4. Amarah Ratna



Kian memutuskan untuk kembali menarik langkahnya, sebelum kedatangannya disadari oleh dua sejoli yang tengah dimabuk cinta itu.

Dengan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya, pemuda berwajah tenang itu melangkah pergi menjauh dari dapur.

"Om Kian!"

Bahkan panggilan Gembira padanya, tak dihiraukan. Kian lekas menuju mobil, sedang bocah imut itu kembali asyik dengan boneka kesayangannya.

Setelah menutup pintu mobil dengan kasar, Kian tampak berpikir sejenak.  Kemudian dia merogoh ponsel pintar dalam saku kemeja.

Kembali, pemuda itu terlihat berpikir sejenak. 

"Fix. Ratna harus tau," ucapnya meyakinkan diri.

Bergegas pemuda berusia dua puluh enam tahun itu menghubungi istri Adam.

"Hallo ... Mas Kian," sapa Ratna terdengar ramah di sebrang.

"Ya hallo. Mbak Ratna sudah memberi tau pada Sena, perihal keinginanku kemarin?" tanya Kian tenang.

"Belum. Ini saya mau on the way ke rumah Sena. Mau kasih tau kabar tersebut, sekalian main, dah lama gak ke sana."

"Bagus. Lebih cepat, lebih baik. Makasih ya, Mbak Ratna."

"Sama-sama, Mas Kian." Ratna mengusap tombol merah, saat mendengar Kian memutus sambungan telpon.

Bergegas wanita bertampang tegas itu, memasukan ponsel pada tas kecil rantai emasnya.

Sepuluh menit kemudian, supir taksi menurunkan Ratna di halaman rumah Senandung.

Dahi Ratna sedikit berkenyit, tatakala melihat ada mobil Adam terpakir rapi di halaman rumah Senandung.

Namun, wanita itu tak ambil pusing, dengan ringan dia melangkah masuk ke rumah.

"Hei cantik, kok sendirian?" sapa Ratna manis pada Bira yang tengah bermain dengan bonekanya.

"Iya. Mbak Alin pergi ke rumah temannya. Bunda lagi bikin kue di dapur, aku gak boleh ganggu katanya."

Ratna tersenyum geli, mendengar penuturan polos Gembira.

"Om Adam mana?"

"Di dapur, ikut bantuin Bunda."

"Oh," sahut Ratna pendek.

Bergegas wanita itu meninggalkan Bira, yang kembali larut asyik dengan mainannya.

Begitu sampai dapur, seketika mata Ratna terbelalak lebar. Hatinya terasa ditusuk ribuan jarum, melihat pemandangan di depannya.

Tampak Adam tengah menggulung rambut Senandung, yang terus saja menghias kue. Kemudian dengan lembut, Adam mencium tengkuknya. Membuat gadis itu bergidik kecil dan menolehnya sekilas, lantas kembali meneruskan aktivitasnya. Sungguh adegan yang romantis!

Namun, tidak untuk Ratna. Baginya, adegan itu laksana racun yang meremas hatinya. 

Setelah seperkian menit mematung, amarah Ratna meluap. Dengan geram wanita itu mendekati keduanya, reflek dia menarik rambut Senandung dengan kasar.

"Dasar wanita murahan!" umpat Ratna naik pitam, tangannya terus saja menarik rambut Senandung ke bawah membuat gadis itu menjerit kesakitan.

"Lepaskan, Ratna! " bentak Adam mencoba menolong Senandung, tangannya melepas paksa cengkraman Ratna pada rambut Senandung.

"Dasar wanita jalang! Sudah kutolong, malah menusukku dari belakang!" Ratna ingin menampar pipi Senandung, tapi tangannya dijegal oleh Adam.

"Lepas Adam! Kau juga sama! Kalian sama-sama kupungut dari jalan, dan sekarang mengkhianati aku?" 

Pecahlah tangis Ratna, dada wanita itu turun naik menahan sesak di dada.

"Maafkan aku, Mbak." Senandung menangkupkan kedua tangan di dada. Wanita itu menunduk merasa amat bersalah.

"Hentikan tangisan buayamu wanita jalang!" geram Ratna dengan gigi yang gemeletuk.

"Ratna, jaga ucapanmu!" hardik Adam tak kalah geram.

"Kenapa? Kenapa kau membela dia? Jangan bilang kau mencintai dia, ya?" tanya Ratna sambil memukuli dada bidang Adam.

"Ya. Aku sangat mencintai Sena," jawab Adam mantap.

Mulut Ratna ternganga. Darahnya terasa mendidih mendengar pengakuan Adam. Dengan berang dia menyerang Senandung, tapi suaminya dengan cepat menolong wanita itu.

"Enyah kau dari hadapanku, wanita jalang!" usir Ratna pada Senandung dengan geram.

"Bunda ...." 

Gembira datang dengan wajah ketakutan, mendengar pertengkaran para orang dewasa itu. Senandung segera memeluk putrinya, bergegas dia melangkah ke luar dari dapur. Namun, Adam menjegal tangannya.

"Kau tidak akan pergi, ini rumahku!" larang Adam pada Senandung.

"Tidak, Kak. Aku harus pergi. Apa yang kita lakukan ini salah. Kembalilah pada Mbak Ratna." Senandung menggeleng dan memohon.

"Sena, aku tidak mencintai wanita itu. Dia memperlakukan aku seperti boneka. Aku muak," pungkas Adam tegas.

Kembali hati Ratna teremas mendengar pengakuan dari orang yang sangat dia cintai itu. Air matanya mengalir dengan deras. Tubuhnya luruh ke lantai, bahunya berguncang hebat.

"Aku harus pergi, Kak."

"Tidak Sena!" larang Adam keras, bahkan dia mencengkram lengan Senandung dengan keras. Tak dihiraukannya tangisan Bira yang ketakutan.

"Ja-jadi ... Kau lebih menginginkan aku yang per-gi?" tanya Ratna terbata di sela isak tangisnya.

"Tidak ada yang boleh pergi, kau juga tetap di sini!" 

Ratna tertawa miris mendengar omongan Adam, dia menggeleng dengan heran. Dengan kasar wanita itu menghapus air matanya, lantas mendekati Adam yang masih mencengkeram lengan Senandung.

"Oh ... jadi sekarang kau sudah merasa hebat? Mau beristri dua, iya?" Ratna mendelik marah pada Adam.

"Kalo kau tak bersedia, aku akan tetap memperistri Sena," jawab Adam tenang.

"Dan kau akan menceraikan istrimu, yang tengah hamil ini?"

Seketika Adam melepas cengkraman tangannya pada Senandung, dirinya terkesima mendengar pengakuan istrinya.

"A-ku mengandung a-nakmu Adam, anak yang kau tunggu-tunggu selama enam tahun ini," ungkap Ratna lirih, terdengar pilu dan menyayat hati.

Menyadari Adam tengah lengah, Senandung bergegas menuju kamarnya sambil menggendong tubuh Bira. Dengan cepat dia mengambil beberapa lembar bajunya dan baju sang putri, lantas memasukan ke tas besarnya.

Tanpa mendengar celotehan sang putri yang kebingungan, Sena menggandeng anaknya ke luar rumah.

Di halaman dia berpapasan dengan Alin, gadis itu menanyakan mau pergi ke mana. Namun, Senandung tak menjawab, wanita itu hanya menggeleng sambil terus menarik lengan Bira meninggalkan Alin yang menatapnya heran.

"Bunda, kita mo ke mana?" tanya Bira polos sambil terseok mengikuti jalan Senandung yang terburu-buru.

"Bunda ... Kita mo ke mana?" Bira mengulangi pertanyaannya dengan kesal, karena sang ibu tak jua segera menjawab pertanyaannya.

"Ke mana saja," sahut Senandung pendek.

Ketika melihat taksi melintas, tangan Senandung melambai menghentikan laju taksi tersebut.

"Mau ke mana, Bu?" tanya supir taksi ramah.

"Jalan aja dulu, Pak!" suruh Senandung pelan, pikirannya sungguh bingung hendak pergi ke mana.

"Kita mau ke mana, Bun?"

"Sayang, diem dulu ya."

Senandung memeluk putrinya dengan erat, pikiran wanita itu sungguh kalut.

'Tidak mungkin aku kembali ke rumah bibi," batin Senandung gusar.

Pikiran wanita itu menerawang jauh, tiba-tiba Senandung teringat salah satu teman karibnya di karaoke yang sudah resign.

'Epa. Aku ke rumah dia saja,' batin Senandung mantap.

Lantas dengan pasti, Senandung menyebutkan alamat sahabatnya kepada supir taksi itu.

Tiga puluh menit kemudian, taksi itu berhenti di depan rumah kontrakan kecil.

Setelah membayarkan uang pada pak supir, Senandung menggendong anaknya yang sudah tertidur menuju rumah kontrakan sahabatnya itu.

Senandung mengetuk beberapa kali, pintu pun terbuka. Seorang gadis sepantaran dia muncul, gadis itu menyipitkan matanya melihat kedatangan Senandung dengan menenteng tas besar dan menggendong anaknya.

"Ijinkan aku tinggal di sini sementara." 

Tanpa menunggu si empunya rumah, Senandung masuk dan segera merebahkan tubuh anaknya di sofa ruang tamu.

"Jangan bilang kau habis diusir oleh istrinya Adam ya?" ujar teman Senandung dengan nada sinis.

Melihat Senandung mengabaikan gurauannya, teman Senandung tertawa geli.

"He ... He ... He." Kekehan geli Epa, dibalas lirikan dongkol oleh  Senandung.

"Epa, hentikan ejekanmu!" hardik Senandung kesal.

"Ternyata ramalanku tidak meleset. Kau pasti akan diusir karena cinta terlarangmu itu. Ha ... ha." Kembali gadis yang bernama Epa itu terkekeh geli.

"Aku hanya ingin membalas baik budinya kak Adam. Saat malaikat itu menyatakan cinta. Aku tak kuasa menolak, wakau kini harus menyesalinya, Epa," bantah Senandung lirih.

"Apapun alasannya, kau tetap salah! Adam suami orang, dan kau adalah duri dalam rumah tangga mereka."

"Iya. Makanya aku pergi dari sana karena merasa bersalah." Senandung menunduk. Dis terlihat sangat menyesali perbuatannya.

"Lalu langkah selanjutmu apa, Sena?" tanya Epa kemudian.

"Entahlah. Aku juga bingung."

Senandung tampak mengeluh gusar. Perlahan tangannya mengelus erat rambut sang putri yang masih terlelap dalam damai.

*** 

Satu minggu sudah, Senandung tinggal di rumah Epa. Putrinya beberapa hari ini merajuk ingin kembali ke rumah lama. Kangen dengan mbak Alin dan om Adam katanya.

Tiap hari bocah kecil itu menangis minta pulang. Maka untuk menghibur sang anak, Senandung mengajak putrinya pergi ke sekolah dengan menaiki bus.

Langkah Senandung mendadak terhenti saat dari kejauhan, dia melihat Adam berdiri di depan pintu gerbang sekolah Gembira.

"Om Adam ...," panggil Bira dengan keras, bocah kecil itu tampak bahagia melihat lelaki itu.

Mendengar namanya dipanggil, reflek Adam menoleh. Dari sebrang dia melihat Gembira melambaikan tangannya, tapi dengan cepat Senandung menarik lengan putrinya menjauh.

"Sena tunggu ...!" Adam berseru.

Namun, Senandung tak mengindahkan panggilannya. Ketika Adam berniat mengejar Senandung dan anaknya, sebuah bus melintas membuat dia berhenti sejenak.

Kemudian setelah bus itu berlalu, Senandung dan anaknya sudah tak tampak.

"Sial ...!" umpat Adam kesal sambil menendang kaleng minuman kosong dengan geram.

Sementara itu, Senandung berjalan cepat sambil menarik lengan Bira menjauhi area sekolah.

"Bunda. Tadi itu Om Adam, kenapa kita malah pergi?" tanya Bira bingung.

"Tidak apa-apa," jawab Senandung singkat.

"Kenapa kita tidak jadi ke sekolah?" tanya Bira dengan langkah terseok mengikuti langkah ibunya yang tergesa-gesa.

"Sekolahnya lain kali, kita pergi beli ice cream aja, ya," bujuk Senandung pada sang putri.

"Gak mau. Bira mo ke sekolah, udah kangen sama temen-temen," tolak Bira sambil melepas pegangan ibunya.

"Ayolah, Sayang. Jangan membantah seperti itu! Kita beli ice cream yang banyak yuk!"

Senandung kembali menarik lengan putrinya, menuju ke sebuah mini market. 

Namun, bocah kecil itu menolak pergi, bahkan dengan kasar dia menepis cekalan sang ibu pada tangannya. Berhasil lepas, gadis kecil itu berlari menjauhi sang ibu.

"Bira tunggu ...!" pekik Senandung khawatir.

Berlari dia mengejar sang putri, tapi dengan mata kepalanya sendiri Senandung melihat ada sebuah mobil yang hendak melintas.

"Bira ... Awas," jerit Senandung memperingatkan anaknya. Namun, sang putri tak menggubris teriakan ibunya, gadis kecil itu berlari menyeberangi jalan berniat menuju ke sekolahnya.

"Bira ... Tidak!!"

BRUGH

Terlambat. Tubuh Gembira sudah jatuh terserempet mobil. Senandung bergegas berlari menghampiri anaknya.

"Bira ...," raungnya panik sambil membangunkan anaknya yang pingsan.

"Sena," panggil pengemudi yang menyerempet putrinya.

Senandung mendongak, ketika namanya dipanggil.

"Kian."

Next.


Komentar

Login untuk melihat komentar!