1. Akad cinta : Bukan Aku Yang Kaupilih
Keringat di kening Arta bercucuran. Pria itu memegang buket bunga Lily Of The Valley di tangan. Untuk membeli sebuket mungil bunga itu saja, Arta harus menguras tabungan. Semua demi gadis cantik berkerudung dengan senyumannya yang manis. Hastina nama gadis itu, yang sudah memiliki hati Amarta sejak sembilan tahun lalu dan kini ada di hadapannya.

"Hm, kamu ada apa ngajak aku ketemu?" tanya Arta penasaran. Hastina begitu memaksa hingga mengomel di telepon. Sengaja Arta sembunyikan buket bunga di balik tubuhnya.

Wajah Hastina memerah. Dia menunduk dan terlihat malu. Ekspresi wajah yang membuat Arta menyimpan harapan. Orang bilang wanita akan mengenakan pakaian merah muda jika bertemu dengan pujaan hati. Apa iya, dia kenakan pakaian itu untuk Arta?

"Kamu dulu, deh! Katanya kamu juga mau ngomong sesuatu sama aku," tanya Hastina.

Arta mengangguk. "Oke. Aku mau bilang sekarang. Tapi kamu dengar baik-baik, ya?" pinta Arta.

Hastina sudah siap mendengarkan apa yang sahabatnya itu hendak katakan. "Sebenernya selama ini ...." Baru Arta bicara terdengar suara seorang pria memanggil.

"Arta? Amarta?" tanya pria itu. Terpaksa Arta memutus kalimat. Dia melirik ke arah suara. Itu Pandu, sahabatnya juga sejak SMA. 

"Ya ampun, apa kabar kamu, Bro? Kerja di mana sekarang?" tanya Pandu.

Arta berdiri dan saling berjabat tangan dengan Pandu. "Aku sekarang kerja di rumah produksi, jadi staf gitu," jawab Arta.

"Jadi karyawan? Apa enggak bosen? Mendingan kamu buka usaha kayak aku. Pendapatannya lumayan banyak dan enggak terlalu banyak tekanan. Daripada jadi karyawan, sudah dituntut, cuman ngandelin gaji lagi," komentar Pandu.

"Aku belum punya modal, Pandu. Daripada nganggur, lebih baik aku kerja sambil ngumpulin modal usaha, kan?"

"Iya, sih. Kamu hebat juga bisa selesai kuliah dan kerja sementara sudah enggak ada orang tua. Aku iri sama kamu. Lain sama aku yang sudah dimodalin keluarga."

Arta mengangguk. Tak lama dia mulai sadar akan alasan Pandu ada di sana. "Kamu juga janjian sama Hastina di sini?" tanya Arta.

Pandu menggeleng. "Tadi kita baru selesai salat di sana. Aku jemput Abi dari bandara dan makan bareng tadi. Terus Hastina bilang mau ketemu sama kamu di sini," jelas Pandu.

Hastina tersenyum. Dia menggigit bibir bagian bawahnya. "Arta, sebenarnya yang ingin aku bilang sama kamu tentang ini," ungkap Hastina.

"Apa?" tanya Arta penasaran.

"Pandu tadi melamarku. Abi sudah setuju. Rencana kami mau menikah sebentar lagi," ungkap Hastina.

Di sana tidak terukur betapa kecewanya Arta. Bertahun-tahun dia menunggu saat yang tepat, akhirnya didahului hanya hitungan jam. Arta tertegun. Dia menunduk sejenak, mengatupkan bibir kemudian menarik napas. "Wah, aku senang banget dengernya," ucap Arta.

"Benar, kan? Makasih Arta! Aku yakin kamu pasti akan selalu dukung aku. Kamu memang teman yang baik," ucap Hastina.

Arta mengangguk. "Aku harap kamu selalu bahagia," tambah pria itu dengan lapang dada meski hatinya sangat berat. Bahkan setiap tarikan napas terasa nyeri hingga ke tulang-tulang. 

"Tadinya aku masih mau nunda tahun depan. Tapi Papaku ingin cepat punya cucu. Katanya mau apalagi, aku sudah punya dua rumah, empat mobil, dua gudang usaha. Nyari uang enggak akan ada ujungnya, kan? Makanya aku putusin buat nikah secepatnya," jelas Pandu. Dia tatap Hastina tatapan penuh cinta.

"Aku juga kaget, Arta. Habis selama ini sebenarnya aku sudah suka sama dia. Tapi dia kayak enggak suka sama aku gitu. Aku sudah nyerah duluan. Tahunya dia malah ngelamar aku." Terlihat jelas sorot kebahagiaan di wajah Hastina. Arta tak tega jika harus membebani Hastina dengan perasaannya.

"Kamu memang pantas dicintai, kok," timpal Arta.

"Kan aku mau bikin rumah dulu buat kamu. Gimana bisa aku yakin bikin kamu bahagia kalau rumah saja enggak punya, kan?" tanya Pandu. Di sini Arta merasa rendah diri karena dia masih menyewa apartemen.

Hastina lagi-lagi menunduk malu. "Makasih, kamu banyak berkorban buat aku selama ini, Pandu. Aku merasa beruntung banget bisa dicintai pria kayak kamu."

Arta memalingkan pandangan. Dia mulai tak tahan melihat kemesraan wanita yang dia cintai dengan sahabatnya sendiri. Arta pura-pura melihat jam tangan. "Eh, aku ada rapat malam ini. Maaf, ya. Nanti aku hubungi kalian lagi," pamit Arta.

"Loh, katanya tadi mau bilang sesuatu?" tanya Hastina bingung.

"Enggak, tadi aku mau jahilin kamu, doang. Cuman kayaknya kamu lagi bahagia banget. Oh iya, sampai jumpa! Aku tunggu undangannya." Arta lambaikan tangan dan berlari ke parkiran. Setelah agak jauh dia mulai berjalan biasa. Arta menepuk dadanya. "Lalu gimana dengan pengorbanan yang aku buat kamu selama ini untukmu?"

Arta ingat kejadian tujuh tahun lalu. Demi Hastina dia pernah menerobos hujan badai. Saat itu mereka masih duduk di bangku SMA Negeri yang sama. Hastina baru pulang kajian di salah satu masjid dekat sekolah mereka. Tak ingin merepotkan Abi, gadis itu menelepon Arta minta dijemput. 

Jelas Arta lekas meninggalkan gedung sekolah. Padahal saat itu Arta tengah diklat PMR. Dia membawa payung dan menerobos hujan berangin serta berpetir. Sempat payungnya terbawa angin hingga tubuh Arta basah kuyup. Namun, tiba di depan masjid dia tak menemukan Hastina. Karena bingung, Arta telepon gadis itu. Dan hanya kata maaf yang Hastina ungkapkan.

"Aku sudah bareng naik mobil Pandu. Maaf, ya? Aku enggak sempat ngabarin kamu," ucap Hastina.

Meski kesal, Arta tak bisa marah pada Hastina. Perasaanya begitu dalam sampai selalu memaklumi sikap gadis itu. Bahkan saat ulang tahun Hastina yang ke-17, Arta menabung demi memberikan gadis itu kerudung.

Hastina terlihat senang mendapat kado dari Arta. Dan itu membuat Arta yakin pengorbanannya tidak sia-sia. Keesokan hari, Hastina cerita tentang gelang pemberian Pandu yang dia kenakan.

"Semua teman iri sama aku, Ar. Emang iya, kalau ini mahal? Aku jadi enggak enak sama Pandu," cerita gadis itu.

"Namanya juga hadiah, Na. Terima saja. Kan bukan kamu yang minta," timpal Arta. Dia memainkan jarinya. "Kado dari aku gimana? Kamu suka?" tanya Arta.

Hastina terdiam sejenak. "Astaghfirullah! Maafin aku, Ar. Aku lupa. Aku simpen kado kamu di loker dan enggak aku bawa pulang. Nanti aku buka, ya?"

Harusnya kejadian-kejadian itu disadari Arta sejak dulu. Hastina sudah menunjukkan ketertarikan pada Pandu dari mereka SMA dan mungkin itu alasan Hastina menolak perasaan pria manapun yang menyatakan cinta padanya.

Arta berdiri di samping tempat sampah. Buket bunga mahal yang dia beli kini berakhir di sana. "Apa pun yang aku lakukan, enggak akan pernah terlihat di matamu, Tina. Karena sampai kapanpun hanya ada Pandu di sana," batin Arta.