Tepat seperti dugaan Sonya, sekarang Firza menatapnya dengan mata membelalak. Lenyap sudah semua kelembutan dan kemesraan yang tadi pria itu tunjukkan.
“Apa aku salah dengar?!”
Sonya kesal karena suara Firza langsung terdengar sinis. Dengan mudah emosinya terpancing. “Gak. Kamu gak salah dengar kok. Aku memang mendapat promosi jadi manager di kantor Singapore.”
“Terus kamu terima? Kamu bakal pergi ke Singapore?” Suara Firza makin tidak enak didengar. Nada kesal dan sinis bercampur jadi satu. Jika tadi pipi Sonya yang terasa hangat karena tersipu, kini giliran telinganya yang panas mendengar pertanyaan Firza.
“Ya iyalah, Za. Mana mungkin aku menolak kesempatan emas seperti ini. Gak gampang loh buat dapat promosi kayak gini. Kandidatnya juga banyak. Dan kantor pusat sudah memilih aku dari semua calon yang diajukan.” Sonya masih berusaha meyakinkan Firza. “Dan ini gak lama. Setelah satu atau dua tahun aku bisa minta mutasi kembali ke Jakarta.
“Astaga…” Firza mengusap wajah dengan telapak tangannya. Dia tidak ingin kehilangan kesabarannya. Musnah sudah suasana romantis yang baru saja mereka nikmati berdua. “Jadi demi pekerjaan, kamu tega meninggalkan Alea?”
“Ini bukan masalah tega atau gak tega, Za.” Sonya berusaha menutupi keraguan dalam suaranya. “Bulan-bulan pertama tentu aku harus pergi sendiri untuk menyiapkan semuanya. Kalau sudah siap, Nur dan Alea bisa aku bawa ke sana.”
“Lalu aku?” nada sinis kembali terdengar pada suara Firza. Sonya menyebut akan mengajak Alea dan Nur, baby sitter putrinya, tapi sama sekali tidak mengucapkan nama Firza.
Mata Firza menatap tajam Sonya, yang langsung gelisah karena merasa salah bicara. Ya, tentu saja dia juga ingin Firza ikut. Tapi Sonya tahu pasti kalau Firza tidak akan mau meninggalkan Indonesia. Firza sangat menyukai pekerjaannya sebagai dosen. Dia pasti tidak akan melepaskan kegiatannya itu. Apalagi tentu tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan sebagai dosen di Singapura.
“Kamu boleh ikut kalau mau…” ucap Sonya perlahan.
“Boleh ikut kalau mau? Kalau tidak? Atau kamu sebenarnya berharap aku tidak ikut? Serius nih kamu memang ingin berpisah denganku?”
“Sstt… jangan bicara keras-keras, Za. Malu.” Sonya melirik ke sekeliling mereka, menyadari sebagian pengunjung restoran sudah melihat perdebatan mereka. Dia tidak ingin merusak suasana romantis di restoran ini.
“Ini sama sekali bukan tentang hubungan kita, Za. Aku menerima tawaran ini semata-mata karena karir dan gaji yang naik hampir dua kali lipat. Belum lagi banyak fasilitas yang akan aku dapat. Bayangkan saja, aku bakal dapat apartemen mewah, asuransi, dana pensiun dan banyak fasilitas lainnya.” Sonya jadi ikutan emosi. Dia menjelaskan dalam nada rendah tapi penuh amarah.
“Iya, aku ngerti. Promosi ini memang kesempatan emas yang patut ditangkap. Tapi Alea gimana?” Firza tetap menohok dengan pertanyaan tentang Aleana. Putri mereka. “Dia masih kecil loh, Nya. Masih perlu perhatian dan kasih sayang ibunya. Masa’ kamu tega ninggalin anak sekecil itu begitu saja.”
“Siapa yang bilang aku bakal ninggalin Alea begitu saja. Kamu jangan main nuduh begitu dong, Za! Semua kan bisa dibicarakan baik-baik.” Sesungguhnya Alea jadi salah satu hal yang membuat Sonya ragu menerima promosi ini. Tapi dia pantang mengalah di depan Firza.
“Oke, sekarang kita bicarakan masalah ini baik-baik. Bagaimana rencanamu?” Firza melipat tangannya di dada. Matanya menyipit memandang Sonya. Ngomongnya ingin bicara baik-baik tapi sikap tubuhnya menyampaikan pesan berbeda.
Sonya gelagapan ditembak pertanyaan langsung seperti itu. Terus-terang dia belum membuat perencanaan detail. Pikirannya terlalu sibuk menyiapkan rencana untuk merayu Firza agar mengizinkan Sonya mengambil tawaran emas ini. “Ya… justru itu sekarang aku bicara denganmu untuk minta pertimbangan.”
“Kok aku yang kamu suruh memikirkan masalah ini? Kan kamu yang mendapat promosi. Saat aku keberatan, kamu bilang ingin bicara baik-baik. Sekarang kamu malah minta pertimbangan dari aku. Aneh deh kamu, Nya. Kalau kamu ingin tahu pendapatku, jelas aku tidak ingin kamu pergi jauh.”
“Jadi kamu tidak suka aku mendapat tawaran promosi? Kamu gak suka punya isteri yang karirnya melesat? Jangan-jangan kamu melarang karena cemburu soalnya karirmu jalan di tempat!” suara Sonya bergetar menahan emosi. Sekuat tenaga dia menahan air mata yang hampir menetes di pipinya. Bukan penolakan Firza yang membuatnya sedih. Sonya memang selalu menangis saat kesal atau marah.
Kaget sekali Firza mendengar kata-kata Sonya barusan. Dia bukan jenis pria yang mudah baper. Tapi Sonya kali ini benar-benar menyinggung perasaannya. Firza juga tahu bila dibandingkan dengan Sonya, karirnya sebagai dosen sangat biasa-biasa saja. Pendapatannya pun tidak terlalu besar. Tapi Firza punya lebih banyak waktu luang untuk mengasuh Aleana. Dia jarang pulang malam. Sabtu dan Minggu selalu libur. Tidak seperti Sonya yang kerap sampai di rumah menjelang dini hari. Waktu liburnya pun tidak menentu. Sudah biasa Sonya masih masuk kerja pada hari libur dan tanggal merah.
Sepanjang pernikahan mereka, Firza merasa kondisi seperti itu tidak pernah menjadi masalah. Hingga Firza kaget kala Sonya mengucapkannya seakan selama ini dia keberatan dengan karir Firza yang biasa-biasa saja dan penghasilan Firza yang dianggapnya kurang.
“Aduh, sulit sekali bicara denganmu sih. Siapa yang keberatan dengan promosi yang kamu dapat? Aku gak akan protes seandainya kamu jadi direktur atau komisaris sekalipun. Gak akan cemburu dengan karir kamu yang gilang-gemilang, asalkan kamu masih berkantor di sini. Di Jakarta. Supaya masih bisa mengurus Alea, di antara kesibukan kerjamu.”
“Sori, aku agak emosional,” Sonya berusaha menurunkan rasa kesalnya. “Maksudku Singapura kan gak jauh dari sini, Za. Cuma satu jam perjalanan dengan pesawat-”
“Terus kamu bisa pulang pergi setiap hari?” potong Firza
Sonya menggigit bibir karena pertanyaan konyol Firza terdengar sangat sinis di telinganya. “Ya, gak bisa tiap hari juga kali, Za.” Memangnya ongkos pesawat semurah bis kota. Tentu saja ini Cuma diucapkan Sonya dalam hati.
“Itu dia masalahnya. Kamu bilang gak bakal ninggalin Alea. Sekarang kamu bilang lagi gak setiap hari bisa pulang. Coba jelaskan padaku, Nya. Rasanya aku terlalu bodoh. Otakku gak nyampai dengan pemikiran kamu.”
“Za, bisa gak sih kamu bicara biasa aja. Gak usah pakai nada sinis dan menyindir-nyindir begitu?!”
“Loh, aku ini bicara biasa aja kok. Kalau kamu merasa aku menyindir…” Firza mengangkat bahu dengan dramatis. “Ya itu masalah kamu. Cuma please jangan mikirin perasaan kamu terus deh. Coba pikirkan kepentingan aku dan Alea.”
“Alea bakal baik-baik saja. Ada Nur yang bisa mengurusnya sehari-hari.”
Pandangan Firza tambah dingin saat menatap Sonya. Sampai Sonya merinding sendiri. Dia tahu sekali cuma dalam kondisi sangat marah saja Firza menatapnya seperti itu. “Barangkali kamu lupa, Nya. Nur itu statusnya baby sitter. Seharusnya dia cuma membantu kita orangtuanya dalam mengurus Alea. Bukan Nur yang punya kewajiban mengurus dan mendidik Alea, tapi kamu Ibunya dan aku bapaknya."
“Za, ini cuma sementara aja. Paling satu atau dua bulan-”
“Gak!!!” Firza membanting serbet makannya ke atas meja.
Haii… silakan baca juga cerita yang lain ya…
Cinta Rahasia Suamiku
Suami Perebut Warisan
Pembalasan Isteri Setelah Dipenjara
Happy Reading…
Login untuk melihat komentar!