10. Akad Cinta : Niat
"Bukannya ada Pandu yang bisa dengar cerita kamu?" balas Arta kembali bertanya.

"Dia sibuk terus. Lagian kamu itu sombong banget! Mentang-mentang aku sudah mau nikah terus kamu mau pura-pura enggak kenal sama aku? Apa artinya sembilan tahun persahabatan kita, Ar?" omel Hastina.

"Harusnya aku yang nanyain itu ke kamu? Kalau kamu masih ngerasa risi aku ikut campur," balas Arta.

Hastina manyun sambil memegang tralis jendela kamarnya. "Abi tadi nanyain kamu. Katanya dia dengar dari Muntaz kamu ke Bandung, tapi enggak ke rumah."

"Aku ada acara keluarga dan tadi ke rumah ibuku," jawab Arta.

"Hah? Ke rumah Ibu kamu? Apa kamu bodoh? Berapa kali aku bilang jangan! Kamu itu enggak sadar-sadar, ya?" Hastina sampai berkacak pinggang. Dia memang tahu kisah Arta dan Ningsih selama ini.

"Dia lagi butuh uang," jawab Arta.

"Memang suaminya ke mana? Dia ninggalin kamu supaya punya uang, kan? Kenapa sekarang dia malah minta sama kamu? Apa dia sehat?" 

"Dia memang lagi sakit, harus cuci darah," ungkap Arta.

"Innalillahi. Kok kamu enggak bilang?"

"Aku bilang kapan hari, kamu lupa kali."

Hastina duduk di sisi tempat tidur. "Ya sudah, tapi jangan sampai kamu lupa keperluan kamu sendiri. Oh iya, terus perempuan yang kamu sukai itu gimana?" tanya Hastina.

Arta terdiam mencoba merangkai kata. "Kayaknya dia enggak suka sama aku, deh. Soalnya dia kayak enggak notice gitu aku suka sama dia," timpal Arta.

"Dia enggak notice, apa kamu yang takut ungkapin?" sindir Hastina.

"Emang harus bilang, ya? Aku pikir perempuan suka peka kalau ada laki-laki suka sama dia," jawab Arta. Dia tutup pintu kamar dan naik ke tempat tidur.

"Terus kalau salah dibilang kepedean? Yang benar saja, Ar! Ya laki-lakinya harus bilang, lah!" 

Tengah malam obrolan itu terputus. Arta berbaring sambil memeluk guling. "Gimana aku bisa marah sama kamu, Has? Aku lebih nyaman sama kamu. Kamu juga selalu dekat sama aku. Aku sudah terbiasa," batin Arta.

Sebelum waktu Subuh, Arta sudah pergi mandi. Biasanya saat di Amerika dulu, dia masih sempatkan salat berjamaah ke masjid. Kebetulan rumahnya dekat dengan masjid di sana. Dan agak jauh dengan kampus. Namun, sekarang lain. Masjid lumayan jauh dari apartemen. Jadilah Arta hanya bisa berjamaah di waktu Maghrib sambil menunggu waktu macet hilang.

Arta keluarkan roti dari dalam wadah. Dia sudah siap mengoleskan selai. Namun, ponsel berdering. Karena penasaran, Arta sempatkan membuka chat tersebut.

Pria itu tertegun melihat nama Mahas muncul dari sana. 

(Mahas : aku ingin mengundang kamu sarapan. Datanglah ke rumah)

Di sana Arta merasa bingung. Seingat pria itu, Praha pernah bilang kalau agama mereka berbeda. Dia agak ragu untuk menerima ajakan itu. 

(Arta : Maaf, Pak. Tapi saya sudah sarapan. Terima kasih atas tawarannya.)

"Mungkin lebih baik menolak dengan cara begitu. Lagian memang aku sudah mau sarapan," pikir Arta. Dia duduk di meja makan dan kembali mengoleskan roti. Perlu lima lembar untuk dia makan karena butuh banyak energi menghadapi anak semanja Praha.

Selesai sarapan, barulah Arta menyetir mobil ke alamat yang Mahas berikan. Rumah itu ada di luar kota Jakarta. Letaknya di dataran agak tinggi. Butuh menyetir dalam waktu lama ke sana. Hanya saja suasana ketika memasuki kawasan benar segar dan sepi.

"Mereka mungkin lelah dengan kerumitan hidup hingga menyepi di tempat begini," komentar pria itu.

Mobil Arta sampai di pos penjagaan. Dia langsung dipersilakan masuk begitu menyebutkan nama. Halamannya sangat luas, bahkan lebih dari rumah Albi. Pantas, Mahas dan Savana sama-sama artis dan mereka punya saham di beberapa perusahaan.

Mobil Arta menepi di carport rumah itu. Dia turun dari sana dan melangkah ke teras. Pelayan sudah menyambutnya. "Silakan masuk, Tuan."

Arta mengikuti pelayan ke sebuah ruangan besar di lantai dua. Di sana banyak buku-buku di rak dan keberadaan Praha, satu-satunya makhluk yang membuat Arta malas berada di tempat itu.

"Duduk sini!" Praha tepuk sofa di sampingnya.

"Papamu mana?" tanya Arta.

"Yang mau belajar baca Al-Qur'an itu aku, bukan Papaku!" omel Praha.

"Aku tidak akan masuk sebelum ada orang lain di antara kita!" tegas Arta.

"Papa ada konser di Malaysia. Mamaku shooting di Lombok," jawab Arta.

"Terus ngapain aku diajak sarapan bareng tadi," batin Arta sambil memijiti tengkuk. "Ya sudah, pelayanmu harus di sini juga. Aku minta empat orang. Dua perempuan dan dua laki-laki," tegaa Arta.

"Kamu itu manusia apa kredit bank, sih? Banyak syarat dan ketentuannya," omel Praha.

"Ya sudah, aku pulang. Sampai jumpa!" pamit Arta.

"Jangan ngadi-ngadi deh, Ar! Aku suruh mereka ke sini!" Praha memberi salah satu pelayan tanda agar menuruti permintaan Arta 

Sampai pelayan lainnya datang, barulah Arta duduk di sofa yang berhadapan dengan Praha. "Kamu mau ngajarin aku, kenapa berjauhan kayak gitu?" protes anak itu.

"Bukan mahram! Aku berapa kali bilang jangan sentuh dan dekat denganku. Pada perempuan lain, kecuali kakakku pun aku begitu," jelas Arta.

"Biar jadi mahram harus gimana?" tanya Praha memancing obrolan.

Arta tak menjawab. Dia duduk di karpet dan meminta Praha mengikuti. Praha ikut turun. Mereka kini hanya terhalang oleh meja pendek.

"Mana Al-Qur'anmu?" tanya Arta.

Praha simpan Al-Qur'an yang sedari tadi dia peluk. Dibuka surat pertama. "Kamu hafal Al-fatihah?" tanya Arta.

Praha menggelengkan kepala. "Terus selama ini kamu jadi orang islam ngapain saja?" omel Arta.

"Baca iqra dulu," jawab Praha.

"Kamu enggak salat?" 

Praha berpikir lama. "Oh yang duduk berdiri itu?" 

Alis Arta terangkat. "Kalau pemahaman kamu sebatas itu tentang Islam, ngapain kamu mau jadi mualaf?"

"Soalnya fansku banyak orang Islam. Mereka lebih suka lihat aku belajar ngaji dan pakai kerudung. Kadang kalau live ig pun aku suka diminta pakai kerudung. Aku suka melakukan apa yang fans aku minta," jawab Praha.

"Kalau mereka minta kamu bunuh diri juga mau?" pertanyaan Arta membuat Praha manyun.

"Enggak lah!" sewot anak itu.

"Dengar! Kalau kamu mau masuk Islam hanya karena fans, lebih baik jangan. Allah memang memerintahkan untuk menyebarkan Islam, bukan memaksakannya. Untuk apa punya hamba yang menduakan dengan hal lain di dunia? Islam tidak butuh orang yang hanya sebatas status. Orang Islam saja sudah merasa berat menjalankan kewajiban, apalagi kamu yang bukan dan alasannya tak masuk akal," omel Arta.

"Lalu karena apa?" Praha mengedip-ngedipkan matanya. "Lagian aku suka saja ikut puasa. Antar Bibi ke masjid, terus lebaran juga," jawab Praha.

Arta tersenyum kecil. "Kamu sudah punya modal awal, rasa senang dan biasa. Tinggal benahi niat kamu," jelas Arta.

"Niat apa?"

"Karena Allah," jawab Arta.