6. Akad Cinta : Jawaban Pesan Menyebalkan
Seluruh kru sudah siap pada tempatnya masing-masing. Praha baru tiba beberapa menit sebelum shooting dimulai. Jadilah jadwal hari itu agak terlambat. Belum lagi dia harus memakai make up dan juga kostum.

"Hari ini manajer Amarta akan datang ke sini tidak?" tanya Praha.

"Kenapa memang, Nona?" tanya Mila, asisten Praha.

"Aku ingin bertemu dengan dia. Rasanya membosankan jika dia tidak ada." Praha memainkan ponselnya. Dia akhirnya berinisiatif untuk mengirim pesan pada pujaan hatinya itu.

[Praha : Bismillah, dengan izin Allah dan restu mama papa, aku terima engkau menjadi suamiku]

Praha tersenyum dengan wajah memerah. Dia menunggu saat-saat Arta membalas pesannya itu. Tak lama salah satu asisten sutradara datang. "Praha, siap-siap buat take, ya?" pesan pria itu.

"Siap! Jangan khawatir denganku. Meski aku telat, aku ini menjiwai peran. Lain dengan yang paling rajin datang, tapi malah jadi beban," sindir Praha. Asisten sutradara hanya menunjukkan barisan gigi putihnya.

"Maksud Nona bagaimana?" tanya Mila bingung. Hairstylist Praha membuka jepitan rambut gadis itu hingga mulai terlihat bentuk rambut yang mereka tata.

"Iya itu, yang kalau acting enggak ada jiwanya sampai sutradara bilang cut berkali-kali. Bikin waktuku habis saja," keluh Praha.

"Ya sudah aku tunggu, Praha." Asisten sutradara langsung pamit. Sekarang Praha tinggal mematut di depan cermin. Ponselnya berdering.

Praha sempatkan ambil benda itu dan melihat pesannya. Dia tersenyum sendiri karena di notifikasi muncul 'jantung hatiku mengirim foto'. Dalam ekspektasi, dia pikir Arta mengirim foto selfie. Begitu dibuka isinya foto satu strip dan dus obat. Karena bingung, Praha balas pesan itu.

[Praha : Apa ini?]
[Arta : Paracetamol]
[Praha: aku tahu. Maksudku kenapa kamu kirim gambar ini ke aku?]
[Arta : Itu obat demam dan nyeri]
[Praha : terus?]
[Arta : buat sembuhin demam tubuhmu dan nyeri hatimu karena aku TOLAK!]

Arta berhasil membuat Praha kesal hari itu hingga dia uring-uringan. Bahkan artis baru yang actingnya buruk saja dia omeli. "Hei, kamu masuk sini modal tampang apa nepotisme, hah? Kalau enggak bisa acting, main karet saja sana! Tahu enggak di sini kru mau pada pulang? Mereka banyak urusan dan harus terus ulang-ulang karena kamu?" omel Praha.

Mila langsung mendekati artisnya itu. "Nona, ingat kalau sampai Nyonya Savana tahu, nanti kena omel, loh," saran Mila.

"Tunggu! Apanya dariku yang salah sampai harus diomeli? Lihat kelakuan dia ini!" Praha menunjuk artis baru itu.

Karena suasana semakin tidak kondusif, jadilah Mila menelepon papanya Praha. Alasannya tidak menelepon Savana, ibunya Praha malah semakin membuat suasananya memburuk. Praha lebih menurut pada Papanya. Sedang dengan ibunya, dia seperti dua musuh yang jika bertemu bakan berbalas sindir.

"Iya, Tuan. Saya takutnya artis baru itu mengadukan sikap Nona pada media walau saya tahu di sini Nona marah akan sesuatu yang masuk akal," jelas Mila. 

"Aku ke sana sekarang. Tunggu saja, ya?" jawab Mahas.

Praha duduk di tenda khusus tempat dia istirahat. "Tenangkan diri dulu. Kalau terus marah, malah Nona tidak bisa shooting," pinta Mila sambil mengelap keringat Praha. Mata gadis itu masih tertutup tanda menenangkan pikiran.

"Kak Mila, lain kali kalau aku demam tolong minta dokter jangan resepkan Paracetamol. Aku trauma," keluh Praha.

"Trauma karena apa?" tanya seseorang yang suaranya Praha kenal betul. Terbuka mata Praha, dia langsung berdiri dan lari ke arah pintu tenda. Ada seorang pria paruh baya yang masih terlihat tampan di usianya yang menginjak kepala empat. Praha peluk lelaki itu. "Kenapa anak gadis Papa? Sedang bad mood?" tanya Mahas.

"Duduk! Aku mau cerita." Praha tarik tangan Papanya. Salah satu staf pria langsung mengambil kursi untuk Mahas. "Tolong tinggalkan kami. Ini obrolan privasi antara anak dan ayah," tegas Praha. Suaranya kali ini terdengar lembut.

Para staf meninggalkan tempat. "Baik, sekarang cerita apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Mahas.

"Pa, aku jatuh cinta dengan seorang lelaki. Dia manajer produksi di PH yang mengurus filmku ini." Praha persis ibunya, sangat blak-blakan. 

"Manajer produksi? Artinya dia lebih tua dari kamu, dong?" terka Mahas.

"Tentu saja, Pa. Aku harus memikirkan masa depanku sebagai seorang wanita. Pria yang dewasa dan punya pekerjaan tetap lebih menjanjikan," tegas Praha.

"Dengar, masih butuh dua tahun lagi agar kamu lulus sekolah dan empat tahun lagi untuk kuliah. Paling tidak kamu lulus S2. Masih lama bagi kamu untuk memikirkan pria. Lagian apa dia mau nunggu kamu selama itu?" Mahas usap rambut Praha.

"Aku mau lulus sekolah langsung nikah saja. Lagian Papa juga enggak kuliah, tapi kaya raya."

"Praha!"

"Papa, jangan bikin aku sedih. Mana dia nolak aku lagi." Praha merengek sambil memeluk lengan Papanya.

"Dia nolak kamu?" Mahas kaget mendengarnya.

"Iya," tangis Praha.

"Kalau begitu kamu harus perjuangankan dia. Kalau dia tidak tertarik sama kamu, artinya dia tidak memedulikan wanita cantik. Pria yang tidak memedulikan wanita cantik kebanyakan setia!" dukung Mahas.

"Beneran?" tanya Praha dengan wajah bangga.

"Mau Papa sekalian kirimin dukun?" tawar Mahas.

Praha mengangguk-angguk. "Tapi Praha bingung mau perjuangankannya bagaimana. Dia terus nolak Praha. Ituloh, yang aduin Praha sama Papa."

Sementara jauh di sana Arta terus bersin hingga telinganya panas. "Masa tandanya sampai dua gini," keluh Arta. Dia pindahkan berkas ke atas printer.

"Tanda apa, Pak?" tanya asistennya 

"Tanda ada yang ngomongin hal buruk tentangku. Tinggal satu misteri lagi, siapa pelakunya," tegas Arta.

"Anda ada-ada saja, Pak. Oh iya, Bu Desi mungkin pertengahan bulan depan baru masuk kembali. Beliau tidak jadi mengambil cuti sampai enam bulan?" jelas asistennya, Pak Dirjo.

"Baguslah, temanku akan menikah sebentar lagi. Jadi aku mungkin akan pulang ke Bandung untuk waktu yang lama."

"Teman anda? Lalu kapan anda akan menikah, Pak?" 

Pertanyaan itu sulit untuk dijawab Arta. "Dulu saat bapak menikah apa karena cinta atau ada maksud lain?" tanya Arta.

Pak Dirjo tersenyum. Dia duduk di kursi depan Arta. "Waktu saya nikah memang karena cinta, tapi tidak terlalu cinta, Pak. Ada perempuan lain yang saya sukai. Tapi saya realitis saja. Perempuan mana yang pantas saya nikahi. Banyak orang menikah karena cinta, ujungnya cerai. Nikah tanpa cinta pun ujungnya banyak yang cerai. Intinya pasti setelah menikah."

Arta mengangguk. "Jadi Bapak tidak terlalu cinta sama istri?" tanya Arta yang dibalas anggukan kepala oleh Pak Dirjo. "Sekarang gimana?"

"Masih suka sama yang dulu, sih. Tapi tidak ada niatan buat ninggalin istri. Masih istri nomor satu," ungkap Pak Dirjo.

"Waduh, lumayan kopi segelas nih, Pak. Atau aku laporin istrinya," ancam Arta.

"Pak Amarta ini bisa saja bercandanya."

"Aku serius, Pak. Lagi pengen kopi, nih." Wajah Arta terlihat serius. Pak Dirjo mengeluarkan suara decakkan dari mulutnya. "Waduh, saya kena jebakan Batman ini," keluh Pak Dirjo.