15. Akad Cinta : Tak bisa dinormalisasi
Praha berdiri sambil bersandar di railling mezanin gedung sekolahnya. Belakangan dia menjadi pembicaraan karena postingan terakhir kali. Bagaimana bisa tidak menjadi skandal, ketika gadis masih di bawah umur mengumumkan perasaan pada pria yang usianya terpaut sembilan tahun. Apalagi Praha salah satu artis populer. Tentu apa yang dia lakukan menjadi contoh untuk lainnya.

"Aku dengar kamu lagi dihujat, ya? Eh, aku panggil apa kamu sekarang? Sugar baby?" ledek salah satu teman Praha. Mereka sekelas, Rindu namanya. Gadis yang lumayan cantik dan juga senang mencari perhatian. Tidak heran ketika seluruh perhatian di sekolah tertuju pada Praha, dia yang paling tidak terima.

"Oh, biar saja. Nanti juga orang lama-lama lupa. Namanya hidup enggak selalu dipuji. Eh, siapa aku panggil kamu sekarang? Bitter baby?" balas Praha.

"Lucu sekali, ya? Selera kamu sekarang itu Om-om?" Rindu masih mencoba menyerang.

Praha melipat tangan di depan dada. Matanya masih terlihat santai. Dia perlihatkan foto Arta di layar ponsel. "Lihat! Apa kurangnya Om yang satu ini? Ganteng, pintar mengaji, dan bukan cowok gampangan. Anggap saja begini. Aku sekarang sudah menemukan jodohku, kamu masih tertinggal karena masih harus tes lelaki satu per satu. Apalagi aku dengar, pacarmu baru selingkuh, ya? Itulah resikonya pacaran dengan bocah, masih suka main-main!" tegas Praha.

"Kamu tahu sekali tentang hidupku, ya?" Rindu menatap Praha dengan tajam.

Praha tertawa puas. "Jelas tahu, Nona. Semua orang di sekolah ini membicarakan tentang hidupmu yang malang. Katanya kamu sampai nangis di depan lelaki itu dan dia pergi begitu saja dengan wanita lain. Kasihan!" Praha menepuk bahu Rindu.

Kesal, Rindu tepis lengan Praha. "Kita lihat saja, di antara kita siapa yang paling malang?" Rindu mendorong bahu Praha dengan telunjuknya. Kemudian dia pergi meninggalkan medan. Praha menunjukkan tinju ke arah gadis itu.

"Ada apa dengan orang zaman sekarang? Kenapa kepo sekali masalah orang lain? Hidup sendiri saja belum tentu benar! Netizen lagi! Apa salahnya orang jatuh cinta? Emang kita bisa milih jatuh cinta sama siapa?" Praha mengomel sendiri. Dia berbalik dan hendak pergi ke kantin, tapi malah bertabrakan dengan seseorang. Praha terjungkal. Untung rok sekolahnya tidak terbuka.

"Hoy! Mata taruh mana itu!" omel Praha. 

Pria itu mengulurkan tangan. "Milan. Salam kenal!" 

Praha berpegangan pada railling untuk bisa berdiri. Terasa nyeri di punggung akibat kejadian itu. "Sekarang apa laki-laki harus nabrak dulu buat ajak kenalan? Kamu sadar enggak perbuatan kamu itu bisa bikin kecantikanku yang amandemen ini bisa rusak?" omel Praha.

"Bukannya paripurna, ya?" tanya Milan bingung.

"Paripurna itu kalau cantik alami. Ini aku pernah permak bagian pipi pakek benang." Praha berkacak pinggang. Suaranya menggelegar melebihi petir di kala hujan badai.

"Baiklah. Salam kenal Praha dan maaf karena tadi. Aku pikir kamu enggak akan berbalik," jelas Milan.

"Kamu yang hadap depan harusnya bisa lebih waspada. Lihat! Ini jalan masih lebar!" Praha menunjuk jalan dengan kakinya. "Ngapain kamu jalan ke pinggir?" 

"Mau nabrak kamu," jawab Milan dengan santai lalu melenggang pergi.

"Dasar bocah!" omel Praha. Dia masuk ke dalam kelas. "Dia pikir dia ganteng apa?" Praha membuka layar ponselnya. "Arta, lihat tadi? Banyak laki-laki suka padaku. Tapi aku tetap ngejar dan ngehaluin kamu. Harusnya kamu bersyukur dan cepat nikahin aku!" Dia bicara sendiri.

Sementara duplikat asli Praha melangkah di lantai sebuah restoran mewah. Dia sudah memesan ruang VVIP untuk pertemuan kali ini. "Pastikan tidak ada wartawan yang mengambil gambar! Tuntut saja kalau ketemu salah satu, sebelum foto menyebar!" tegas Savana. 

"Baik," jawab Taylor. 

Pelayan membuka pintu ruang privat. Pintunya berdaun dua dan memang berukuran lebar dan berwarna hitam mengkilap. Bagian dalam ruangan ada meja besar yang cukup untuk sepuluh orang. Savana duduk di salah satu kursi.

"Dia belum datang?" tanya Savana.

"Belum, Sava. Tapi aku sudah pastikan dia akan datang segera," jawab Taylor. Dia masih berdiri di belakang Savana. 

"Lucu sekali pemuda itu. Bagaimana dia bisa ajukan syarat agar ada orang lain di sini? Aku ingin bicara dengannya secara pribadi karena inu masalah anakku dan dia malah mengatur!" Savana menaikkan sebelah kakinya ke atas kaki lainnya.

"Nyonya Maverick, tamu Anda sudah tiba," ungkap salah satu pelayan.

"Suruh dia masuk dan lekas hidangkan makanan," tegas Savana.

Sementara Arta masih berdiri di depan pintu. Jantungnya berdebar. Dia kini sedang kena mental hingga harus memprivat aku media sosial. Bahkan ada banyak wartawan yang menelepon minta penjelasan. Padahal Arta tekankan jika Praha hanya bercanda.

Puncaknya semalam ketika salah satu asisten Savana, ibu Praha menelepon karena Savana ingin bertemu. Kini Arta bingung bagaimana harus menjelaskan. Urusannya malah semakin rumit. 

"Silakan, Tuan!" Pelayan membukakan pintu untuk Arta. Lekas pria itu masuk ke dalam. Dia menunduk tanda hormat. "Saya Amarta, Nyonya. Salam kenal," ucap Arta.

"Duduk!" Savana menunjuk kursi yang berhadapan dengannya dan hanya terhalang meja. Arta mengangguk dan duduk di tempat yang dimaksud. Savana Maverick masih terlihat muda hingga seperti belum memiliki anak. 

"Apa yang kamu lakukan pada putriku?" tegur Savana langsung pada masalah.

"Begini. Sejak awal saya tidak pernah punya perasaan apa pun pada Praha. Dia saya anggap seperti anak kecil kebanyakan yang memang penuh rasa penasaran. Saya sudah berapa kali menolaknya bahkan saya usir ketika ke rumah. Tapi dia datang dan datang lagi. Kemudian suami Anda meminta saya membimbingnya mengaji," jelas Arta.

"Tunggu! Kamu menolak dan mengusir putriku? Kamu pikir kamu siapa berani memperlalukan dia begitu?" omel Savana sambil menggebrak meja.

Arta mengedipkan mata. "Ini aku salah apa sih sebenarnya? Deket dia enggak boleh, nolak juga enggak boleh," batin Arta. Rasanya ia ingin menangis. "Lalu apa harus saya terima pernyataan cinta putri Anda?"

"Kamu gila apa? Praha masih anak-anak!" bentak Savana.

"Iya itu makanya saya tolak dia! Bukan karena dia enggak cantik atau enggak baik. Dia masih anak-anak di mata saya," tegas Arta.

"Aku ingin kamu jauhi dia. Sadar tidak apa yang kamu lakukan itu bisa menghancurkan karirnya?" 

Arta mengangguk. "Ingin saya juga begitu. Kenapa Anda tidak bantu saya untuk menjauhkan putri Anda? Karena dia sangat mengganggu hidup saya. Walau saya tahu dia masih harus banyak belajar membaca Al-Qur'an, tapi tujuan dia belajar bukan karena Tuhan yang saya sembah. Dan itu membuat saya keberatan," tegas Arta.

"Memang kamu panitia surga sampai bisa menilai begitu?" tegur Savana.

"Saya memang bukan orang yang sepenuhnya baik, Nyonya. Tapi saya tahu sedikitnya agama saya. Agama itu keyakinan dan keyakinan berasal dari perasaan dan perasaan itu harus pada Tuhan, bukan pada saya. Karena jika dia meyakini Tuhan hanya demi saya, itu bukan agama, tapi obsesi," tegas Arta.

Savana tersenyum sinis. "Bagus kalau kamu sadar posisi kamu di mana. Seperti yang kamu mau, aku akan jauhkan putriku darimu. Jika dia datang lagi, tidak perlu ajarkan dia apa pun. Dan ini gaji kamu karena mengajari dia sebelumnya." Savana menyimpan amplop di atas meja.

"Tidak perlu, Nyonya. Saya punya uang lebih dari cukup. Lagi pula mengajari tentang agama adalah kewajiban. Tak perlu untuk digaji."