Alkisah Selengkapnya
#Putri_Kedua_Kyai
#Nisrina


___

Angin musim panas begitu menyengat kulit. Sementara untuk mencapai kampus fakultas kedokteran juga begitu jauh. Gara-garanya, ban sepeda motorku pecah dan terpaksa kuparkir di kampus Fakultas Tekhnik. Belum lulusnya beberapa nilai co-ass ku membuat hari-hari dalam kehidupanku masih saja diwarnai wara-wiri ke kantor beberapa dosen. Aku merasa seharusnya waktu jaga malamku di rumah sakit sudah sesuai. Kutebak, beberapa senior nakal pasti mengerjaiku. Sebabnya apa? Satu dokter senior tampan di rumah sakit tempatku mengambil dokter muda kutolak saat menyatakan cinta.

Aku berdiri memandangi bangunan kokoh di depanku. Bergaya Eropa, bangunan ini lebih mirip museum daripada kantor fakultas kedokteran. Beberapa chat teman yang masuk mengabarkan kalau mereka sedang makan-makan di warung geprek Yu Mah di seberang kampus. Menik dan beberapa teman lagi akan memulai ujian kompetensinya lusa. Impian menjadi dokter akan segera teraih lebih dekat. Tapi aku?

Lesu, membayangkan teman-teman yang lain sudah mulai ujian kompetensi sementara aku masih menjadi asisten dokter senior di rumah sakit jujugan mereka dulu. 

Aku mengambil napas dalam. Sebenarnya, faktor lain yang menghambat ko-ass ku adalah cutinya aku beberapa semester dulu. Kubuka lagi ponselku yang bergetar. Syamsir dan Alpha memamerkan ayam goreng renyah kesukaan kami semua dan itu membuatku iri. Mereka makan sementara aku harus mengajukan banding di kantor dosen.

Iri? Iya. Aku harus memacu diri ini setelah beberapa kali cuti dari kampus. Masalah yang mendera tak pernah bisa kuidentifikasi dalam diriku ini dan membuatku sering frustasi sendiri. Sedangkan aku sama sekali tak tahu harus bercerita kepada siapa. Tidak tahu harus meminjam bahu siapa.

Aku benar-benar tidak mengenal arti keluarga walaupun selalu bersama mereka selama ini. Tidak ada pelukan, canda tawa, serta bahu tempat berkeluh kesah.

Mungkin, karena aku hanya seorang putri dari istri kedua yang dipermasalahkan kehadirannya.

Ibuku, selalu dianggap sebagai biang keladi rusaknya rumah tangga Bunyai dan Abah.

Senyatanya, aku pun tak pernah meminta untuk terlahir dari rahim sesiapa.

Tak bisakah seseorang lebih objektif melihat sesuatu? Jika kelahiranku adalah aib, maka bukan seharusnya aku yang menanggung semua tudingan jari mereka.

Hal itu tak pelak sering membuatku bertanya. Kenapa Ibuku bisa jatuh cinta kepada Abah, menikah lalu melahirkanku jika nyatanya, aku hanya ada untuk pelampiasan rasa kecewa.

Abah kemudian menganggapku ada dan mengasuhku murni karena rasa bersalah. Bukan karena rasa sayang seutuhnya.

Apakah salah jika ibu melahirkanku?

Kisah ini pun baru kuketahui setelah usiaku sepuluh tahun. Saat itu, Abah datang dengan murka kepada ibu. Kemudian ....

Luka menjadi sisa cinta mereka.

***

"Hey, ngelamun, Bu ...," ucap Mas Rangga sambil memukulkan map kosong ke kepalaku. Aku melihat kanan dan kiri, ternyata aku masih terbengong-bengong di depan kantor dosen.

"Mau masuk?" Mas Rangga menyandang ransel army-nya di kedua bahunya mengajakku masuk bersama. Lelaki ini selalu baik kepadaku sejak menjadi seniorku di BEM Fakultas. Kudengar, dia baru saja selesai ujian kompetensi dan bersiap untuk program internship selama satu tahun sebelum bisa mulai berpraktik.

Dulu, sekali. Dia lah yang menjelaskan kepadaku betapa rumitnya jalur mencapai lisensi dokter di kedokteran. Kuliah empat tahuh, dua tahun ko-ass di rumah sakit milik universitas atau rumah sakit mitra dan itupun belum langsung lulus. Ujian kompetensi akan menyambut para dokter muda yang selesai ko-ass baru mengikuti program internship setahun dengan penempatan yang random. Tak semua di kota, kebanyakan di pelosok negeri.

Aku masih diam di belakang Mas Rangga.

"Mas duluan deh, tadi dokter Rajiman mengabarkan kalau beliau masih mengisi seminar."

Mas Rangga berbalik ke arahku kemudian dia berbisik lirih, "Jika sampai program internship selesai dan hatiku masih berdebar jika di dekatmu maka, bolehkah aku melamarmu?"

Aku menggaruk pipiku yang tiba-tiba gatal terkena gigitan nyamuk kebun. Aww.

Dia berbalik, masuk ke dalam ruang dosen dan berlalu.

***

Mas Rangga adalah senior yang baik selama aku menjadi mahasiswi kedokteran. Dia selalu mau membantu saat aku kesulitan dengan banyak materi dasar. Anatomi tubuh manusia yang njlimet plus menghapalkan
 tonjolan-tonjolannya yang bahkan memiliki nama benar-benar membuatku pusing kepala.

"Ada sebelas sistem organ dalam bab anatomi tubuh manusia. Kemarin kau sudah masuk kelas dan juga sudah kusuruh memahaminya. Kau hapal sekarang?" Suaranya tegas. Mirip dosenku di kelas, dokter Martina.

Aku sedikit ragu.

"Kucoba ya, Mas?"

"Apa? Mencoba? Kau harus yakin, Nis. Tidak sekedar mencoba. Mau jadi apa pasienmu kelak, jika kau hanya coba-coba."

Aku memandang serius wajahnya dan dia tidak sedang menerima gurauan. Kurasa, aku salah jika memintanya mengajariku. Dia lebih galak dari dokter Nugros yang killer. Fix, hatiku sudah memilih untuk hanya memintanya sekali ini saja.

"Bismillahirrahmanirrahim!" teriakku.

"Satu, sistem saraf. Dua, sistem reproduksi, terus pencernaan, muskoskeletal, pernapasan, limfatik, endokrin, urinari, integumen, sistem imun dan sistem peredaran darah." Aku memandang daun di atas kepalaku yang bergerak tertiup angin laksana memberiku tepuk tangan.

Senyum manis sudah kusunggingkan di wajah tapi lelaki itu malah tidak memberikan sepatah katapun. Dia memberikan bukuku lalu berbalik pergi.

Selama sisa satu semester awal aku jarang bertemu lagi dengan Mas Rangga. Sebagaimana janjiku aku tidak lagi meminta bantuan kepadanya. Semua materi dasar baik anatomi tubuh, fisiologi tubuh dengan segala******bengeknya, berbagai macam sel, organel hingga DNA bisa kupahami dengan baik. Kecuali saat itu. Kami sedang masuk di laboratorium untuk materi muskoskeletal, harusnya aku bisa mendapat nilai baik tapi, dia membuatku kalah telak. Terkesima dengan caranya membelah media praktek untuk menunjukkan bentuk-bentuk skeleton dan ligamen semua hal yang kuhapal hilang sudah. Dia sangat ahli dan mumpuni. Aku tahu, dia pamer kepadaku.

***

Satu jam berlalu, aku masih menunggu di ruang dosen fakultas. Dokter Rajiman mengabarkan kalau dia sudah berada di parkiran. Lega sekali. Sayangnya, waktu seperti ini adalah waktu-waktu yang paling membuatku benci. Aku kembali teringat akan pertanyaan Kak Saphira saat itu.

"Kenapa kau masuk kedokteran?"

"Kau sedang caper sama Abah, kan? Pengen dapat sanjungan, kan?"

"Alhamdulillah, Pak Kyai. Putri Kyai jadi dokter. Iya, kan?" Dan semua pertanyaan menyudutkan itu membuatku semakin mantap memilih kedokteran. Satu dari sekian cita-cita paling populer yang selalu dipilih anak-anak kecil ketika mereka ditanya apa cita-citanya.

"Apa salah, jika aku ingin jadi dokter, Kak?"

"Apakah putri seorang madu tidak boleh memiliki cita-cita tinggi?"

Kak Saphira kemudian membuat drama. Dia merajuk kepada Abah agar membatalkan persetujuannya.

Namun, Tuhan masih mengembuskan angin keberuntungan ke arahku. Meskipun setiap malam kisah sedih ibuku selalu menjadi bayangan kelam dalam mimpiku.

***

"Abah, ceraikan aku!" teriak ibu malam itu. Abah menolak, dia keluar dari rumah untuk menghindari rayuan ibu agar mengabulkan keinginannya. Akan tetapi ibu tetap mengejar mobil Abah yang telah berlari kencang. 

Kemudian semua gaduh. Teriakan histeris orang-orang di sekitar jalan raya membuatku mempercepat langkah. Musibah menimpa ibuku, pengendara motor yang oleng karena tidak bisa mengendalikan kecepatannya menabrak ibu yang berlari dalam kebingungan.

____

Bersambung dulu.

Gimana kemarin teasernya ya? Okey tak? Wkwkw

Next dong yang banyak biar lanjuutt wkwk

Ini part lanjutan dari part kedua yang beneran. Wkwkw tapi tetap kasih semangat biar lanjut ya. Silahkan tinggalkan jejak wkwkwk (Tersenyum manis)