Cara aku belajar mencintaimu sama seperti kamu membaca tulisan Arab tanpa harakat, sulit.
-Amarta untuk Praha-
🌻🌻🌻
"Untuk huruf ini, kamu simpan ujung lidah di belakang gigi seri atasmu," jelas Arta.
"Begini?" Praha mempraktekkan apa yang Arta jelaskan.
"Betul, lalu kamu ucapkan 'da'. Cobalah!"
Praha menurut saja. Saat dia ucapkan kata da dengan cara yang Arta tunjukkan suaranya sama seperti yang dikeluarkan pena digital. "Benar gitu!" seru Praha.
"Kamu harus belajar cara melafalkan kan huruf Hijaiyah dulu. Baru nanti kita coba membaca langsung Al-Qur'an," saran Arta.
Praha terus berusaha mengikuti instruksi Arta. Dia sampai berjalan bolak-balik untuk menghafal Makhraj huruf hijaiyah. Arta salut akan keinginan Praha untuk belajar.
"Sudah siang aku pulang dulu, ya?" pamit Arta.
"Kenapa cepat sekali?" Praha manyun, wajahnya tampak kecewa.
"Aku sudah tiga jam di sini. Apanya yang cepat? Aku malah tak sabar ingin pulang," timpal Arta.
"Emang kamu nggak rindu sama aku?"
"Jangankan rindu, ketemu kamu aja kalau nggak kepaksa, nggak mau!" Arta bangkit. Praha memanyunkan bibirnya lagi. Pipinya terlihat mengembung. "Kenapa kamu? Mirip ikan fugu," ledek Arta lalu tertawa.
"Aku senang tahu," ucap Praha.
"Karena?" Arta menunduk agar bisa menatap Praha yang masih duduk bersila.
"Karena aku jadi alasan kamu tertawa," jawab gadis itu.
Praha mengantar Arta hingga ke teras. Arta turun dari teras, berjalan ke carport mobil. Ia buka pintu mobilnya dan masuk ke sana. "Arta!" panggil Praha.
"Ada apa?" tanya Arta.
"Hati-hati di jalan. Aku nggak mau kamu terluka. Ingat, aku ini tulang rusukmu. Kalau kamu sakit, aku juga ngerasa."
"Dasar bocah gendeng!" umpat Arta.
Mobil pria itu kini kembali menempuh perjalanan panjang. Do tengah jalan Arta sempat bertemu dengan seorang kakek yang memikul satu tandan pisang. Arta hentikan mobilnya. Dia turun dari kendaraan itu. Berlari pelan menuju kakek, Arta jelaskan maksudnya membeli tandan pisang itu.
"Ini semua aku jual dua ratus ribu, Nak," ungkap kakek itu.
"Tidak apa, Kek. Biar aku beli semuanya. Tinggalkan di sini, biar aku yang masukkan ke dalam mobil."
Kakek itu menurunkan tandan pisang. Awalnya Arta bayar uang sesuai kesepakatan. Setelah itu, dia lebihkan dua ratus ribu lagi. "Ini kenapa ditambah, Nak?" tanya kakek bingung.
"Di rumah, kakek tinggal dengan siapa saja?"
"Ada istri sama cucu dua orang," jawab Kakek itu.
"Kalau gitu kasih mereka lima puluh ribu. Anggap saja ini zakat dariku, Kek. Hidupku jauh berlebih. Ini lebih berati untuk kakek dibandingkan diriku," jelas Arta.
"Terima kasih, Nak," ucap kakek itu. Arta angkat tandan pisang. Dia kaget betapa beratnya benda itu. Sungguh luar biasa di usia renta kakek itu bisa memikulnya.
"Arta sendiri bingug apa yang harus dia lakukan dengan pisang itu. Akhirnya daripada mubazir, dia berhenti di sebuah kios buah dan meminta bantuan memotong tandan pisang menjadi bagian beberapa sisir. Kini Arta berkeliling membagikan pisang itu pada kru yang dia kenal.
"Kamu dapat ini oleh-oleh dari Bandung, Pak?" tanya Pak Dirjo.
"Bukan, tadi aku ketemu kakek yang membawanya di jalan. Kasihan sekali. Makanya aku beli saja," jelas Arta.
"Makasih banyak, Pak. Anda baik sekali sama orang," timpal Pak Dirjo.
"Sama-sama, Pak. Aku pamit dulu."
Arta kembali ke mobilnya. Dia melirik satu sisir pisang yang disimpan di dashboard. "Kayaknya aku bikin keripik pisang saja nanti. Yang ini kelihatan masih mentah."
Arta sempatkan memeriksa ponsel. Praha mengirimkan pesan. Arta mengusap tengkuk. Dia buka pesan itu.
(Praha : Kalau sampai di rumah kasih tahu aku, ya?)
(Arta : di rumahku adanya tempe. Enggak apa?)
Arta simpan kembali ponsel ke atas dashboard. Dia nyalakan mesin mobil dan kembali mengendarai benda itu. Di tengah jalan sempat dia bertemu dengan masjid dan turun untuk salat Zuhur. Setelah salat dan berzikir, Arta lanjutkan perjalanan pulangnya. Kembali mengecek ponsel, Arta mendapat kembali pesan dari Praha.
(Praha : Aku enggak suka tempe. Kalau hati kamu, aku terima.)
(Arta : aku tanyakan ke hatiku, katanya ogah!)
Di Bandung, Pandu baru tiba di sebuah restoran burger yang lumayan terkenal. Dia bertemu dengan teman kuliahnya yang kini kerja di Surabaya. Pandu kuliah di Kota ini. Orang tuanya lulusan dari universitas yang sama dengannya. Semacam turun temurun. "Gimana kabar kalian?" tanya Pandu.
"Baik. Dah lama kita enggak ketemu. Kamu makin ganteng saja, Pandu," puji temannya.
"Jangan suka muji gitu lah, bikin ngeri," canda Pandu.
Mereka duduk berhadapan dan hanya ada empat laki-laki di sana Pandu, Rizwan, Bagus dan Relo. "Katanya kamu mau nikah? Beneran?" tanya Rizwan.
Pandu mengangguk. "Iya, dong. Mau lihat calonku?" tanya Pandu. Dia ambil ponsel dan memperlihatkan foto Hastina.
"Cantiknya. Beruntung kamu, Bro! Dia pakai kerudung? Tumben nyari yang bener," komentar Rizwan.
"Kalau nikah cari cewek yang bener, lah. Apalagi masih perawan. Dia anak ustaz lagi. Mana mau aku nikahin perempuan enggak bener," timpal Pandu lalu memasukkan ponsel kembali ke kantung celana.
"Terus gimana sama Ceril?" tanya Bagus.
Pandu mengeluarkan suara decakan dari bibir. "Aku sudah mutusin dia. Cewek murahan juga. Diajak tidur siapa saja dia mau," jawab Pandu. Tatapannya begitu licik.
"Lu bilang sama dia mau lanjut kuliah ke Malaysia. Kalau tahu mau nikah, bisa-bisa dia ngamuk dan bikin pernikahan batal," Relo memberikan peringatan.
"Makanya kalian diem saja! Jangan sampai dia tahu. Aku sudah lama ngincer calonku. Sayang banget kalau sampai enggak dapetin dia. Nanti saja abis nikah baru aku kasih tahu. Sekarang dia masih bisa minta mundur."
Pandu panggilkan pelayan. "Pesan saja, aku yang bayar," tawar Pandu.
Ketiga lelaki itu akan menutup mulut. Mereka masih membutuhkan modal dari Pandu. Walau mulut mereka sudah gatal ingin mengadukan ini pada Ceril, mantannya Pandu yang kini tengah ada di Jakarta.
Selama kuliah di Bandung, Ceril tinggal ngekos. Bukan sekali dua kali Pandu menginap di kosan wanita itu. Sudah dipastikan sejauh apa hubungan mereka. Terakhir Pandu memutuskan Ceril dengan alasan hendak pergi menempuh gelar master di Malaysia. Bahkan dia sempatkan mengantar Ceril yang memilih bekerja di Jakarta. Maklum, Pandu lulus S1 lebih lama dari semestinya. Alasan pria itu karena sibuk berbisnis. Padahal skripsinya mangkir terus.
Tanpa sepengetahuan gadis itu, Pandu ternyata pulang malah menjemput Abinya Hastina dan melamar gadis itu. Sudah lama Pandu menginginkan Hastina seperti gadis itu padanya. Hanya Pandu bukan pria yang mau bersabar dengan hubungan yang hanya sebatas bertemu dengan pantauan orang tua.
Jadilah dia pikir, biar saja bablas dengan wanita lain dan jika sudah lelah akan kembali pada Hastina. Namun, Pandu tidak sadar konsekuensi besar apa yang akan dia tanggung di depan nanti. Ponsel Pandu berdering, nama Hastina muncul di sana. Itu sebuah pesan.
(Hastina : Pandu, jadikan hari ini kita cari undangan)
(Pandu : Jadi, Sayang. Aku ketemu teman dulu. Abis ini aku jemput kamu di rumah, ya?)