[Arta, aku tunggu kamu. Cepetan dateng, dong. -Hastina]
Hastina dengan mode paksanya masih membuat posisi Arta menjadi sulit. Ingin pria itu menghindar hingga perasaanya pada Hastina hilang. Nyatanya, dia masih mengajak Arta bertemu.
[Arta : aku Gak bisa, Has. Hari ini aku sibuk. Shootingnya akan mulai besok]
Iya, Arta harus belajar untuk menolak agar tidak selalu dimanfaatkan. Tak lama ponsel Arta berdering lagi. Dia ambil ponsel dan membaca pesan yang masuk.
[Hastina : Pandu hari ini pulang ke Bandung duluan. Aku masih seminggu di sini sama Abi. Ya sudah, aku makan sendiri saja ðŸ˜. Kamu apa tega, Ar? Padahal aku enggak tahu jalan. Tapi makanan di hotel gak enak]
Arta simpan ponselnya. Hal seperti ini yang membuat Arta semakin bingung. Entah Hastina yang manipulatif atau memang Arta diciptakan berhati halu.
[Amarta : Habis zuhur aku ke sana]
Dan selesai salat zuhur, Arta langsung menyetir mobil menuju tempat yang Hastina sebutkan. Dia turun di parkiran sebuah cafe. Begitu menutup pintu, Arta bisa melihat Hastina di dalam melambaikan tangan.
Arta rapikan kemejanya. Dia masuk ke dalam cafe dan mengambil tempat duduk di depan Hastina. "Mentang-mentang sudah kerja, jadi sombong kamu, Ar!" ucap Hastina kesal.
"Bukan gitu, jam kerjaku lagi padatnya. Ini saja enggak bisa lama. Eh, kamu sudah pesan makanan?"
Tak lama minuman dingin dan juga dua potong kue tersaji di atas meja. Arta mengambil sendok. Dia tahu harus cepat menghabiskan makanan sebelum terjebak dalam posisi tidak mengenakan.
"Lihat! Bagus enggak?" tanya Hastina memperlihatkan cicin di jarinya.
"Dari Pandu?" terka Arta.
Hastina mengangguk sambil tersenyum. "Ini cincin lamaran. Tahu enggak harganya berapa?"
Arta menggeleng saja dibandingkan mengeluarkan pertanyaan. Dia tak mau memberi kesan seakan tertarik akan pembahasan itu. "Merknya Tiffany & Co. Bisa ditebak berapa harganya, kan?"
Arta menyendok kue dan memasukkan ke dalam mulut. Dia berpaling ke luar jendela. "Aku sudah nolak nerima ini. Kata Pandu kenapa harus nolak? Ini hasil kerja keras dia buat dapetin aku. Dia kumpulin uang selama tujuh tahun supaya bisa ngelamar aku dengan pantas. Pria lain pasti enggak akan bisa menperlakukan aku kayak gini, kan? Aku merasa jadi wanita paling spesial karena Pandu," jelas Hastina.
"Iya. Apalagi aku yang cuman karyawan. Harga cincin itu saja enggak sebanding sama gajiku. Rumah enggak punya, mobil masih mini bus dan tampang saja biasa," timpal Arta.
Hastina malah cekikikan. "Kamu jangan ngomong gitu, dong. Cara laki-laki menjaga wanita yang dia sukai kan berbeda. Kamu itu penyayang dan lucu. Beruntung banget wanita yang bisa nikah sama kamu kelak."
"Kalau beruntung, kenapa enggak kamu saja yang nikah sama aku?" tanya Arta.
Di sana Hastina langsung terdiam. "Kenapa lebih milih Pandu. Teman satu sekolah setuju aku jauh lebih ganteng dari Pandu. Cuman saja aku yatim dan kalah kaya." Sendok di tangan Arta disimpan di atas piring. Matanya menatap Hastina dengan nanar.
"Arta. Maaf kalau ucapan aku bikin kamu jadi enggak nyaman. Aku cuman mau bagi kebahagiaan sama kamu, tapi kalau kamu ...."
Arta tiba-tiba tertawa. "Kamu itu serius banget! Padahal aku cuman bercanda kali. Lagian aku ini sekarang terkenal. Ngapain juga aku ngiri sama Pandu. Kamu emang enggak tahu?"
Hastina mengambil tas dan memukulkannya pada Arta. "Kamu beneran bikin aku jantungan! Aku takut kamu marah sama aku. Kamu kan sahabat paling dekat sama aku, Ar."
Arta mengambil ponsel dan memperlihatkan fotonya yang sempat viral di berbagai media sosial. "Sekarang banyak orang yang kenal aku. Semua karena bocah manja gabut," jelas Arta.
"Bocah? Memangnya siapa?"
Arta menceritakan tentang duduk masalahnya. Hastina tertawa mendengar cerita itu. Setidaknya mereka tak melanjutkan pembicaraan tentang Pandu. Hingga jam istirahat selesai. "Aku harus ke kantor sekarang. Mau aku antar enggak?" tawar Arta.
"Enggak usah. Aku bisa naik taksi. Lagian enggak enak kalau harus ngerepotin artis viral," tolak Hastina. Arta berdiri. "Arta! Nanti pas hari pernikahanku, kamu mau jadi pagar bagusnya, kan? Aku enggak punya banyak saudara lelaki habisnya," pinta Hastina.
Arta berpikir lama. "Nanti aku kabari. Tahu sendiri kerjaan kadang suka tiba-tiba sayang sama aku." Arta pamit dan meninggalkan cafe.
Selama perjalanan, Arta hanya bisa menenangkan dirinya sendiri. Senyuman Hastina dan waktu yang diberikan wanita itu untuknya akan lekas berakhir. Hastina akan menjadi milik Pandu seutuhnya.
Mobil Arta tiba di parkiran gedung. Hendak turun, ponselnya kembali berdering. Arta lihat kontak ibunya muncul di sana. Dia bukan telepon itu. "Ada apa?" tanya Arta.
"Ibu mau ke dokter lagi, Ar. Kirimin uang, dong. Ibu harus cuci darah," ungkap Ningsih, ibunya Arta.
"Ada suami Ibu kenapa masih minta sama aku?" tegur Arta.
"Kamu kan anakku? Apalagi anak laki-laki, sudah kewajiban menafkahi ibu kamu!" omel Ningsih.
Arta mengerjapkan mata sejenak. "Aku enggak punya uang sekarang. Kerja saja baru lima bulan
Aku harus bayar sewa apartemen setahun, beli keperluan rumah. Tolong Ibu mengerti. Jadi manager pun aku cuman pengganti sementara," jelas Arta.
"Kamu yang lulusan Amerika masa gajinya habis, sih?" Ningsih masih memaksa.
"Bu, memang kantor ini milikku? Lagian aku cuman kerja sama orang, berapa pun gajinya aku syukuri."
Terdengar suara Ningsih mendengkus. "Kamu itu pernah nanya gimana rasanya Ibu lahirin kamu enggak? Ibu berjuang antara hidup dan mati demi kamu! Tapi kamu sekarang lebih peduliin diri sendiri daripada Ibu!"
Pernyataan itu jelas memancing emosi Amarta. Dia sudah sangat kesal kehilangan Hastina dan sekarang ibunya bicara yang tidak-tidak. "Kalau Ibu mau ngutuk aku sebagai anak durhaka silakan saja. Ibu ingin aku ngerti perasaanmu. Terus apa Ibu tahu perasaanku?"
Arta mengusap wajah. "Aku enggak pernah minta Ibu lahirkan. Kalau tahu akan lahir dari rahim ibu kayak kamu, lebih baik aku enggak perlu lahir. Pernah tanya gimana rasanya lihat orang lain setiap dibagikan raport selalu ditemani orang tua dan aku hanya datang sendiri? Tahu gimana rasanya dikatai anak pelacur? Tahu rasanya lihat anak lain mengadu pada ibu mereka dan aku hanya bisa nangis di pojok sendirian? Saat itu Ibu di mana?" tegur Arta.
"Kenapa kamu enggak salahin Bapak kamu yang ngasih duit seadanya. Hidup itu realistis saja, Arta! Ibu juga butuh uang buat hidup enak!"
"Aku juga butuh uang dan aku juga ingin realitis! Dibanding harus memberi uang pada seorang Ibu yang meninggalkan aku dari umur tiga tahun dan tidak mengakui aku sebagai anaknya, lebih baik aku pakai untuk foya-foya! Sekarang ibu sakit minta aku obati? Apa Ibu masih ingat saat bilang aku ini bukan siapa-siapa, Ibu? Bagiku juga begitu, kamu bukan siapa-siapa!"
Arta langsung menutup telepon. Matanya memerah. Kadang dia ingin bertanya pada dunia. Kenapa semua orang punya orang tua sedang dia tidak? Kenapa sekalinya sang ibu mengakui Arta sebagai anak, hanya untuk diperas? Kadang Arta tak ingin peduli. Tapi dia juga manusia yang bisa merasa sedih.