9. Akad Cinta: Perdebatan
Arta mengetuk rumah ibunya. Cukup lama hingga pintu rumah itu dibuka. Terlihat Ningsih muncul dari sana. Wanita itu mendelik. Wajahnya tampak tidak ramah. "Ngapain kamu ke sini?" tanya wanita itu dengan kesal. 

Arta mengeluarkan sebuah amplop dari saku jasnya. "Aku ada uang segini. Kalau mau ambil. Jika tidak, akan aku bawa lagi." Arta kali ini memberi penegasan.

Ningsih langsung merebut amplop uang itu. "Sudah jarang datang. Masa ngasih uang diambil lagi! Jelas aku butuh. Ibu kamu ini harus berobat. Apa kamu mau aku mati cepat?" sindir Ningsih.

"Ya ampun, Bu. Mana mungkin aku ingin kayak gitu. Meski sikap Ibu selama ini selalu jahat padaku pun sama Teh Tala, aku tetap sadar Ibu adalah ibuku. Aku tetap harus berbakti. Tapi berbakti pun ada batasnya. Dan ibu meminta padaku pun ada batasnya."

"Kamu itu ngasih uang ikhlas apa tidak sih? Ngasih tapi kok ngomong terus." Mata Ningsih mendelik.

"Aku kayak gini karena sikapmu padaku. Sudahlah, tidak perlu dibahas. Aku mau balik ke Jakarta. Tidak perlu Ibu minta, ada uang aku pasti kasih. Berapa pun jumlahnya, tolong syukuri. Karena kunci sembuh dari berbagai penyakit adalah ikhlas. Dengan ikhlas, kita tidak akan pernah punya banyak pikiran. Bayangan orang sakit semakin parah, karena pikirannya pun berguncang."

"Iyalah gimana kamu. Daripada ceramah mendingan kamu cari uang yang benar. Ibu pusing dengarnya juga."

Arta tahu tidak ada gunanya menasihat sang ibu. Dia lebih memilih lekas pergi dari sana. Arta kembali menaiki mobilnya. Kendaraan itu kini menembus jalanan kota Bandung, melewati tol termasuk ke dalam kawasan Jakarta pusat. Perjalanan panjang, hingga Arta tiba di apartemen pukul delapan malam. Dia lekas pergi salat Isya. Salat magrib dia jalankan di rest area. 

Selesai salat, Arta mengecek ponselnya. Sudah banyak panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal. Arta bingung siapa yang menelepon. Dia sudah menyimpan nomor Mahas sebelumnya. Tentu itu bukan dari pria itu. Karena belum dimasukkan ke dalam kontak, foto pemilik nomor pun tidak muncul. Hanya gambar bulatan donat yang digigit sebagian dan berwarna abu-abu. 

Penasaran Arta telepon saja nomor itu. Lama sekali hingga akhirnya terangkat. "Siapa ini?" tanya Arta.

"Masa lupa sama suaraku yang lembut dan cetar ini. Ini suara bidadari surgamu," jawab orang itu.

"Bocah kurang asupan gizi?" tanya Arta.

"Kalau ngomong enak aja! Aku disebut kurang asupan gizi?"

"Habisnya kamu nggak peka, lambat berpikir, juga kurus!" ledek Arta.

"Gak peka gimana? Aku sadar kamu orang yang paling pantas dicintai. Aku juga cepat berpikir untuk mengejarmu. Dan lagi, ini bukan kurus tapi langsing," Praha meralat ucapan Arta.

"Buktinya kamu nggak sadar-sadar aku udah nolak kamu. Kamu juga nggak cepat mikir kalau ditolak itu artinya kamu harus mundur. Dan lagi orang langsing ada lekukannya. Bukan lurus kayak tiang listrik."

"Hei, itu namanya body shaming. Pantas gak ada lekukannya, aku kan masih remaja," alasan Praha.

"Kamu sadar masih remaja? Harusnya kamu lakukan tugas remaja, bukan godain pria yang lebih tua. Sekolah yang benar. Udah mikirin nikah, padahal garam sama gula aja kamu gak bisa bedain."

"Aku tahu ya bedanya gula sama garam!"

"Kalau gitu kamu tahu apa bedanya aku sama kamu!"

"Apa?"

"Beda keyakinan!"

"Bukannya Kita sama-sama muslim ya?"

Arta tertawa. "Kamu yakin suka sama aku. Tapi aku lebih yakin nggak suka sama kamu."

"Hati-hati nanti kamu bisa jilat ludah sendiri!"

"Udah jam delapan, bocah waktunya bobok sana!"

Arta langsung mematikan telepon. Kemudian dia mengirim pesan. "Kalau masih ganggu, aku batalin ajarin kamu baca Al-Qur'an!" ancam Arta.

"Oke, Bos Arta. Met bobo sayangku yang ganteng. Jangan lupa mimpiin aku, ya?" balas Praha.

"Iya, aku akan mimpiin kamu datang ke hari pernikahanku," jawab Arta.

Dia simpan ponselnya di atas nakas dan siap untuk membaca Al-Qur'an. Sesekali Arta melihat ke arah jendela. Langit terlihat gelap di luar sana. Beberapa kali terlihat kilatan cahaya. Arta menunduk. Saat melihat ruangan, dia sadar begitu sepi. Ini yang dirasakannya saat berada di Amerika dulu. Biasanya ada Albi, Tala dan keponakannya yang ribut setiap kali berkumpul.

"Apa aku lebih baik pindah kerja ke Bandung, ya? Tapi kerja apa?" batin Arta.

Saat pulang ke Indonesia, dia pikir bertemu tanah air saja cukup. Rupanya tetap yang dia butuhkan keluarga dan teman. Arta mencari fotonya saat kuliah di Amerika dan dia jadikan status. 

(Orang yang hijrah itu luar biasa. Karena dia menepis rindu akan kampung halaman.)

Arta tinggalkan ponsel. Dia dengarkan kajian Al-Qur'an sesuai dengan ayat yang sudah dia baca. Begitu selesai, Arta kembalikan Al-Qur'an ke dalam lemari khusus yang berbeda dengan buku lainnya.

Pria itu pergi ke kamar. Dia ambil ponsel dan kaget melihat grup sekolah yang sudah ramai. Kalau masalah lain tak apa, tetapi Arta yang tengah diperbincangkan.

(Muntaz : Sudah kuduga, Arta gak kuliah di Jakarta. Saudaraku pernah ketemu sama dia di bandara dan itu keberangkatan internasional)

(Fadil : Tapi dia bilangnya gitu. Arta! Awas saja kamu berani bohongi kita-kita. Teman bukan sih kamu!)

(Riena : Arta, kalau masih jomlo hubungin aku!)

Dan dari semua pesan itu, tidak ada Pandu ataupun Hastina yang menimpali. "Ah, aku kenapa lupa setel privasi status, sih?" keluh Arta.

Dia usap rambutnya. Sekarang Arta memikirkan bagaimana harus membalas pesan itu. Rencana ingin mengirim pesan, Pandu sudah terlihat mengetik.

(Pandu : enggak penting kita kuliah di mana. Yang penting kita jadi apa setelah itu)

Arta tersenyum sinis. "Kamu sebenarnya enggak mau aku langkahi kan, Pandu? Benar juga kata Obit, dia harus diberi pelajaran sesekali," batin Arta.

(Arta : Aku memang kuliah di Amerika. Sekarang rencanaku emang lebih ke nyari pengalaman dulu. Kalau sudah ada, aku rencana ingin punya rumah produksi sendiri. Tapi kayaknya aku mau nyoba dulu nyari pengalaman ke Bollywood dan Korea Selatan. Maaf, ya. Bukannya aku bohong. Aku cuman lebih suka kalian lihat aku sebagai orang biasa saja dan apa adanya.)

Setelah itu Pandu tak membalas pesan. Arta memutar ponsel di atas meja kerjanya. Kembali ponsel itu bergetar. Itu telepon dari Hastina. Arta menaikkan sebelah alis. Dia angkat telepon itu.

"Kalau kamu mikir aku ada masalah sama Pandu, rasanya salah. Dia duluan yang mulai. Kedua, aku hidup jauh dari kalian jadi jangan merasa terganggu," tega Arta.

"Aku minta maaf atas sikap Pandu. Aku ngerti kamu marah, Ar. Tapi aku mohon, ya? Aku harus jaga perasaan dia. Dia calon suami aku, Ar. Aku takut dia batalin pernikahan kami," jelas Hastina.

"Terus kamu maunya apa?"

"Kita masih bisa temenan, kan? Jangan jauhin aku kayak gitu, Ar. Kamu teman paling dekat yang aku kenal. Kalau kamu pergi, aku cerita sama siapa?"