Tekan tombol hijau subscribe agar dapat notif kalo akoh up part selanjutnya 🙏"Kian. Tolong cepat bawa Bira ke rumah sakit!" pinta Senandung begitu tahu siapa yang menyerempet anaknya.
Kian mengangguk cepat, bergegas lajang itu mengangkat tubuh Bira masuk ke mobil, diikuti oleh Senandung di belakang.
Melihat Sena terus saja menangis khawatir sambil terus memeluk sang putri, dengan nada penuh penyesalan Kian berucap," maafkan aku, Sena. Sungguh aku tak melihat, tiba-tiba saja Bira main selonong lewat."
"Iya. Di sini Bira yang salah." Senandung mencium pucuk kepala sang anak hatinya amat takut kehilangan.
"Kita berdoa saja, semoga tidak ada yang serius mengingat aku melajukan mobil ini dengan pelan." Kian mencoba memberi ketenangan pada Senandung.
Begitu mereka sampai di rumah sakit, tubuh Bira direbahkan di brankar. Dengan cepat para tenaga medis mendorongn brankar tersebut menuju ruang IGD, diikuti oleh Sena dan Kian.
Perawat menutup pintu ruang IGD, dan melarang Sena yang merangsek ingin ikut masuk.
"Sena. Tenanglah! Aku yakin tidak terjadi apa-apa pada, Bira," ujar Kian seraya membimbing Sena duduk di kursi tunggu.
"Dia hartaku satu-satunya. Aku tidak punya keluarga lagi selain dia." Sena tergugu dengan bahu yang terguncang, hatinya amat takut kehilangan putri semata wayangnya.
"Aku yakin tidak ada yang serius, percayalah!"
Kian meraih kepala Senandung dan membenamkan wajah wanita itu pada dadanya, membiarkan kemeja putihnya basah oleh air mata.
Tangan Kian membelai lembut rambut Senandung, mencoba memberi rasa aman pada wanita yang amat ia sayang.
Tak lama berselang, muncul dokter dari dalam ruang IGD. Kian yang menyadari, segera memberi tahu pada Senandung yang masih tersedu-sedu di dada bidangnya.
"Dokter. Bagaimana keadaan anak saya?" tanya Senandung begitu melihat sang dokter melintas di depannya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan! Hanya luka lecet biasa." Jawaban sang dokter membuat Senandung dan Kian bernafas lega.
Dengan menyeringai kecil, sang dokter berujar," anak ibu sudah bisa dipindah di ruang inap biasa."
"Alhamdulillah!" Senandung dan Kian bersyukur bersama.
Tiga puluh menit kemudian, Gembira sudah dipindah di ruang inap biasa. Dengan lembut Senandung menciumi tangan anaknya yang masih terlelap, sedangkan Kian hanya bisa tersenyum melihat itu.
"Seminggu ini, aku tidak melihatmu masuk kerja. Ada apa?" tanya Kian hati-hati.
Senandung hanya menoleh Kian sekilas tanpa berniat menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Ada masalah, Sena?" tanya Kian lagi.
"Aku memutuskan untuk keluar dari tempat kerja itu," jawab Senandung pelan.
"Kenapa? Apa ada kaitannya dengan Adam dan Ratna?"
Senandung tercekat mendengar pertanyaan Kian.
"Katakan apa yang terjadi?" tanya Kian sambil memegang pundak Senandung.
Tidak lama berselang muncul Epa sahabat Sena di pintu. Gadis itu membawa pakaian ganti dan rantang makanan.
"Sena. Bagaimana keadaan Bira?" tanya Epa seolah menyelamatkan Senandung pertanyaan Kian.
Setelah meletakkan tas besar dan makanan di meja. Epa mendekati Senandung, gadis itu ingin melihat keaadan Bira.
"Hanya lecet-lecet kecil," jawab Senandung pendek.
Melihat Sena sudah ada yang menemani, Kian berniat kembali ke kantor.
"Aku musti balik ke kantor. Kau tidak apa-apa kan aku tinggal dulu?" pamit Kian pada Senandung.
Senandung menggeleng tak masalah. Setelah tersenyum ramah pada Epa, Kian melangkah pergi.
"Omegot! O em ji ji ji! Sena. Bagaimana kau bisa mengenal seorang Kian Bagus Saputra? Anak dari Bapak Indra Saputra pemilik kafe tempat aku bekerja sekarang," tanya Epa antusias begitu Kian keluar.
"Dia teman lamaku," jawab Senandung pendek.
"Dilihat dari cara dia memandang kamu, sepertinya Kian ada rasa kamu deh," goda Epa sambil mengedip-edipkan matanya dengan lucu.
Senandung hanya menyeringai kecil. Wanita itu beringsut mengambil makanan yang dibawa sahabatnya itu.
***
Dua hari kemudian
Dokter sudah mengizinkan Gembira untuk pulang. Gadis kecil itu bersorak senang. Saat Kian datang menjemput mereka sambil membawa sebuah boneka panda besar untuknya.
"Terima kasih, Om," ucap Bira sambil memeluk boneka itu dengan erat.
"Bagaimana sudah siap?" tanya Kian pada Senandung yang telah selesai berkemas.
Senandung mengangguk mantap. Kian segera menggendong Bira keluar dari ruangan itu, diikuti Senandung di belakang sambil menjinjing tas besar.
Di sepanjang jalan Gembira berceloteh lucu. Membuat Kian berkali-kali mengacak poni anak itu dengan gemas, sedangkan Senandung hanya bisa tersenyum simpul melihatnya.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, mereka sampai di rumah kontrakan Epa. Gadis itu tidak bisa menyambut kedatangan mereka karena sedang bekerja.
Setelah membuka pintu Senandung mempersilakan Kian masuk. Mata Kian menyapu ruangan itu sebentar. Kemudian duduk di samping Gembira yang asyik dengan boneka pemberiannya, sedangkan Senandung sibuk membuat minuman di dapur.
"Rumah ini sempit untuk kalian," ujar Kian sembari menerima secangkir kopi yang disuguhkan Senandung, lalu menyesapnya sebentar.
"Aku akan mencarikan tempat yang layak buat kalian, sekaligus tempat usaha untukmu." Kian menaruh cangkir di meja.
Senandung terkesima mendengar penuturan Kian. Dengan cepat wanita itu menggeleng.
"Tidak, Kian! Itu berlebihan," tolak Senandung tegas.
"Tidak ada kata berlebihan untuk orang yang aku cintai."
"Cinta?" tanya Senandung dengan memincing.
"Ya. Aku mencintaimu sejak pertama kita jumpa delapan tahun yang lalu, Sena," ungkap Kian sembari memegang jemari Senandung dengan lembut. Kemudian lajang itu kembali bertutur," Dan aku tak mau kehilanganmu."
Kian menatap lekat mata Senandung, membuat wanita itu menunduk.
"Tidak, Kian. Aku tak pantas untukmu," tolak Senandung dengan lirih sembari melepas gengaman Kian pada jemarinya.
Senandung menunjuk Gembira yang tengah sibuk memainkan bonekanya seraya berucap," lihat aku sudah punya dia!"
"Tak masalah. Aku menerimamu apa adanya," timpal Kian tulus.
"Tidak. Masih banyak wanita baik di luar sana, lagian apa kata orang. Banyak yang tidak setuju bila aku bersanding denganmu karena aku ini wanita hina," tolak Senandung dengan nada getir. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menguatkan hati.
"Persetan dengan omongan orang! Aku tidak peduli. Dengar Sena! Aku mencintaimu apa adanya. Aku tak peduli dengan semua masa lalumu," ucap Kian dengan menggebu.
Pemuda itu memegang dagu Senandung yang menunduk, agar mendongak menatapnya.
Ketika Kian akan meneruskan perkataan, ponsel di saku kemeja bergetar. Segera dia mengangkat gawai itu sambil berjalan menjauhi Sena.
"Hallo, Mbak Ratna. Ada apa?" tanya Kian begitu melihat siapa yang menelponnya.
Senandung sedikit tercekat mendengar Kian menyebut nama Ratna. Wanita itu memperhatikan Kian yang manggut-manggut menerima telpon dari istri Adam itu.
"Oke."
Setelah mengucap kata itu, Kian memutus sambungan telpon. Kemudian dia kembali mendekati Senandung.
"Aku harus kembali ke kantor. Oh ya, tadinya Ratna berniat mengundurkan diri, tapi entah mengapa dia membatalkan. Padahal aku pikir kau yang akan menggantikan kedudukan dia," ujar Kian sembari memegang bahu Senandung.
Senandung hanya diam seraya melepas pegangan Kian pada bahunya. Wanita itu berjalan membuka pintu untuk Kian keluar.
"Dengar Sena! Sekali lagi, aku sangat mencintaimu," ucap Kian dengan penuh ketulusan.
Senandung terharu mendengar itu. Namun, wanita itu hanya bisa terdiam.
Karena melihat Sena diam membisu, bergegas Kian menuju ke mobil. Setelah melambaikan tangan pemuda itu melajukan mobil menjauh dari rumah kontrakan Sena.
Tiga puluh menit kemudian.
Ketika Senandung sedang terlelap bersama putrinya, sayup-sayup dia mendengar ada orang yang menggedor pintu. Dengan sedikit malas, wanita itu bangkit untuk melihat siapa yang datang.
Begitu pintu terbuka, mata Senandung terbelalak melihat Adam sudah berdiri di depannya sambil menatap tajam.
Lelaki itu segera mendorong tubuh Sena masuk, dan memeluk erat wanita itu begitu ia menutup pintu.
"Lepas, Kak!" Senandung memberontak, tapi Adam justru semakin melilit tubuhnya dengan erat.
"Aku sangat merindukanmu, Sena, " ucap Adam sembari memoncongkan mulutnya berniat mencium Senandung.
Namun, dengan sekuat tenaga Senandung mendorong tubuh Adam menjauh.
"Kenapa Sena? Sepuluh hari aku mencarimu. Apa kau tidak merindukan aku?" Kembali Adam menarik tubuh Senandung dalam dekapan.
"Lepaskan aku, Kak!" seru Sena geram, tenaganya tak cukup kuat untuk melepas dekapan kuat Adam.
"Aku tidak akan melepaskanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Sena."
"Ingat Mbak Ratna sedang mengandung anakmu, Kak!"
"Persetan dengan wanita tua itu! Aku tidak mencintai dia!"
Adam semakin mengunci rapat tubuh Sena. Membuat wanita itu tidak bisa berkutik.
"Kak Adam, aku mohon lepaskan aku!" jerit Sena marah dan sedih.
Tiba-tiba pintu terbuka.
"Adam ... Lepaskan Sena!" teriak Kian lantang.
Next.