8. Akad Cinta : Permintaan Sulit
"Woy! Arta!" panggil Fadil, sahabat Arta semasa SMA dulu. Mereka saling berjabat tangan. Fadil, Muntaz dan Arta janjian untuk bertemu di sebuah restoran hari ini sebelum Arta kembali ke Jakarta. Arta duduk di hadapan kedua temannya.

"Untung kamu lagi di sini. Sudah lama kita enggak nongkrong," bahas Fadil. Terlihat senang di wajah pria itu. Mereka memang bersahabat sangat dekat, termasuk dengan Pandu. Hanya saja tak tahu kenapa Fadil tidak mengundang pria itu hari ini.

"Iya juga, sih. Kalian apa kabarnya?" tanya Arta.

"Baik, Ar. Kamu juga gimana?" tanya balik Fadil.

"Ya gitu saja."

Muntaz bantu panggilkan pelayan untuk mencatat pesanan mereka. "Kita hanya bertiga?" tanya Arta dengan polosnya.

Fadil dan Muntaz saling tatap. "Besok kamu masih di Bandung?" tanya Fadil mengalihkan pembicaraan.

"Besok Senin, tentu aku pulang ke Jakarta malam ini. Kerja," jawab Arta.

"Jadi kamu enggak datang ke acara syukurannya Pandu? Dia mau syukuran rumah baru. Katanya buat ditempati dengan Hastina nanti," ungkap Fadil.

"Oh ya? Aku enggak tahu," jawab Arta sambil tersenyum kecil.

Muntaz dan Fadil kembali saling tatap. "Sudah kuduga dari pesan broadcastnya, nama kamu enggak tercantum. Mungkin dia pikir kamu kerja, tapi ternyata benar enggak dikasih tahu. Ada masalah apa kalian, Ar?" Muntaz terlihat khawatir.

"Baik-baik saja. Kenapa memang?" Arta tahu akan lebih baik dia tidak menceritakan aib temannya sendiri.

"Kita hafal Pandu dan kamu dengan baik. Meski sudah lama kita enggak ketemu sejak beda kampus, kita masih bisa ketemuan dan chatan. Pandu enggak mungkin begitu kalau enggak terusik sama kamu," jelas Fadil.

"Kami memang ada salah paham sedikit, tapi semua baik-baik saja, kok." Arta menaikkan lengan kemejanya.

"Kamu tahu sebenarnya kalau bukan karena persahabatan kita, aku malas ketemu sama Pandu. Kalau nongkrong inginnya kita ngomongin masa lalu. Bukan malah apa yang dia punya sekarang. So what, enggak ada gunanya buat kita. Iya, kan?" Muntaz blak-blakan.

"Karena itu kalian enggak ajak dia ke sini?" Arta mencoba menegaskan.

"Kita ingin ketemu kamu dan bahas tentang masa lalu. Sharing masalah hidup. Bukannya kami iri sama apa yang Pandu punya. Hanya saja kalau dia mau list kekayaan, mendingan di dirjen pajak sama badan zakat saja," celetuk Fadil membuat temannya tertawa.

Tak lama pelayan datang membawa pesanan mereka. Arta lebih dulu minum setelah membaca doa. Duduk di tengah ruangan, seperti biasa para wanita memperhatikan Arta. Otot kekar di lengan pria itu terlihat jelas setelah lengan kemeja terlipat hingga sikut.

"Pandu sama Hastina mau nikah, kamu gimana, Ar?" Muntaz malah membuat Arta hampir tersedak.

Arta tatap pria itu. "Gimana apanya? Memang aku kenapa?"

"Kita berdua tahu kamu suka Hastina. Laki-laki enggak mungkin banyak berkorban untuk wanita kalau bukan karena cinta," terka Fadil.

"Memangnya aku harus gimana? Ya sudah itu pilihannya. Aku enggak berhak ikut campur sama pilihan dia. Aku harap dia bahagia. Itu saja, cukup," jawab Arta dengan santai.

"Cari wanita lain saja, Ar. Masa dari dulu kamu enggak peka kalau Hastina sukanya sama Pandu? Kita dari dulu sering sadarin kamu, malah kamunya bucin terus," protes Fadil.

"Sekarang aku sadar," jawab Arta sambil terkekeh. Dia memotong ayam goreng di atas piring dengan pisau. "Lagian aku mana pantas dengan putrinya Abi. Aku yakin dengan keadaan ekonomiku, Abi saja keberatan. Mungkin ini teguran dari Allah bahwa aku belum siap untuk berumah tangga."

"Ya sudah, cari uang dulu yang banyak. Aku yakin kamu bisa daapt lebih," nasihat Muntaz.

Mereka sama-sama menikmati makanan. Beberapa kali ponsel Arta bergetar dari nomor tak dikenal. Arta malas mengangkat. Namun, karena berulang dan merasa terganggu, akhirnya pria itu menyimpan garpu dan pisau sejenak kemudian mengambil ponsel.

"Halo?" tanya Arta.

"Iya, apa ini manajer Amarta?" Terdengar dari suara, dia seorang pria. 

"Benar, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Arta.

"Begini. Perkenalan dulu, saya Mahaswana. Mungkin zaman Amarta remaja dulu, saya masih seorang penyanyi terkenal," ungkap pria itu.

Arta menaikkan sebelah alis. "Sekarang pun Anda masih terkenal, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Arta lagi.

"Begini. Aku dengar tentang putriku, Praha. Dia pernah membuat masalah denganmu. Aku minta maaf tentang itu."

"Iya, Pak. Tak masalah. Saya sudah menyelesaikan masalah itu dengan putri Anda dan dia mau kerja sama."

Mahas berdiri di balkon. Dia masih mencoba merangkai kata yang cocok. Praha berdiri di sampingnya menunggu keputusan. "Begini, Amarta. Sebenarnya aku dan putriku memiliki perbedaan keyakinan. Aku dan ibunya sibuk sejak dia masih kecil. Kami sering titip dia dengan pengasuh. Ya mungkin itu mempengaruhi. Dia sering menamani pengasuhnya salat bahkan ikut mudik lebaran. Sekarang dia memutuskan menjadi muslim."

"Syukur, Alhamdulillah."

"Dan aku sadar tidak bisa membimbingnya dengan baik. Aku ingin dia benar-benar yakin akan kepercayaannya ini, bukan sekadar hanya masuk karena malas ditanya agama kamu apa," jelas Mahas.

"Lalu?" Arta merasa ada bagian tidak enak yang masih Mahas sembunyikan dari percakapan itu.

"Mau kamu membimbing Praha untuk belajar membaca Iqra?" pinta Mahas sambil membaca contekan yang dibuat Praha.

"Pak, sebaiknya mencari guru yang sama-sama perempuan. Kami bukan mahram dan mungkin akan menyisakan fitnah," tolak Arta.

Praha manyun. Dia kembali menulis di buku. Mahas lekas membaca. "Tapi dia nurutnya sama kamu. Dia tadinya malas kalau disuruh belajar. Tiba-tiba dia semangat dan dia ungkap alasannya kenapa. Jangan khawatir aku akan temani kalian selama belajar. Savana juga."

Arta bingung sendiri. "Tapi aku saja masih belajar." Arta masih mencoba menolak.

"Tentu Praha masih jauh di bawah kamu. Paling tidak sampai dia bisa belajar mandiri. Terpenting itu menetapkan nilai agama."

Arta menggaruk rambutnya. "Tapi aku sibuk kerja, Pak. Dan lagi Praha juga sibuk shooting."

"Aku sudah bicara dengan pimpinan rumah produksi. Katanya manajer sebelumnya akan masuk kerja lagi. Beliau juga sudah mengizinkan kamu tidak masuk di hari Praha break shooting."

Di sini Arta mulai terjepit. "Bagaimana?" tanya Mahas.

Arta menarik napas panjang. "Hanya sampai dia bisa baca Al-Qur'an?" 

"Iya. Semacam itu," tambah Mahas.

"Baik. Aku akan mencoba, Pak."

Mahas tersenyum. Praha langsung berjoget-joget senang. "Terima kasih banyak, Amarta. Aku senang sekali kamu mau bantu."

"Dengan senang hati," jawab Arta. Mereka pamitan dan sama-sama menutup telepon. Setelahnya Arta langsung mengacak rambut dan melenguh.

"Kenapa kamu, Ar?" tanya kedua temannya.

Arta rasanya ingin merengek. "Aku harus menghadapi bocah kurang asem itu. Sabarkan aku, ya Allah. Semoga saja setelah ini, anak itu bisa keluar dari ketidakwarasan."