Mobil Pandu terlihat berhenti di depan gerbang rumah Hastina. Dia turun kemudian masuk ke dalam gerbang rumah. Hastina sudah menunggu di teras. "Abi, Kang Pandu sudah datang!" seru gadis itu. Terlihat senyum manis terhias di wajahnya yang ayu.
Abi Munzir, Ayahnya Hastina berjalan ke depan bersama pembantunya. Pandu mengucap salam. Dia cium punggung tangan calon mertua. "Bi Lela akan temani kalian lagi, ya? Bukannya Abi tidak percaya dengan Nak Pandu. Hanya saja akan lebih baik agar tidak memancing fitnah. Kalian berdua kan belum jadi mahram," jelas Abi.
"Baik, Abi."
Mereka berjalan naik ke mobil Pandu. Setelah mobil itu lama berjalan, Pandu langsung melancarkan aksinya. Dia keluarkan uang dari dompet. "Bi, kayak biasanya, ya?" pinta Pandu.
"Kalau nanti ketahuan Abi gimana, Tuan?" tanya Bi Lela.
"Enggak akan ketahuan, kok. Bibi santai saja. Nanti aku jemput kayak biasa," pinta Pandu. Karena uang dua ratus ribu, perempuan itu mau saja diturunkam dari mobil. Dia akan menunggu di rumah saudaranya sampai Hastina dan Pandu kembali menjemput. Hastina turun dari mobil dan duduk di kursi depan.
Tak lama mobil Pandu kembali berjalan. "Sebelum ke tempat baju, gimana kalau kita main dulu? Sudah lama kita enggak ke taman," ajak Pandu.
Hastina mengangguk saja. Dia tersenyum penuh kebahagiaan asal bersama dengan pujaan hati. "Pandu, kamu bisa enggak baikan sama Arta," pinta Hastina.
"Ngapain? Emang dia ada efeknya sama hidup kita?" timpal Pandu.
"Gimana pun Arta itu sahabat kita, Pandu. Aku enggak suka kamu berantem sama dia."
Pandu terlihat kesal. "Memang dia siapa, sih? Keluarga kamu? Sampai aku harus sungkem segala? Enggak, aku gak suka kamu dekat-dekat sama dia."
"Kita sudah dekat sama Arta sembilan tahun, loh. Masa mau tiba-tiba putus hubungan?" Hastina masih berusaha merubah pikiran calon suaminya.
Pandu mendelik. "Kamu berubah pikiran karena ternyata dia kuliah di luar negeri?" sindir pria itu.
"Ya Allah, Pandu. Kenapa kamu mikir aku kayak gitu, sih? Mau dia kuliah di luar negeri atau dia anak presiden pun, yang aku suka itu kamu. Aku pilih kamu!" tegas Hastina.
"Terus kenapa kamu malah belain dia?"
"Aku enggak belain siapa-siapa. Aku cuman ingin kamu sama dia kayak dulu, berteman lagi. Itu saja. Kita enggak pernah tahu kapan akan butuh dengan orang, kan. Arta itu baik, kok. Ya waktu itu emang kita yang salah, kan?"
"Sudah, aku enggak mau berantem!" tegas Pandu. Setelah itu mereka tak bicara lagi. Pandu langsung memutar kemudi dan menghentikan mobil di depan sebuah butik gaun pengantin.
"Kita jadinya ke sini dulu?" tanya Hastina.
"Aku males ke taman," jawab Pandu dengan dingin. Hastina ikut turun dan berjalan masuk ke dalam butik itu. Tiba di dalam, mereka berkonsultasi dengan desainer perihal konsep gaun pernikahan mereka. Pandu masih terlihat kesal. Dia bahkan tak melihat ke arah Hastina sama sekali.
Hastina sempat memotret desain gaun pengantinnya. Dia terlihat sangat senang karena pakaian itu persis seperti impiannya selama ini. Foto itu dia kirim pada Arta. Saat itu Arta yang tengah berada di kantor menyempatkan membuka pesan dari Hastina.
(Hastina : Bagus, ya? Kebayang enggak nantinya bakalan bagus banget?)
Arta tersenyum. Dia memang cemburu. Namun, ada baiknya memang dia berbagi kebahagiaan dengan Hastina layaknya seorang sahabat. Arta mulai perlahan menerapkan keikhlasan. Mungkin memang mereka tidak berjodoh.
(Arta : Bagus banget. Pasti Pandu bakalan pingsan lihat kamu pakai itu)
(Hastina : Dia ada di sini. Lagi ngambek karena aku minta dia baikan sama kamu)
Arta tertegun. Sudah pasti akan begitu. Pandu punya harga diri yang tinggi. Sejak dulu dia tidak mau kalau harus mengalah pada orang lain. Apalagi dia anak satu-satunya dan selalu dimanja.
(Arta : Biar aku yang minta maaf sama dia. Kamu kayak enggak tahu gimana calon suamimu saja. Sejak kapan dia mau ngalah. Yang sabar ya, Has. Kamu bisa cepat tua kalau ikutan kesal)
(Hastina : hus, sembarangan kamu!)
Arta buka kontak milik Pandu. Dia berusaha merangkai kata untuk bisa berdamai dengan pria itu. Dan yang Arta tahu jalannya hanya satu, merendah.
(Arta : Pan, aku minta maaf soal waktu itu. Aku sudah keras kepala. Gimanapun kita teman, enggak enak juga kalau harus diem-dieman sama kamu. Minggu depan ke Bandung, gimana kalau kita camping)
Pesan itu diterima oleh Pandu. Benar saja, dia langsung tersenyum puas. Pesan itu Pandu tunjukkan pada Hastina. "Aku bilang juga apa. Dia pasti minta maaf duluan karena ngerasa salah. Enggak enak kalau enggak punya teman, kan? Dia orangnya mana bisa gaul. Sok-sokan sih mau marahan sama aku!" Walau mengomel, Hastina senang Pandu masih membalas pesan Arta.
(Pandu : Iya. Tapi tolong jangan ikut campur masalah Hastina lagi.)
(Arta : kenapa? Cemburu? Jijik gue dengernya!)
(Pandu : bilang saja ngirilu!)
(Arta : ya sudah, aku mo nyari duit dulu. Ajakin yang lain. Sudah lama kita enggak ke gunung Puntang)
Hastina melirik ke arah layar ponsel Pandu. "Kalian janjian ke mana?" tanya Hastina.
"Kepo. Mau ikut, ya?" goda Pandu.
"Enggak! Aku nyesel deh bikin kalian baikan lagi. Jadinya aku yang kalian lupain!"
"Jadi ke taman, yuk!"
Pulang dari sana, seperti rencana semula Pandu dan Hastina pergi ke taman kota. Kebetulan ada satu taman yang agak sepi. Pandu tahu dia tak mungkin bisa ajak Hastina ke hotel. Paling tidak dia bisa ajak gadis itu ke tempat sepi.
Duduk di kursi yang ada di bawah pohon tinggi, Pandu mulai beraksi. Dia pegang tangan Hastina. Gadis itu terlihat malu-malu. Ini bukan pertama kalinya. Sejak awal lamaran, setiap Pandu mengajak pergi, dia selalu berusaha menggoda Hastina agar mau disentuh dengan banyak alasan. Karena terjerat rayuan buaya, Hastina mau saja. Pandu sering berdalih, mereka akan menikah.
"Yang, kamu kok makin cantik saja," puji Pandu. Dia usap pipi Hastina.
"Makasih. Kamu beneran sayang sama aku, kan?" tanya Hastina.
"Kalau enggak sayang, mana mungkin aku mau nikah sama kamu. Tahu enggak, kenapa aku pengen banget meluk kamu?" tanya Pandu.
"Kenapa?"
"Dari sejak aku ketemu kamu, aku langsung suka. Tapi aku tahu kamu anak baik-baik. Aku enggak mau bikin kamu rusak. Makanya aku sabar nunggu selama sembilan tahun ini."
"Terus kenapa sekarang berani megang aku?" tanya Hastina.
"Habis aku enggak sabar. Kita bisa enggak sih nikahnya dicepetin? Aku kan gemes sama kamu. Apalagi kalau kamu sudah manja sama aku," jelas Pandu.
"Kamu itu bisa saja!" tangan Hastina memukul lengan Pandu pelan.
Pandu tarik tangan Hastina dan membawa gadis itu dalam pelukan. "Aku akan perjuangkan kamu sekeras apa pun, Na. Asal kamu jadi milikku."