Alkisah

Angin musim panas begitu menyengat kulit. Sementara untuk mencapai kampus fakultas kedokteran juga begitu jauh. Gara-garanya, ban sepeda motorku pecah dan terpaksa kuparkir di kampus Fakultas Tekhnik. Belum lulusnya beberapa nilai co-ass ku membuat hari-hari dalam kehidupanku masih saja diwarnai wara-wiri ke kantir beberapa dosen. Sedangkan teman-teman yang lain sudah mulai menjadi asisten dokter senior di rumah sakit jujugan mereka.

Iri? Iya. Aku harus memacu diri ini setelah beberapa kali cuti dari kampus. Masalah yang tak pernah bisa kuidentifikasi dalam diriku membuatku sering frustasi sendiri. Sedangkan aku sama sekali tak tahu harus bercerita kepada siapa.

Aku benar-benar tidak mengenal arti keluarga walaupun selalu bersama mereka selama ini. Tidak ada pelukan, canda tawa, serta bahu tempat berkeluh kesah.

Mungkin, karena aku hanya seorang putri dari istri kedua yang dipermasalahkan kehadirannya.

Ibuku, selalu dianggap sebagai biang keladi rusaknya rumah tangga Bunyai dan Abah.

Senyatanya, aku pun tak pernah meminta untuk terlahir dari rahim sesiapa.

Tak bisakah seseorang lebih objektif melihat sesuatu? Jika kelahiranku adalah aib, maka bukan seharusnya aku yang menanggung semua tudingan jari mereka.

Aku pun bertanya. Kenapa Ibuku bisa jatuh cinta kepada Abah, menikah lalu melahirkanku jika nyatanya, aku hanya ada untuk pelampiasan rasa kecewa.

Abah kemudian menganggapku murni karena rasa bersalah. Bukan karena rasa sayang seutuhnya.

Apakah salah jika ibu melahirkanku?

Kisah ini pun baru kuketahui setelah usiaku sepuluh tahun.


***


Saat itu, Abah datang dengan murka kepada ibu. Kemudian ....

Luka menjadi sisa cinta mereka.