Saat itu aku sedang mengamati detail bakteri di bawah mikroskop dan suaranya menusuk kesadaranku.
"Apa maksudnya dengan kasar?" tanyaku balik. Bagiku, istilah 'kasar' yang diucapkannya seperti kata-kata yang berkonotasi buruk.
"Kau mengalihkan pandangan matamu dariku saat aku mengutarakan ideku kepada semua. Itu kasar, Nona. Itu membuat kau seolah meremehkanku sebagai seniormu. Dan itu bukan sikap seorang ksatria." Alah-alah. Jadi karena tadi saat dia menerangkan ciri-ciri bakteri dalam feses seorang pasien dan kucueki, membuatnya sedikit kesal. Nyatanya, aku pun dibuatnya senewen dengan ucapannya.
Namun, dengan sekejap menghilang saat dia menjelaskan maksudnya yang lain. Mas Rangga selalu bisa membuat hatiku bak rollercoaster. Tak sedikit dari teman-teman yang mengatakan bahwa sebetulnya Mas Rangga menaruh hati kepadaku. Sayangnya, Mas Jamal sudah lebih dulu menyita separuh hatiku.
___
"Manfaatkanlah sikap beranimu, atau ... kau selamanya menahan amarahmu dalam hati hingga menggerogoti jantungmu." Aku sedang menangis sesenggukan di dekat dinding pembatas kantin dan sekolah MTs setingkat SMP itu. Ternyata, Mas Jamal sedang ikut mengecor bangunan baru di sebelahnya. Melihatku sesenggukan dia cukup bisa memahami apa yang menjadi kegelisahanku. Sehari-hari berada di sekitar ndalem, jelas Mas Jamal lebih tahu apa yang terjadi di sana daripada orang lain.
"Kau ingin agar aku melakukan protes, Mas?" Aku menghapus air mataku lalu mendongak ke arahnya.
"Yup!"
"Untuk?"
"Untuk membuka mata semua. Bahwa kamu adalah anak baik yang penuh keahlian yang layak dipertahankan." Mas Jamal menuruni beberapa tangga di dekat tembok lalu berjongkok.
"Dengar, semua ingin menjadi Cinderella. Tapi, kau bukan Cinderella yang banyak dibayangkan hampir sebagian besar wanita. Cinderella yang aha! Sekali meminta peri dan semua terkabul.
Kau bekerja keras untuk itu, Nis. Meskipun kau adalah putri ibumu yang terhormat sejak awal tapi kau terlihat harus lebih memperjuangkannya." Mas Jamal merasa tak enak dengan pemikirannya yang sudah dewasa, sementara aku masih memakai rok abu-abu.
"Kau bahkan berjuang agar Abahmu melihatmu sebagai gadis kecilnya yang tak berdaya, membutuhkan kasih sayangnya. Padahal kau adalah putri kandungnya." Mas Jamal mengatakan hal itu dengan sangat berhati-hati. Dia hanya murni mengatakan kejujurannya meskipun hal itu semakin membuat deras air mataku. Semua yang dikatakannya selalu benar.
"Beranilah, Nis. Kamu berhak mendapat kasih sayang yang sama dari Kyai."
Walaupun itu benar. Nyatanya aku memilih mengalah setiap Abah dan anak-anaknya saling bermanja-manja. Aku memilih menepi dari hiruk pikuk canda tawa mereka, menenggelamkan amarah dan kecemburuanku dalam baris-baris aksara lalu menyalurkan sesaknya hati lewat keran air mata.
Aku, tak pernah benar-benar berani memprotes sifat Abah atasku. Dan menikmati semua ketiadaan kasih sayang itu dengan hanya diam saat tidak ditanya dan menepi saat tak ada satupun yang menganggapku di situ. Kecuali Mas Akbar yang masih selalu memanggil dek, di depan namaku. Dia kakak sulungku, kakak sulung kami.
__
"Lain kali, kalau aku mengoceh tentang harapanku di depanmu, maka cukup kau pukul kepalaku." Aku terkekeh saat Mas Akbar dengan gaya polosnya duduk di tepian kamarku dan bercerita tentang wanita berusia dua puluh tahun yang menempati sisi hatinya.
"Kenapa, Mas?" tanyaku sambil membuka Al-Qur'an di atas meja kecil yang kupangku di atas kasur. Selain kakak yang baik, Mas Akbar juga guru mengaji yang fasih.
"Karena nyatanya, aku bahkan tak berani mengajaknya berbicara. Payah sekali ya. Berharap rasaku sampai padanya tapi setiap kali bertemu dengannya, bibirku membisu." Tawanya yang renyah kembali terdengar kemudian dia menepukkan tangannya ke jidat.
Jadi, ceritanya. Kakakku dengan tahi lalat di dekat telinga itu sedang jatuh cinta, naksir seorang wanita tapi tak berani mengajaknya berbicara. Ambyar.
Lebih ambyar lagi, persaudaraan kakak denganku ternyata tidaklah abadi. Mas Akbar sakit mendadak beberapa minggu sebelum hari wisuda sarjananya tiba. Tuhan lebih menyayanginya dan memanggilnya lebih dulu.
Keceriaanku tercerabut. Sisi batinku semakin luka, dan hari-hari suram dalam hidupku semakin kelabu. Mas Akbar meninggalkanku sendiri tiada teman lagi.
"Dek, kau pintar! Masuklah kedokteran dan buat Abah bangga." Itu adalah salah satu wasiatnya yang selalu kupegang erat. Ingin rasanya jika Safira menanyakan alasanku masuk kedokteran kemudian kujawab dengan kata-kata itu, tapi aku takut Safira lebih terluka. Dia selama ini selalu menganggap bahwa Mas Akbar selalu dekat dengannya semata, padahal dia juga dekat dengan semua adiknya.
Setidaknya, aku tak ingin menjadi seperti Safira. Maka aku memilih diam dan membiarkan kemarahan Safira hilang dengan sendirinya.
Hingga akhirnya aku berhasil mengikuti ujian kompetensi kedokteran, nyatanya, aku belum pernah sekalipun mendengar Abah mengatakan mumtaz untuk prestasiku. Abah hanya akan menyuruhku meletakkan tanda prestasi itu di meja kerjanya kemudian berkata, "nanti akan kulihat."
__
Malam ini, aku teringat kematian ibuku, juga kematian Mas Akbar, tetapi ketika pagi menjelang aku semakin ingin limbung dan tak ingin keluar kamar. Di depan semua anggota keluarga sepuh yang datang pagi-pagi, Abah mengumumkan dan meminta pendapat tentang perjodohan Safira dan Mas Jamal. Diantara sela-sela angin-angin ruang tengah dan dapur ndalem, kabar itu berhembus menyelinap ke dalam telinga dan menancap di hatiku bagai sembilu.
Luka di hatiku bertabur garam lagi, perih dan menyayat. Tak ada aksara yang bisa menuliskannya kecuali sebuah kata : patah hati.
***
Bersambung
Share yuk dan biarkan semua ikut membaca.