Arta menaikkan lengan kemeja. Dia baru pulang bekerja. Sesekali dia garuk pergelangan tangan. Tas yang diselempangkan di bahu sempat turun, Arta naikkan ke atas. Dia tak lupa memeriksa sepatu yang terasa agak longgar. Saat berbelok, Arta mengangkat wajah. Dia kaget hampir saja bertabrakan dengan seseorang hingga dia jatuh terjungkal. Untung saja dia tahan dengan telapak tangan hingga kepala tidak terbentur ke lantai.
"Saking kagetnya ketemu calon istri sampai jatuh segala. Sini, aku bantu!" Praha mengaitkan rambut ke belakang telinga. Dia uluran tangan hendak membantu Arta.
"Enggak perlu! Aku sudah cukup dewasa untuk belajar kalau jatuh, harus bangun sendiri!" tegas Arta.
Dia berdiri dengan berpegangan ke dinding. "Kalau jatuh hati padaku, kamu enggak bisa bangun lagi loh," goda Praha.
"Semoga saja itu enggak pernah terjadi!" tegas Arta.
Dia melangkah meninggalkan Praha di sana. Namun, gadis itu masih mengikuti dari belakang. Rok sekolahnya menari-nari ke sisi kanan dan kiri. "Kamu ngapain?" tegur Arta.
"Ikut sama kamu ke rumah kita, lah," jawab Praha dengan polosnya.
"Innalilahi, aku berbela sungkawa atas matinya kepekaanmu!" omel Arta.
"Kan kamu sibuk. Ke rumahku jauh. Lagian aku juga punya apartemen di sini, di gedung sebelah sana, tuh!" Praha menunjuk ke arah jalan keluar.
"Aku enggak nanya, tuh!" timpal Arta. Dia kembali melangkah. Praha masih tetap mengikuti.
"Kamu mau ke mana sebenarnya?" tanya Arta bingung.
"Aku tadi jelasin sama kamu. Karena kamu sibuk, jadi aku saja yang datang ke rumah kamu. Gitu!" jelas Praha.
"Bocah, kamu ke sini sama siapa?"
"Sama dua pelayan wanita dan dua bodyguardku," jawab Praha.
"Baik kalau begitu!"
Barulah Arta berjalan pulang. Kali ini dia biarkan Praha mengikuti. Sampai di depan rumah, empat pelayan Praha ternyata sudah menunggu di sana. "Seperti yang jantung hatiku harapkan," ucap Praha sambil nyengir kuda.
Arta menutupi kunci pintu apartemennya. Dia takut kalau Praha menghafal sandi. Kemudian dia turunkan gagang pintu dan mendorong ke arah dalam. "Assalamualaikum,"ucap Arta.
"Wa'alaikumsalam," jawab Praha. Dia masih mengikuti Arta. "Kenapa masuk rumah harus bilang salam. Memang ada orang lain di sini?" tanya Praha bingung dengan konsep Arta.
"Ada, jin!" jawab Arta sambil nyengir. Praha melirik ke sisi kanan dan kiri. Jelas gadis itu mendadak merasa takut.
"Kamu duduk di situ. Aku mau mandi dulu," pinta Arta. Praha menurut saja. Dia duduk di sofa ruangan itu dan kedua pelayan wanitanya berdiri di dekat sofa. Sedang bodyguard menunggu di pintu.
"Mandinya jangan lama, Sayang. Bagiku kamu sudah wangi!" teriak Praha.
"Otak kamu butuh deterjen kayaknya!" ledek Arta. Dia masuk ke dalam kamar. Hendak langsung ke kamar mandi, Arta berubah pikiran. Dia kunci pintu kamar. "Anak itu bahaya! Otaknya koslet! Bisa-bisa dia melecehkan aku," pikir Arta.
Selesai mandi, Arta sempatkan salat Asar lebih dulu. Sambil menunggu Arta mandi, Praha berdiri dan melihat ruangan di rumah itu. Dia membuka pintu ruang kerja Arta dan melihat banyak buku di sana.
"Ternyata dia suka banget baca," komentar Praha. Anak itu kemudian melihat meja kerja. Ada lampu baca di sana, komputer dan juga beberapa berkas yang ditumpuk. Praha menemukan pula figura foto. Dalam foto itu Arta masih mengenakan seragam SMA. Dia berdiri di sebelah gadis berkerudung. "Ini siapa?" tanya Praha karena itu satu-satunya wanita dalam foto itu.
Praha tertegun. Dia sadar cukup lama berkeliling di sana. Kalau sampai Arta tahu, pasti dia kena tegur. Praha keluar ruangan itu dan menutup pintu.
Tak lama Arta keluar kamar. Praha masih duduk di sana memeluk Al-Qur'an, bersikap seakan tak ada yang terjadi. "Kamu mau salat dulu?" tanya Arta.
"Aku belum bisa. Ajarin sekalian, ya?" pinta Praha. Matanya mengedip-ngedip.
"Aku enggak bisa imamin kamu salat. Maaf. Kamu bisa belajar lewat aplikasi," saran Arta.
"Kalau mau jadi imam saratnya harus apa? Kuliahnya beda, ya?" Praha menggaruk kening.
"Tergantung siapa yang mau jadi makmumnya," jawab Arta.
"Makmum itu apa?"
"Orang yang salatnya dipimpin imam," jawab Arta tak bosa memberikan Praha pengertian.
"Emang macam-macam, ya?"
"Ada imam masjid. Sudah jelas imamnya jamaah yang ikut salat di sana. Ada juga imam keluarga, biasanya kepala keluarga," jelas Arta.
"Kan aku tulang rusukmu. Jadi harusnya bisa."
"Mana ada tubuh manusia nolak tulang rusuknya!"
"Makanya kamu itu jarang merasa tenang batin karena memang menolak salah satu bagian tubuhmu." Ada saja cara Praha membalas perkataan Arta.
"Kamu ke sini mau belajar apa ngajak perang?" tegur Arta.
Praha lekas membuka Al-Qur'an. Dia buka di halaman pertama setelah semalam dia dites Arta untuk mengucapkan huruf hijaiyah sesuai dengan makhraj melalui voice note.
"Bismillah dulu. Kamu tahu artinya?" tanya Arta.
"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang," jawab Praha. Dia kemudian bertepuk tangan.
Arta menaikkan alis. "Kamu baca ini, kan?" tunjuk Arta ke terjemahan di Al-Qur'an yang Praha bawa.
"Kamu tadi minta aku jawab, bukan menghafal," timpal Praha.
"Setidaknya kamu tahu yang mana tulisan basmallah." Arta mengambil penunjuknya dan meminta Praha membaca kalimat basmallah lebih dulu. Beberapa kali Praha harus mengulang.
"Masa dari tadi enggak maju-maju!" protes Praha.
"Kalau awal sudah salah, gimana mau lanjut ke akhir. Ibarat kamu buat jembatan dari pondasi sudah salah. Bisa-bisa pas kamu naiki langsung runtuh. Ulang lagi!"
Praha menurut saja. "Him," ucap gadis itu di akhir kalimat.
"Kan aku bilang berhenti ke ketukan kedua. Dengar suara ketukan pulpenku!" tegas Arta.
"Kamu ngajarin ngaji kayak ngajarin nyanyi!" protes Praha.
"Cari guru lain, sana!" ancam Arta.
"Maafin aku, deh. Iya ini mau lanjut."
Pukul lima sore, akhirnya Praha bisa membaca bismillah dengan benar. tiba-tiba perutnya berbunyi. "Bukan aku sumpah!" kilah gadis itu.
"Aku mau bikin mie. Mau?" tawar Arta.
"Aku bisa gendut nanti." Praha manyun sambil menundukkan wajahnya.
"Mau saya pesankan makanan, Nona?" tawar pelayan.
Praha menggelengkan kepala. "Tidak! Aku mau masakan Arta saja," jawabnya.
Arta berdiri dan melangkahkan kaki menuju dapur. Praha ikut dengan pria itu. Arta buka laci di kabinet dan mengeluarkan mie goreng dari sana.
"Pernah makan ini?" tanya Arta.
Praha menggelengkan kepala. "Aku makan mie yang koki buatkan. Kata Mama, aku bisa gemuk makan itu," jawab Praha.
"Hidup kamu enggak asik!" komentar Arta.
Dia ambil panci dan menyalakan kompor. Panci itu dia masukkan air dari dispenser. Barulah air direbus. Praha masih memperhatikan.
"Mienya kenapa yang ini keras? Apa karena dia pinter debat? Keras kepala?" tanya Praha bingung.
Arta hanya nyengir melihat bagaimana gadis di depannya begitu kagum hanya karena mie instan. Praha bahkan begitu serius memperhatikan bagaimana Arta merebus mie, meniriskan dan mencampur dengan bumbu.
"Sudah jadi. Ayo makan!" ajak Arta.
"Ini belum matang!" tolak Praha.
"Di sini ahlinya aku, ya? Jangan sok komentarin kamu!" omel Arta.
"Itu dibungkus tulisannya mie goreng? Kenapa enggak di goreng dulu, cuman direbus!"
"Astaghfirullah! Kalau mau jelasin sama kamu, aku yakin ahli mana pun tidak akan punya dalil untuk menjelaskan ini! Memang bikin mie goreng kayak gini. Jangan protes, kamu mau mie goreng lenyap dari dunia? Aku bisa sedih!"
"Kalau gini kasih nama saja mie rebus tanpa kuah!"
"Kepanjangan, Tuyul!"