Dusta

Di rumah, Sonya gelisah setengah mati. Sekuat tenaga dia berusaha tetap tenang saat menyuapi Alea. Kata orang, anak-anak bisa merasakan suasana hati ibunya. Sonya tidak ingin Alea ikut gelisah. Berharap putri cantiknya itu tidak terganggu pertengkaran orangtuanya.

Sonya segera memandikan Alea, setelah selesai makan. Mendengarkan ocehan balita itu selama bermain air mampu menghibur hatinya. Menghirup aroma minyak telon dan bedak bayi malah membuatnya terharu. Sebentar lagi hanya pada akhir minggu dia bisa menghidu keharuman yang menenangkan ini lagi. Mungkin bisa lebih sering kalau Firza lagi cuti dan berkenan membawa Alea ke Singapura.

Sonya berharap punya lebih banyak waktu bersama Alea saat di Singapura. Sonya sudah beberapa kali berkunjung ke Singapura untuk liburan maupun bekerja. Dia tahu di sana fasiltas transportasi umum jauh lebih baik daripada Jakarta. Bebas dari macet dengan menggunakan MRT hingga bisa menghemat waktu tempuh ke dan dari kantor.

Baru saja Sonya memanaskan air untuk membuat kopi, saat ponselnya berdering.

“Hai, Ren… ada apa,” sapanya ringan di tengah bunyi sendok beradu dalam cangkir. Dalam cangkir, kopi dan gula sudah siap diseduh.

“Kamu lagi ngapain, Nya?”

Aneh. Suara Reni terdengar begitu serius. Tidak seperti biasanya yang selalu riang dan penuh canda. “Mmmm lagi santai aja sih. Baru beres nyuapin sama mandiin Alea. Ini baru mau bikin kopi.”

“Alea sudah tidur?”

“Sudah. Ada apa sih, Ren. Kok kayaknya ada yang gawat.”

“Say, kamu bisa ke sini gak?” Reni menyebutkan nama dan alamat café yang Sonya kenal. Beberapa kali dia pernah ngopi-ngopi cantik di sana bersama Reni.

“Sekarang? Tapi aku kan baru mau buat kopi nih…” Sonya sedang agak malas keluar rumah. Dia ingin sekali ada di samping Alea kalau puterinya itu terbangun nanti. Niatnya untuk menghabiskan waktu bersama Alea masih belum luntur.

“Iya, penting. Banget. Aku tunggu sekarang. Jangan lama-lama.”

“Ren, ada apa sih? Aku jadi deg-degan tauk.”

Sejenak hening.

“Ren… ih, jangan main rahasia-rahasiaan gitu deh. Aku lagi bad mood dari tadi soalnya abis ribut sama Firza.”

“Eh, jadi kalian habis ribut? Aduh aku makin gak enak ngomongnya nih.”

“Bilang aja deh, daripada aku jadi tambah penasaran.”

“Sori ya, Nya. Sebenarnya aku gak mau bilang lewat telepon. Tapi… aku lihat Firza nih, lagi ngopi bareng cewek. Aku gak bakal heboh gini kalau ceweknya gak kita kenal.”

Sebentar. Mendengar Firza ngopi bareng cewek aja sudah mengejutkan buat Sonya. Sungguh berita yang sangat tidak enak didengar setelah mereka bertengkar tadi. Apalagi Reni bilang ceweknya kita kenal? Kita? Berarti Sonya juga kenal dong.

“Siapa?”

Tere!”

“Ha? Yang benar, Ren?!” Perlu beberapa saat sampai benak Sonya berhasil mencerna informasi yang disebutkan Reni. Firsa menemui Tere, teman kantor Sonya? Sungguh tidak masuk di akal. “Memangnya Firza kenal sama Tere?”

“Aku juga gak tahu, Nya. Tapi serius deh, aku kaget setengah mati. Aku pikir Tere memang mau ngopi sendirian atau menunggu siapa gitu. Ternyata gak lama Firza masuk dan langsung duduk berdua Tere.”

“Ngapain aja mereka di sana?”

“Aku lihat sih ngobrol aja. Tapi kayaknya akrab gitu. Sepertinya mereka ngomongin sesuatu yang serius. Gak terlalu jelas juga sih, Nya. Soalnya tempat dudukku agak jauh dan tertutup, jadi gak leluasa memata-matai mereka.”

Ada curiga menyusup di hati Sonya. Ini terlalu aneh sih. Dia tidak tahu kalau Firza mengenal Tere. Seingat Sonya dia sering ngobrol dengan Firza tentang teman-teman dan bos di tempat kerjanya. Beberapa kali juga menceritakan pada Firza, rasa kesalnya pada Tere. Anak baru yang langsung melejit di mata bos. Cewek cantik dan trendi yang sombong dan sulit diajak team work. Dan Firza tidak pernah menunjukkan komentar kalau dia mengenal Tere.

“Tunggu, Ren. Aku segera ke sana.” Sungguh Sonya penasaran setengah mati. Dia segera menyambar kuncil mobil dan memacu kendaraannya.

***

Begitu memasuki tempat parkir Café, Sonya melihat Reni sedang mondar-mandir dengan gelisah. Dia segera masuk ke dalam mobil Sonya yang sudah terparkir rapi.

“Sori, Nya. Terlambat. Mereka sudah pergi….”

Sonya langsung lemas mendengar keterangan Reni. Sia-sia deh dia susah-susah menyetir sampai ke sini. “Ya sudah, Ren. Mau gimana lagi. Coba certain aja deh kejadian lengkapnya.”

“Jadi gini, kebetulan tadi selesai shopping, aku lagi iseng pingin ngopi. Belum lama aku duduk di dalam, tiba-tiba Tere masuk. Kayaknya dia keburu-buru dan gelisah deh, sampai gak ngeliat aku yang duduk di pojokan. Aku juga lagi males nyapa dia dong. Masih kesel sama kelakuannya di kantor. Apalagi dia terang-terangan mengincar posisi yang dipromosikan buat kamu.” Reni berhenti untuk mengambil napas setelah bicara sepanjang itu. Sementara Sonya masih diam mendengarkan dengan wajah muram.

“Apa ya… yang mereka omongin? Kamu sempat dengar gak?”

“Gak sih, Nya. Aku gak bisa denger obrolan mereka, soalnya tempat dudukku lumayan jauh dari mereka. Tapi jangan takut. Aku sempat mengambil foto-fotonya. Ini…” Reni menyodorkan ponselnya.

Wah ini yang penting. Foto mereka bisa jadi barang bukti. Entah bukti untuk apa, Sonya belum tahu. Yang penting dia punya fakta dan bukan tuduhan semata bila bertanya pada Firza nanti.

Gemetar jari Sonya menggeser foto-foto yang tampil di layar. Foto pertama, sepertinya Firza baru saja datang. Mereka terlihat sedang cipika-cipiki, alias saling mencium pipi kanan dan kiri. Baru gambar pertama saja sudah membuat dada Sonya terbakar emosi.

“Serius…, Ren? Mereka seakrab itu sampai cipika-cipiki?”

Reni tidak menjawab. Dia hanya mengusap bahu Sonya dengan wajah prihatin. “Tenang, Nya. Jangan langsung berprasangka dulu ya. Coba nanti ditanyakan baik-baik pada Firza. Pasti dia punya penjelasannya.”

“Huh, aku gak yakin, Ren. Penjelasan apa yang bisa dia katakan untuk menjelaskan tindakannya bertemu perempuan lain secara sembunyi-sembunyi. Pakai cipika-cipiki lagi.”

“Nya, sori ya bikin kamu jadi kesal. Aku gak bermaksud jelek loh. Gak ingin juga kamu jadi bertengkar lagi dengan Firza.”

“Gak pa-pa lagi, Ren. Aku malah berterima kasih sama kamu. Kalau kamu gak kasih tahu bisa-bisa aku terus-menerus dibohongin Firza.”

“Tapi janji loh, Nya. Kamu bakal tanya Firza baik-baik. Jangan langsung melabrak emosional.”

“Janji.” Sonya mengangkat jarinya membentuk huruf V, walau dia sendiri tidak yakin bisa memenuhi janjinya. Paling tidak ucapannya telah membuat Reni tidak berkata lagi dan membiarkan Sonya lanjut melihat foto-foto di ponselnya.

Gambar kedua, ketiga dan selanjutnya makin membuat Sonya pusing. “Ren, tolong kirim foto-foto itu ke aku ya…?” katanya sambil mengembalikan ponsel Reni.

Tanpa bicara, Reni mengangguk dan memenuhi permintaan Sonya.

Thanks, Ren. Kayaknya lebih baik aku pulang sekarang deh.”

“Mau aku antar, Nya. Kamu pucat sekali.”

“Gak lah, aku masih mampu menyetir kok. Lagian kamu kan juga bawa mobil.”

Dengan berat hati Reni keluar dari mobil Sonya. “Hati-hati ya, Nya. Kabarin kalau kamu sudah sampai rumah.”

“Tenang aja, Ren. Aku baik-baik aja kok. Gak bakalan bunuh diri gara-gara Firza ngopi sama Tere…” tawa Sonya terdengar kering dan dipaksakan.

“Nya, jangan becanda begitu. Kamu malah bikin aku deg-deg-an loh.” Tidak terpancing dengan canda Sonya, Reni menatapnya tanpa senyum.

“Iya… iya… tenang aja, Ren. Nanti pasti aku WA pas sampai rumah.”

***

Suasana rumah yang sepi menyambut Sonya saat memarkir mobil di carport. Tidak terlihat motor Firza. Berarti dia belum pulang. Kemana? Apakah melanjutkan pertemuan dengan Tere? Pertanyaan-pertanyaan menyerbu benak Sonya.

Setelah berganti baju dan membersihkan diri, Sonya mampir ke kamar Alea. Membelai kepala dan pipi puterinya yang telah tertidur lelap. Lalu dia kembali ke ruang tamu dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Sonya mengambil ponsel dan mengecek, siapa tahu ada pesan dari suaminya. Nihil. Tidak ada missed call atau pesan dari Firza.

Sonya menyandarkn punggungnya di sandaran sofa sambil memejamkan mata. Ingin mengusir foto-foto Firza dari ingatannya, tapi bayangan adegan dalam foto-foto itu malah makin jelas tergambar.

Kurang ajar memang Tere kalau benar-benar bermain api dengan Firza. Sonya kesulitan menahan emosinya. Dia berniat langsung menginterogasi Firza begitu datang nanti. Karena itu dia sama sekali tidak berniat untuk beristirahat di kamar walau tubuh dan hatinya begitu lelah.

Sonya tidak tahu berapa lama dia tertidur. Yang jelas suara derum motor Firza membuatnya tergeragap dan terjaga. Ruang tamu masih gelap. Sejenak Sonya mengerjap-ngerjapkan matanya agar terbiasa dengan suasana minim cahaya.

Klik. Bunyi pintu terbuka. Sonya menegakkan punggungnya. Sekarang dia sudah benar-benar terjaga, meski kantuk masih sedikit memberatkan matanya.

“Eh, kamu kok di sini, Nya?!” Firza terkejut sekali melihat sosok Sonya duduk di sofa begitu lampu menyala.

“Kenapa kaget? Kenapa tidak boleh tidur di sofa? Ini rumahku juga. Aku bebas dong tidur dimana saja. Di sofa, dapur, kamar mandi…”

Dahi Firza berkerut. “Tentu kamu bebas tidur di mana saja. Rumah ini kan dibeli dengan uangmu. Sori, aku cuma kaget aja tadi. Kukira kamu sudah di kamar.” Firza melengos lalu berlalu menuju ruang tidur kami.

“Za, tunggu sebentar!” sentakku, kembali emosi mengingat kelakuannya dengan Tere. “Darimana kamu?”

Sejenak Firza terdiam. Hendak protes pada pertanyaan Sonya yang dirasanya kurang sopan. Tapi dia membatalkan niat. Terlalu lelah dengan pertengkaran di antara mereka. “Jalan.”

“Kemana?” Sonya bergerak menghadang Firza. Mereka kini berdiri berhadapan.

Firza menghela napas. “Mutar-mutar saja tanpa tujuan.”

Sepasang mata bulat Sonya menyipit. “Mutar-mutar saja? Gak mampir ke suatu tempat gitu?” sepasang tangan Sonya terlipat di dada. Menanti kejujuran keluar dari bibir Firza

“Gak!” Firza menyentuh bahu Sonya. Bermaksud mendorong pelan Sonya agar menyingkir dari hadapannya. Firza ingin segera beristirahat di kamar. Tapi… PLAKKK!!! Sonya menepis keras tangan Firza.

“Sonya!!!” tak sadar, reflek Firza membentak.

 

Haii… silakan baca juga cerita yang lain ya…

Cinta Rahasia Suamiku

Suami Perebut Warisan

Pembalasan Isteri Setelah Dipenjara

Happy Reading…



Komentar

Login untuk melihat komentar!