#Putri_Kedua_Kyai
#Nisrina
Part 3 awal
____
"Kau berulah apalagi? Nisrin?" Pertanyaan dosen penilaiku membuat dahiku berkernyit. Berulah? Aku sungguh tidak tahu apa jawaban dari pertanyaan itu.
"Kenapa bisa sampai nilaimu tidak disetorkan ke kampus? Kau tidak melakukan tugas jaga?"
Aku bahkan tak tahu kapan hari Minggu dan bukan hari Minggu saat itu. Mengingat seniorku yang bernama Mardiantoro itu selalu memberikan jam-jam padat saat aku ko-ass.
"Mungkin ada kesalahan, dok." Berusaha memberikan pembelaan sejujur-jujurnya, aku menjawab pertanyaan dokter dengan sesuatu yang tak pasti.
Dosenku melihat wajah letihku dari ujung kacamatanya lalu berujar, "baik. Akan kuuruskan. Kau sangat berpotensi Nisrin. Tetapi terkadang kau terlalu polos dan disepelekan orang."
Aku menyetujui hal itu dalam hati.
"Kelak jika kau sudah menjadi dokter beneran, semua pasienmu akan senang tapi tidak dengan rekan sejawatmu." Pak dosen membenarkan letak tumpukan proposal di depannya lalu menyudahi konsultasiku detik itu juga.
Lesu, melangkah keluar ruangan itu dengan menundukkan kepala, bayanganku teringat dengan syair puisi Mas Jamal yang dituliskan di lembaran pertama buku Sobotta-ku. Tepat saat aku melihat langit yang biru.
_
Tasalniy habiybaty
Malfarqu bainy wa bainassama'?
Annaki in dlohikat ansiy ilassama'
_
Duhai, Dinda. Tanyailah aku
Apa bedanya diriku dengan langit? (Bertanyalah seperti itu)
(Maka jawabanku adalah) Bedanya, saat kau tersenyum, maka aku lupa akan biru dan indahnya langit.
_
Senyum mengembang di wajahku. Benar, catatan Mas Jamal dalam buku Sorbatta milikku itu mampu menjadi mood booster terbaik bagiku. Disaat yang sama pula aku merasa bersalah kepada Mas Rangga. Buku itu adalah buku anatomi tubuh pertama yang diberikannya kepadaku. Bukan buku baru, tapi buku itu nyaris tanpa coretan. Entah bagaimana cara lelaki itu bisa mengenal dan memahami anatomi tubuh manusia yang rumit itu dengan gemilang. Sementara aku selalu menentengnya kemanapun dan membacanya berkali-kali demi bisa hapal di luar kepala. Sorbatta Rangga dan puisi Nizar Qabbani yang dituliskan Mas Jamal di halaman pembukanya.
Namun, langit mendadak mendung. Alih-alih memenuhi undangan teman-teman makan geprek yang tak habis-habis karena sibuk ngobrol, aku mempercepat langkahku menuju fakultas Teknik dan memeriksa apakah montir yang memperbaiki motorku sudah selesai.
***
"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un." Serempak orang-orang di luar ruang gawat darurat rumah sakit mengucapkan kata itu.
Abah menangis di dekat ranjang ibuku, sementara aku menunggu dan mengintip di luar dengan dua mbak santri yang mendadak berubah wajahnya. Mereka juga menitikkan air mata saat memelukku.
"Ning, yang sabar. Ya? Insyaallah Ibu khusnul khatimah."
Aku mengeja kata-kata dua mbak santri itu. Tubuhku lemas lalu merosot dan tak sadarkan diri. Hingga beberapa saat berikutnya aku terbangun di dalam ruang IGD tertidur dengan posisi yang bersisian dengan ibuku.
"I-bu." Terbata, aku memanggil namanya.
"I-bu."
"Kau akan tinggal dengan Abah, Nak. Kau akan baik-baik saja." Abah memelukku, pertama kali, juga terakhir. Karena selepas dia mengucapkan janji itu tak pernah lagi kumerasakan pelukannya yang dulu. Aku bahkan sudah lupa bagaimana hangat pelukan itu.
***
"Bagaimanapun, dia harus memanggil Saphira sebagai kakak. Walaupun lebih tua dia beberapa bulan." Bunyai Maryam berdiskusi dengan suaminya di meja makan. Aku yang mendengar ucapan itu hanya bisa diam dan menangis dalam hati. Sementara cecak di dinding dekat kamarku seperti berteriak menyoraki kemalanganku.
Apakah setiap mereka yang menjadi ibu tiri itu berat jika menyayangi mereka yang terlahir tidak dari rahimnya? Ada yang tidak, kan?
____
Kasih dukungan ben semangat melanjutkan lah ya. Sepuluh ewu jempol opo piye? Hehehe ?
Lebih lengkapnya episode ini, besok ya ?